Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Kehidupan ini adalah ujian bagi manusia. setiap umat diuji dengan cobaan
yang sesuai dengan keadaan mereka. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِى الْمَالُ
Sesungguhnya setiap umat memiliki ujian, dan ujian umatku adalah harta[1] .
Ketika menjelaskan makna hadits ini, Imam al-Mubârakfûri rahimahullah
mengatakan, "Sesungguhnya setiap umat memiliki ujian, maksudnya
kesesatan dan kemaksiatan; Dan ujian umat ini adalah harta, maksudnya
harta menyebabkan kelalaian. Karena harta bisa melalaikan fikiran dari
ketaatan dan bisa menyebabkan lupa akhirat.[2]
Allâh Azza wa Jalla juga telah menciptakan manusia dengan tabia'atnya
yang sangat mencintai harta. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. [al-Fajr/89:20]
Imam at-Thabari rahimahullah mengatakan, "Maksudnya, wahai manusia,
kalian sangat suka mengumpulkan harta benda dan sangat berantusias untuk
memilikinya”[3] .
Oleh karena itu, ujian dengan harta akan menampakkan jati diri umat ini,
akan menguji kesungguhannya dalam berpegang teguh dengan syari’at,
mempertahankan kesucian jiwanya serta akan menguji tekadnya untuk tetap
berpegang dengan manhaj yang haq. Ataukah akan menyerahkan kepada
ketamakan nafsunya sehingga rela menukarkan agama dengan dunia, gandrung
kepadanya yang kemudian berlanjut dengan membuat berbagai kerusakan di
muka bumi ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
Kerusakan pada sekawanan kambing akibat dua srigala lapar yang
dilepaskan padanya tidak lebih parah dibandingkan kerusakan pada agama
seseorang akibat kerakusannya terhadap harta dan kemuliaan[4].
Imam ath-Thîbi menjelaskan makna hadits diatas dengan perkataan beliau,
“Kerusakan pada sekawanan kambing akibat dilepasi serigala lapar tidak
lebih parah dibandingkan kerusakan pada agama seseorang akibat
ketamakannya pada harta dan kemuliaan. Karena kerusakan pada agama
seseorang yang disebabkan oleh kerakusannya lebih parah daripada
kerusakan yang ditimbulkan oleh dua srigala lapar jika dilepaskan pada
serombongan kambing.
Adapun kerusakan yang ditimbulkan oleh harta yaitu ia semacam kekuatan
yang mampu menggerakkan syahwat dan menyeretnya untuk bersenang-senang
dengan hal-hal mubah, sehingga bersenang-senang itu menjadi
kebiasaannya. Bisa jadi, kesenangannya terhadap harta semakin bertambah
besar sementara terkadang dia tidak mampu mencari yang halal, akhirnya
terjerumus dalam perkara syubahat ditambah lagi itu melalaikan dari
dzikrullâh. Dan tidak ada seorangpun yang lepas dari hal ini.
Sedangkan kemuliaan (seperti kedudukan dan semacamnya-pen), maka
cukuplah sebagai kerusakannya yaitu harta dikorbankan untuk meraihnya,
sementara kemuliaan tidak dikorbankan untuk meraih harta. Dan itu
merupakan syirik khafi (yang samar). Sehingga dia tenggelam dalam
perbuatan riya’, mudâhanah (toleransi dengan mengorbankan agama),
kemunafikan dan semua akhlaq yang hina. Maka ini jelas sangat
merusak”.[5]
Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim, memburu dunia ini dengan
segala cara, memperbanyaknya, menyimpan dan menumpuknya tanpa
menginfakkannya di jalan Allâh. Karena itu hanya akan menyeret hatinya
menuju dunia dan perhiasannya serta memenjaranya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمُ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، إِلاَّ
مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا ، فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ
وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ ، وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang banyak harta adalah orang-orang yang
sedikit (kebaikannya) pada hari kiamat, kecuali orang yang diberi harta
oleh Allâh, lalu dia memberi kepada orang yang disebelah kanannya,
kirinya, depannya dan belakangnya. Dia melakukan kebaikan pada
hartanya[6]
LIHATLAH ORANG DIBAWAH ANDA!
Dalam urusan harta atau kesenangan dunia, seorang muslim hendaklah
melihat orang yang berada di bawahnya, agar dia bisa bersyukur.
Janganlah sebaliknya, melihat orang yang lebih banyak hartanya ! Itu
hanya akan memancing untuk berkeluh kesah, gelisah dan tidak bersyukur
terhadap nikmat Allâh Azza wa Jalla , bahkan bisa menyeret seseorang
untuk menilai nikmat Allâh Azza wa Jalla yang ada pada dirinya kecil dan
remeh.
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan peringatan kepada RasûlNya dengan firmanNya :
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا
مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ
رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
Dan janganlah kamu arahkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan
dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb kamu adalah
lebih baik dan lebih kekal. [ath-Thâha/20:131]
Imam Ibnu Katsîr t menjelaskan, “Allâh berfirman kepada NabiNya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Janganlah engkau melihat orang-orang yang
hidup mewah atau yang semisalnya dan jangan pula engkau
kenikmatan-kenikmatannya ! Karena itu hanyalah bunga kehidupan yang akan
sirna dan kenikmatan yang akan hilang. (Kami memberikan mereka-red)
untuk Kami uji mereka dengannya dan hamba-hambaKu yang banyak bersyukur
itu sedikit sekali”.[7]
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ
فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian
melihat orang yang diberi kelebihan harta dan bentuk tubuh, hendaklah
dia melihat orang berada di bawahnya.[8]
Dalam Sunan Tirmidzi dibawakan dengan lafazh :
مَنْ رَأَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْخَلْقِ وَالرِّزْقِ فَلْيَنْظُرْ
إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلُ مِنْهُ مِمَّنْ فُضِّلَ هُوَ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ
أَجْدَرُ أَنْ لاَ يَزْدَرِىَ نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang melihat orang yang diberi kelebihan bentuk tubuh dan
rizqi, maka hendaklah dia melihat orang yang di bawahnya yaitu orang
yang diunggulinya, karena hal itu lebih pantas agar dia tidak meremehkan
nikmat Allâh yang dianugerahkan padanya.[9]
Riwayat diatas semakna dengan adalah hadits riwayat yang dibawakan al-Hâkim, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَقِلُّوا الدُّخُولَ عَلَى الْأَغْنِيَاءِ فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
Kurangilah kunjungan ke orang-orang kaya, karena itu lebih baik agar kakalian tidak meremehkan nikmat Allâh. [HR. al-Hâkim]
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Hadits ini mengumpulkan berbagai
makna kebaikan. Karena seorang hamba jika dia bersungguh-sungguh dalam
menjalankan agama dan beribadah kepada Rabbnya, dia mesti akan
mendapatkan ada orang lain yang berada di atasnya. Ketika dia ingin
menyusul orang yang di atasnya, dia akan menilai usahanya kurang,
sehingga dia akan selalu menambah ibadahnya kepada Rabbnya. Dan tidaklah
dia berada dalam kondisi miskin dunia kecuali ada orang lain yang lebih
rendah darinya. Jika dia merenungkan ini, dia akan tahu bahwa nikmat
Allâh Azza wa Jalla itu telah sampai kepadanya sementara orang-orang
yang lebih utama tidak mendapatkannya, dengan tanpa ada usaha darinya
untuk mendapatkannya. Ini akan mendorong dirinya untuk bersyukur. Dengan
demikian, kesenangannya di akhirat akan akan bertambah dengan sebab
(syukurnya) itu”.
Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat obat dari
penyakit. Karena jika seseorang melihat orang yang statusnya lebih
tinggi (dalam masalah harta dan bentuk tubuh-pent), maka akan sangat
berpotensi menimbulkan hasad pada dirinya. Dan obatnya adalah melihat
orang yang lebih rendah darinya, sehingga bisa mendorong untuk
bersyukur.[10]
CELAKA ORANG YANG DIPERBUDAK HARTA
Maka celaka, celaka orang yang menyembah harta.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ
وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ،
وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau bersabda, "Celakalah hamba (orang yang diperbudak)
dinar, dirham, beludru dan kain bergambar. Jika dia diberi dia ridha,
jika tidak diberi dia tidak ridha.[11]
Maka selayaknya, seorang hamba tidak membiarkan dirinya diperbudak harta
dalam kehidupannya, selalu berangan-angan dan bermimpi untuk
mendapatkannya, mencintai dan membenci karenanya, membela dan memusuhi
hanya demi harta. Karena hal itu hanya akan membawa kepada
kehancurannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sepantasnya
seseorang itu mengambil harta dengan kemurahan jiwa, agar dia diberkahi
di dalam hartanya. Jangan sampai dia mengambilnya dengan ambisi dan
rakus. Mestinya dia memandang harta itu seperti fungsi kamar kecil/WC.
Manusia membutuhkannya namun ia tidak memiliki tempat di hati. Dan jika
dia berusaha mencari harta, maka dia berusaha mencari harta seperti
memperbaiki kamar kecil”.[12]
SEMUA ADALAH UJIAN
Harta itu adalah ujian, padahal manusia sangat menyukainya. Oleh karena
itu, banyak orang yang gagal dalam menghadapi ujian besar ini. Sedikit
sekali orang yang bisa bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas
limpahan nikmatNya yang tidak terhitung banyak dan nilainya. Lâ haula wa
lâ quwwata illâ billâh. Banyak orang mengira, jika Allâh memberikan
harta yang banyak kepadanya, itu bertanda Allâh mencintainya.
Sebaliknya, jika Allâh mengurangi rizqinya, itu pertanda Allâh
menghinakannya. Ini adalah anggapan keliru. Karena semua itu merupakan
ujian dari Allâh Azza wa Jalla . Allâh berfirman :
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ
وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ
فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Adapun manusia, jika dia diuji oleh Rabbnya, dimuliakan dan diberi
kesenangan, maka dia akan berkata, "Rabbku telah memuliakanku".
Sedangkan bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya, maka dia
berkata, "Rabbku telah menghinakanku". [al-Fajar/89:15-16]
Allâh Azza wa Jalla mengingkari keyakinan keliru ini. Bahkan dalam ayat
yang lain, Allâh Azza wa Jalla menegaskan bahwa itu merupakan ujian.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ ۚ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada
mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan
kepada mereka ? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.
[al-Mukminûn/23:55-56]
Demikian juga pada sisi yang lain, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala
menguji seseorang dan menyempitkan rizqinya, dia berkeyakinan bahwa itu
adalah penghinaan dari Allâh. Allâh berfirman, "Tidak", maksudnya tidak
sebagaimana yang dia duga, tidak ini dan tidak pula itu. Karena Allâh
Azza wa Jalla memberikan harta itu kepada orang yang Dia cintai dan
kepada orang yang tidak dicintai; Allâh Azza wa Jalla menyempitkan harta
orang yang Dia cintai dan orang yang tidak dicintai. Sesungguhnya yang
pokok dalam hal ini adalah ketaatannya kepada Allâh dalam dua keadaan
itu. Jika dia kaya, dia bersyukur kepada Allâh dan jika dia miskin, dia
bersabar”.[13]
Akhirnya, hendaklah kita menyadari bahwa semua ini adalah ujian, marilah kita menhadapi dengan ketaatan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. Tirmidzi, no. 2336; Ahmad 4/160; Ibnu Hibbân no. 3223; al-Hâkim
4/318; al-Qudhai dalam Asy-Syihâb no. 1022; dishahihkan oleh syaikh
Salîm al-Hilâli dalam Silsilah al-Manahi asy-Syar’iyyah, 4/194
[2]. Lihat, Tuhfatul Ahwâdzi, syarah hadits no.2336
[3]. Tafsir at-Thabari, surat Al-Fajr/67, ayat 89
[4]. HR. Tirmidzi, no. 2376; Ahmad 3/456; dishahîhkan syaikh Salîm al-Hilâli dalam Silsilahtul Manahi asy-Syar’iyyah, 4/195
[5]. Tuhfatul Ahwâdzi, syarah hadits ini
[6]. HR. Bukhâri, no. 6443; Muslim, no. 94
[7]. Tafsir Ibnu Katsîr, surat ath-Thaha, ayat 131
[8]. HR. Bukhâri, no. 6490
[9]. HR. Tirmidzi
[10]. Lih. Fathul Bâri
[11]. HR. Bukhâri, no. 2886
[12]. al-Washiyatul Kubrâ, hlm. 55, tahqîq : Syaikh Salîm al-Hilâli
[13]. Tafsîr Ibnu Katsir, Qs. al-Fajar/89:15-16
0 komentar:
Posting Komentar