Oleh: Syaikh Prof. Dr. 'Abdul-'Aziz al-Ahmadi –hafizhahullah-
Naskah ini bersumber dari ceramah Syaikh Prof. Dr. 'Abdul-'Aziz
al-Ahmadi –hafizhahullah- saat beliau menyampaikan muhadharah pada acara
Daurah Syar'iyyah. Melihat kandungannya, maka kami menganggap perlu
mengangkatnya sebagai liputan, sehingga faidahnya (manfaat) dapat juga
diambil sebagai pelajaran bagi para pembaca. Penerjemahan naskah oleh
Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin. Adapun judul di atas dari Redaksi.
Daurah Syar'iyyah yang diadakan di Lawang, Malang, Jawa Timur, antara
tanggal 7 – 14 Rajab 1428H, bertepatan dengan 22 – 29 Juli 2007M ini,
dihadiri oleh beberapa masyayaikh, yaitu: Syaikh Dr. Shalih bin Sa'ad
as-Suhaimi, Syaikh Prof. Dr. 'Abdul-'Azîz bin Mabrûk al-Ahmadi, Syaikh
Muhammad as-Suhaimi
Pesan ukhuwah ini sungguh sangat berharga, dan semestinya menyentuh
kalbu kita, sehingga kita dapat menghindari kesalahpahaman dalam
mengamalkan suatu Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semoga
bermanfaat. (Redaksi).
___________________________________________
Bismillâhirrahmânirrahîm
Segala puji bagi Allah Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allah Subhanahu
wa Ta'ala yang telah mengumpulkan kita di tempat yang baik ini - dengan
izin Allah - laksana satu hati dalam tubuh satu orang, sehingga kita
menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Al-hamdulillah, segala
puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang telah memberikan taufik, serta
menganugerahkan kemudahan kepada kita untuk menuntut ilmu (syar’i),
(yang) telah menjadikan kita termasuk orang-orang yang berilmu, dan
orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.
Sebelum segala sesuatu dimulai, saya berwasiat kepada diri saya sendiri
dan kepada hadirin semua untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Sebab, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan himpunan
segala kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap
Muslim, khususnya bagi setiap dai. Takwa merupakan bekal yang sejati
bagi setiap Muslim.
"Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan
bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal".
[al-Baqarah/2:197].
Takwa merupakan sebab pertama di antara faktor dimudahkannya rezeki.
Barangsiapa menghendaki keluasan rezeki yang baik, berupa harta benda,
ilmu, isteri shalihah, anak-anak shalih, taufiq, ataupun kebahagiaan
dunia dan akhirat yang semua ini merupakan rezeki, akan Allah Subhanahu
wa Ta'ala menganugerahkan rezeki-rezeki ini, jika ia bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَـلْ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا وَ مِنْ
كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah membuatkan baginya
jalan keluar dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan,
dan Allah akan menganugerahkan rezeki kepadanya dari arah yang tidak ia
duga".[1]
Jadi, takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala merupakan pondasi bagi
kehidupan ini. Namun, takwa kepada Allah bukanlah kalimat yang hanya
sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan perkara yang ada di dalam
hati. Setiap Muslim, bahkan setiap penuntut ilmu, wajib menghiasi diri
dengan takwa dalam semua urusan hidupnya. Sebab takwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala adalah benteng bagi seorang Muslim dari segala
perkara yang mengotorinya dalam kehidupan dunia ini, sebagaimana telah
kita baca dalam Al-Qur`an surah al-Ahzâb:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa
mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar". [al-Ahzâb /33:70-71].
Seorang penuntut ilmu, jika ia pertama kali dapat mewujudkan takwa pada
dirinya serta dapat memeganginya dengan teguh dalam semua sisi
kehidupannya, niscaya –dengan idzin Allah- ia akan dapat mewujudkan
takwa ini pada diri orang lain.
Akan tetapi amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain
untuk bertakwa, namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dia mengajak orang lain untuk bertakwa, selalu
mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan orang supaya
bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan
kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang
ia tekankan kepada orang lain.
Hal paling penting lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi
takwa, ialah bahwasanya harus ada hubungan persaudaraan yang kuat,
khususnya antar para penuntut ilmu. Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki
pengaruh yang baik dalam kehidupan ini. Setiap kawan (shadîq), setiap
muslim akan memiliki pengaruh jelas bagi kawannya dalam hidup. Apabila
seorang muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan
berpengaruh pada dirinya. Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang
tidak baik, orang yang kegiatannya tidak mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, tidak juga dekat dengan (ajaran) Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hal-hal buruk ini pun akan
berpengaruh pada dirinya. Maka, perhatikanlah oleh seseorang, siapa yang
akan ia jadikan kawan dekatnya.
Ukhuwah Islamiyah yang hakiki diserukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Begitu juga Al-Qur`an pun memerintahkannya. (Allah berfirman:)
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah ikhwah (bersaudara); karena itu,
damaikanlah antara kedua saudaramu". [al-Hujurat/49:10].
Kata "ikhwah" (bersaudara), ketika kita mengatakan “sesungguhnya
orang-orang mukmin itu ikhwah (bersaudara)", adalah kalimat yang tidak
mudah. Maksudnya, seakan-akan Anda dalam hubungan (persaudaraan antar
mukmin) ini mempunyai pertalian yang sangat erat. Hubungan persaudaraan
ini bisa lebih kuat dari persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang
mengikat persaudaraan ini? Yang mengikatnya, ialah dinul-Islam yang
hakiki, ukhuwah Islamiyah yang benar dan hakiki, serta persahabatan yang
hakiki.
Sebab banyak orang mengikat persaudaraan dengan orang lain, atau
berkawan dan bersahabat dengan orang lain disebabkan oleh kepentingan
tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika kepentinganya muncul.
Namun, jika tidak ada kepentingan, (maka) ia tidak kenal lagi, atau
bahkan mencaci-makinya.
Seorang shadiq (sahabat), ialah seorang yang sungguh-sungguh jujur
terhadap sahabatnya dalam semua urusan hidupnya dan tidak berbasa-basi.
Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan pada diri sahabatku, maka
aku harus menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan nasihat yang
membuatnya lari dariku, atau menyebabkannya tidak mau berkumpul lagi
denganku. Misalnya, dengan nasihat yang berbentuk caci-maki atau celaan.
Tetapi haruslah dengan nasihat yang sungguh-sungguh, nasihat yang ia
butuhkan.
Jika aku lihat ia tidak taat kepada Allah, atau suka membicarakan ulama,
atau suka mencaci-maki seseorang, atau ia tidak memiliki prinsip yang
jelas dalam hidupnya, maka aku akan segera menasihatinya, aku ajak
duduk, aku ajak bicara dengan lemah lembut, dengan menggunakan
istilah-istilah yang bagus, dan dengan cara-cara yang indah, sehingga
kawan ini tidak rusak.
Ada kaidah agung yang termasuk kaidah agama dalam berukhuwah. Demi
Allah, jika kaidah ini tidak terwujud pada diri kita masing-masing,
niscaya kita akan memiliki cacat dalam menjalin tali ukuwah. Yaitu, jika
seseorang tidak berusaha mewujudkan dan tidak menimbang dirinya
berdasarkan petunjuk ukhuwah yang ada dalam hadits. Hadits ini merupakan
salah satu kaidah di antara kaidah agama. Yaitu sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sebelum ia menyukai
sesuatu untuk saudaranya apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh
dirinya". [2]
Sayang sekali, kebanyakan orang sekarang bersikap sebaliknya dari hadits
itu. Ia menyukai untuk dirinya, apa yang tidak ia sukai jika diperoleh
orang lain. Ia pertama-tama menyukai jika seseuatu itu ia peroleh,
kemudian baru memikirkan orang lain. Ia tidak menyukai kebaikan
diperoleh oleh orang lain. Ia hanya menyukai jika kebaikan itu ia
peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.
Sebenarnya kita memiliki suri tauladan yang baik pada para
salafush-shalih rahimahullah, tentang bagaimana persaudaraan mereka,
bagaimana mereka menjalin persaudaraan, bagaimana mereka mengutamakan
orang lain, bagaimana mereka mempraktekkan perkataan-perkataan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berpegang pada setiap atsar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salalm telah memberikan contoh nyata dalam
berukhuwah, dalam bermu’amalah, dan dalam segala hal yang menyangkut
semua urusan hidup.
Demi Allah, tidak ada sesuatu pun kecuali Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam mengajarkannya kepada kita. Tidaklah beliau meninggalkan
kita, kecuali menjadikan kita berada pada hujjah yang demikian jelas,
malam harinya laksana siang harinya; tidak akan menyimpang dari hujjah
ini kecuali orang yang binasa.
Demikianlah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua
urusannya, dalam masalah ekonomi, masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar,
ketika masuk, dalam masalah berpakaian, dan dalam segala hal. Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan kita kecuali telah
mengajarkannya kepada kita. Dan sekarang, tidaklah kaum Muslimin
meninggalkan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam kecuali akan dijadikan lemah oleh Allah, dan akan dikuasai oleh
musuh.
Oleh sebab itu, saya anjurkan kepada saudara-saudaraku supaya bersatu
secara sungguh-sungguh dan menjalin ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di
dalamnya ada pertalian kokoh, ada saling mengingatkan dengan
sesungguh-sungguhnya, dan di dalamnya berisi orang-orang yang senang
jika saudaranya mendapatkan apa yang mereka sendiri senang untuk
mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup. Dalam suasana ini,
hidup akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan dunia-akhirat juga
menjadi sempurna.
Demikian pula, saudara-saudara, berpegang teguh pada Sunnah (ajaran)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga akan mewujudkan ukhuwah yang
sesungguhnya. Jika Anda melihat seseorang yang baik dan ia Ahlu Sunnah,
maka hendaklah Anda segera jalin persaudaraan dengannya. Jika Anda
melihat seorang Ahlu Sunnah dan pengikut Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, maka Anda harus akrabi dia.
Demi Allah, para penuntut ilmu tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin
banyak, kaum Muslimin tidak dilemahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala,
dan para musuh tidak dijadikan berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali
karena kaum Muslimin sudah terlalu jauh dari petunjuk Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kalian semua mengetahui, bahwa amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat. Apakah dua syarat itu?
Pertama : Ikhlas. Yaitu jika amal perbuatan dilakukan secara murni untuk
mencari wajah (keridhaan) Allah. Tetapi apakah ini cukup?
Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka ikhlas dalam
beribadah kepada Allah. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan
di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi ikhlas
benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!
Jika demikian, kapankah ikhlas dapat diterima?
Yaitu (yang Kedua, Pent.) apabila amal perbuatan yang sudah dilakukan
dengan ikhlas itu, dilakukan dengan mengikuti Sunnah Rasul Shallallahu
'alaihi wa sallam, atau selaras dengan apa yang diajarkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah kenyataan kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah
kenyataan kita dewasa ini? Ya, amalan ikhlas, akan tetapi menyelisihi
ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Allah
melemahkan kaum Muslimin dan menjadikan musuh-musuh Islam berkuasa atas
kaum Muslimin.
Lihatlah bermacam bid’ah, khurafat dan ta’ashub (fanatisme golongan)
merajalela. Bahkan banyak orang dibikin menjauh dari pengikut Sunnah.
Seseorang akan mengatakan “orang ini keras, tidak umum, menentang arus …
dan seterusnya”.
Ibnul-Qayyim rahimahullah mempunyai ungkapan menakjubkan dalam masalah
ini. Beliau rahimahullah mengatakan bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat
dan menghidupkannya (sekarang) lebih utama daripada mengarahkan
anak-anak panah ke leher musuh.
Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim rahimahullah sampai mengatakan kalimat demikian!
Sekarang, orang-orang mulai bermalas-malasan terhadap Sunnah. Bahkan
mereka berbuat dengan berbagai amal perbuatan yang tidak sesuai dengan
apa yang diajarkan Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab
itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang sekali, sebagian
penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami banyak
persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering memilih
bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan berbasa-basi
terhadap seseorang.
Maka, demi Allah, wahai saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk
menerapkan Sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Demi Allah, (di samping ikhlas), amal perbuatan tidak akan diterima
kecuali sesudah amal itu selaras dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Seseorang tidak dapat dipuji agama dan semua
urusannya kecuali jika ia sudah menjadi pengikut Sunnah.
Karena itu, bersemangatlah terhadap perkara-perkara Sunnah ini.
Bersemangatlah untuk meningkatkan kekuatan beragama secara hakiki di
antara sesama kalian. Kalian janganlah saling berseteru. Jika seorang
penuntut ilmu melihat kesalahan pada diri saudaranya (sesama
Ahlus-Sunnah), jangan menyebabkan orang lain menjauh darinya, jangan
memusuhinya, dan jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah kesalahannya
dengan cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang baik.
Sebab, inilah ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ;
kata-kata yang baik. Kita membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam
merupakan agama yang menganjurkan tata pergaulan yang baik.
Setiap kita mungkin memiliki kepedulian terhadap urusan agama, namun
terkadang tidak memiliki cara bergaul yang baik. Cara bergaul yang baik
sangat penting dalam kehidupan ini. Dengannya, kita bisa mengajak orang
lain. Dan dengannya, kita bisa mendapat pahala.
Apa ruginya jika engkau tersenyum kepada saudaramu? Salah seorang
sahabat pernah mengatakan: "Saya tidak pernah melihat wajah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dalam keadaan tersenyum".
Tersenyum itu berpahala, wahai saudaraku. Perkataan baik yang keluar
dari lisanmu, ada pahalanya. Tidak masuk akal jika seseorang, terutama
penuntut ilmu, ternyata cara bergaulnya jelek, kata-katanya keras dan
kotor. Padahal ia seorang penuntut ilmu yang dikenal. Maka harus baik
dalam tata pergaulan, sebagai salah satu wujud dari penerapan terhadap
Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, kalian harus
melaksanakan Sunnah.
Sunnah-sunnah (ajaran-ajaran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini
harus diperhatikan dan dihormati. Memang tidak selayaknya menfitnah
manusia dengan persoalan-persoalan ini, tetapi (masing-masing penuntut
ilmu harus berfikir bahwa) saya harus bersemangat mengajarkan Sunnah
kepada orang lain.
Jagalah ukhuwah yang hakiki oleh kalian. Ukhuwah yang tidak ada cacian,
makian, ghibah (gosip), namimah (adu domba), qil wal qal (katanya dan
katanya/isu) dan berita-berita bohong. Demikian pula hendaklah seorang
penuntut ilmu, bila mendengar fatwa tentang seorang Syaikh, bila
mendengar tentang suatu hal, hendaklah mencari kejelasan dan
kepastiannya. Tidak menelan berita mentah-mentah.
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
"Cukuplah seseorang berdosa bila ia menceitakan setiap apa yang ia dengar".[3]
Sebagian orang, setiap mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu
begini, begitu, melakukan ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan
sifat penuntut ilmu.
Pertama kali, kewajiban seorang Muslim atau penuntut ilmu ialah
husnuzhan (berbaik sangka) terhadap para ulamanya dan terhadap
kawan-kawannya. Selamanya, ia (mesti) berbaik sangka terhadap mereka.
Tidak berburuk sangka kepada orang lain. Tidak melancarkan tuduhan
kepada orang lain, sebab ia tidak mengetahui isi hati mereka. Bila kita
melihat seorang saudara berjalan bersama pelaku bid’ah, jangan langsung
menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati, atau menghendaki
sesuatu darinya, atau ingin melakukan pendekatan kepadanya untuk suatu
urusan. Jika kita langsung menghukuminya bahwa "orang ini serupa,
sama-sama ahli bid’ah", maka ini tidak benar. Apakah kita mengetahui
hatinya?
Seperti sahabat yang membunuh orang yang mengucapkan La ilaha Illallah
tatkala orang yang dibunuhnya terdesak dalam peperangan. Ketika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menanyakannya, mengapa ia bunuh orang yang
mengucapkan kalimat La Ilaha Illallah?
Ia menjawab,"Sebab orang ini hanya bermuslihat untuk menyelamatkan
diri," maka Nabi n menjawab: “Apakah engkau membelah dadanya?”.
Demkianlah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegur. Padahal orang
yang dibunuh ini awalnya jelas-jelas musuh yang kafir. Sedangkan ini
adalah muslim yang shalat, puasa dan melakukan ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Tiba-tiba engkau langsung menuduhnya dengan tuduhan
semacam ini. Jelaslah, itu bukan pekerjaan yang semestinya bagi
penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu hendaklah memiliki akhlak mulia,
memiliki cara bergaul yang baik, memberi nasihat yang baik dan berpegang
kepada Sunnah secara hakiki. Ia tidak layak terlalu keras seraya
mengatakan "sayalah satu-satunya pengikut Sunnah, orang lain bukan
pengikut Sunnah".
Jadi, semestinya ia mengajak orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang
berpegang dengan teguh terhadap Sunnah, sesuai dengan apa yang
diajarkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan kita kecuali
beliau n telah mengajarkan segala sesuatu kepada kita, termasuk tata
cara bergaul dengan orang lain dan melakukan pergaulan dengan orang
kafir. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita
bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan pengikut bid’ah,
serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup kita.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita kapan harus
berjihad, kapan kita boleh mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan
seseorang menjadi kafir. Misalnya engkau melihat seseorang tidak shalat
di masjid. Melihat ini, ada orang yang langsung menghukumi bahwa ia
tidak shalat, berarti kafir. Tentu jika sudah jelas berdasarkan bukti
bahwa ia meninggalkan shalat, maka meninggalkan shalat adalah kufur.
Tetapi, apa engkau boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu tidak,
sebab siapa tahu ia shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia
baru masuk Islam, atau alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan
masalah seperti ini.
Seorang penuntut ilmu harus menggali ilmu secara mengakar, menggali
masalah 'aqidah, membaca kitab-kitab 'aqidah dengan benar. Kalian telah
mengetahui bahwa jalan pertama menuju surga ialah tauhid. Demi Allah,
seseorang tidak akan masuk surga kecuali dengan tauhid yang bersih. Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di Mekkah selama 13 tahun
mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus belajar 'aqidah yang benar.
Ada sebagian orang dari penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang
definisi iman, ia tidak tahu. Ditanya tentang makna iman menurut
Murji`ah, ia tidak tahu. Ia tidak memiliki modal ilmu. Ditanya tentang
kaidah takfir (hukum mengafirkan orang), ia tidak tahu. Tentang pedoman
jihad, ia tidak tahu. Apa arti wala` wal-bara`, ia mengerti tidak tahu.
Apa perbedaan antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak paham. Padahal ia
berdakwah mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus menggali
ilmu secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan persoalan
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah yang menyebabkan
pelakunya menjadi kafir.
Ada orang yang menghukumi kafir kepada setiap orang, terutama penguasa
yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah. Ini tidak benar!
Saya termasuk salah satu dari anggota komisi yang bertugas memberikan
nasihat kepada para pemuda pelaku penyimpangan. Pemuda yang memiliki
pola pikir menyimpang, yang melakukan peledakan di tempat-tempat
pemukiman. Para penjahat yang menghabisi diri sendiri dan menghabisi
orang lain. Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal ilmu yang cukup.
Mereka hanya memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat terhadap
banyak hal menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar
ilmiah, kosong!.
Demi Allah, jika mereka memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka
tidak akan melakukan tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata
mereka memahami wala` wal-bara` dan bisa membedakan antara muwalah
(setia kawan dan kasih sayang) dengan mu’âmalah (tata pergaulan yang
baik), tentu mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan itu.
Saudaraku, andaikata penguasa betul-betul kafir, selama engkau berada di
dalam wilayah kekuasaannya, maka ia memiliki hak yang wajib engkau
laksanakan. Apalagi jika penguasa itu seorang muslim.
Orang tidak bisa membedakan antara muwalah (setia kawan dan kasih
sayang) dengan mu’amalah (tata pergaulan yang baik). Sehingga sekedar
engkau bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan orang kafir, egkau akan
dianggap telah mencintai dan bersetia kawan dengan orang kafir
tersebut.
Wahai saudaraku, padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menjelaskan makna muwalah kepada kita. Al-Qur`an juga telah
menjelaskannya kepada kita. Sementara itu, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tetap bermu’amalah (melakukan pergaulan) dengan
orang-orang kafir di Madinah. Beliau –misalnya- mempergauli orang
Yahudi, ziarah ke tempat seorang Yahudi yang sedang sakit, sehingga
dengan sebab itu orang Yahudi tersebut masuk Islam.
Lalu bagaimanakah dengan kita (kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita
mempersulit diri kita sendiri dan mempersulit orang lain? Mengapa
banyak di antara kita (kaum Muslimin) yang menjadikan orang lain
antipati terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras yang tidak
bedasarkan petunjuk dari Allah? Mengapa demikian? Terutama yang
berkaitan dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala` wal-bara`,
mengapa tidak mengikuti manhaj Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?
Demikianlah untaian nasehat Syaikh 'Abdul-'Aziz -hafizhahullah-
selanjutnya memberikan contoh tentang sikap para ulama yang lemah lembut
dalam mempergauli orang lain, seperti Syaikh bin Baz rahimahullah dan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah .
Begitu pula pada bagian-bagian akhir dari nasihatnya, Syaikh
'Abdul-'Aziz -hafizhahullah- menekankan agar setiap penuntut ilmu
bersungguh-sungguh mengkaji dan menggali ilmu sampai mendalam melalui
bimbingan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebab dengan ilmu itulah, seseorang
akan dapat mengikuti Sunnah dan ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam secara benar. Sehingga tidak akan melakukan
penyimpangan-penyipangan, termasuk tindakan anarkhis dan merugikan orang
lain, yang menyebabkan citra Islam menjadi buruk, bahkan di kalangan
kaum Muslimin awam.
Demikianlah kandungan bagian akhir dari nasihat Syaikh 'Abdul-'Aziz
-hafizhahullah- yang terpaksa kami ringkas, karena nasihat tersebut
masih agak panjang. Semoga bermanfaat bagi kaum Muslimin.
Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (06-07)/Tahun XI/1428/2007M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. HR Abu Dawud no. 1297 (Hadits dha'îf. Dha'îf Sunan Abî Dawud 327, Dha'îf Sunan Ibni Mâjah no. 834)
[2]. Muttafaqun 'alaihi.
[3]. HR Muslim no. 6, Abu Dawud no. 4340
0 komentar:
Posting Komentar