Oleh:Muhammad bin Suud Al-Uraifi
1. Waktu Shalat Witir
Para ulama sepakat, bahwa waktu shalat Witir tidaklah masuk kecuali
setelah ‘Isya’ dan waktunya tetap berlangsung hingga Shubuh.[1]
Dari Abu Bashra Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَـلاَةً، فَصَلُّوْهَا بَيْنَ الْعِـشَاءِ وَالْفَجْرِ.
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi kalian tambahan
shalat, yaitu shalat Witir, maka shalat Witirlah kalian antara waktu
shalat ‘Isya’ hingga shalat Shubuh." [2]
Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Ibnu Mas'ud berkata, "Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Witir pada awal malam,
pertengahan dan akhir malam."[3]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, "Setiap malam, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Witir, sejak awal malam,
pertengahan dan akhir malam, dan shalat Witirnya ini berakhir hingga
waktu sahur."[4]
Dan hadits-hadits lainnya dari jalur lain yang menunjukkan bahwa semua
waktu malam sejak ‘Isya’ hingga Shubuh adalah waktu bagi shalat Witir.
Permasalahan: "Jika seseorang menjama’ shalat ‘Isya’ dengan shalat
Maghrib secara jama’ taqdim sebelum tenggelamnya mega merah (me-lakukan
keduanya pada waktu Maghrib), maka dia boleh melakukan shalat Witir
setelah shalat ‘Isya’ yang dilakukannya. Pendapat ini dike-mukakan oleh
mayoritas ulama."[5]
Waktu Shalat Witir Yang Paling Utama:
Yang paling utama adalah mengakhirkan pelaksanaan shalat Witir hingga
akhir malam, hal itu diperuntukkan bagi orang yang yakin bahwa dirinya
akan bangun (di akhir malam), berdasarkan hadits Jabir Radhiyallahu
anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ آخِرَ اللَّيْلِ، فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ،
وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ،
فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذَلِكَ أَفْضَلُ.
'Barangsiapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam, maka hendaklah
dia me-lakukan shalat Witir pada awal malam. Dan barangsiapa yang
bersikeras untuk bangun pada akhir malam, maka hendaklah dia me-lakukan
shalat Witir pada akhir malam, karena shalat di akhir malam itu
disaksikan (oleh para Malaikat), dan hal itu adalah lebih utama.'"[6]
Di samping itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun sering
me-lakukannya di akhir malam. Disebutkan dalam dua kitab Shahih dan yang
lainnya beberapa hadits dari sejumlah Sahabat yang menjelaskan bahwa
beliau melakukan shalat Witir di akhir malam, bahkan pada sebagian
hadits tersebut dijelaskan tentang perintah menjadikan shalat Witir
sebagai akhir dari shalat malam. Tidak hanya seorang yang mengatakan
bahwa pendapat ini adalah pendapat seluruh ulama.[7]
Saya berkata, "Di samping itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berwasiat kepada beberapa orang Sahabatnya agar tidak tidur sebelum
melakukan shalat Witir."
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, dia berkata, saya pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلَّذِي لاَ يَنَامُ حَتَّى يُوْتِرَ، حَازِمٌ.
"Orang yang tidak tidur sebelum melakukan shalat Witir, adalah orang yang teguh (iman-nya)."[8]
2. Jumlah Raka’at Shalat Witir
Shalat Witir tidaklah memiliki jumlah raka’at tertentu, namun jumlahnya
yang paling sedikit adalah satu raka’at, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ.
"Shalat Witir itu satu raka’at di akhir malam." [HR. Muslim].[9]
Dan tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir hanya satu raka’at saja, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُوْتِرَ بِوَاحِدَةٍ، فَلْيَفْعَلْ.
"Dan barangsiapa yang senang melakukan shalat Witir satu raka’at, maka hendaklah dia melakukannya."[10]
Shalat Witir yang paling utama adalah sebelas raka’at, yang dilakukan
dua raka’at dua raka’at, dan diganjilkan dengan satu raka’at,
berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu anhuma:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يُصَلِّي
بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً، يُوْتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ.
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat pada malam
hari sebanyak sebelas raka’at dengan meng-ganjilkan di antaranya dengan
satu raka’at."
Dalam satu redaksi diungkapkan:
يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، وَيُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ.
"Beliau salam di antara setiap dua raka’at dan mengganjilkannya dengan satu raka’at."[11]
Jika seseorang melakukan shalat Witir sebanyak lima raka’at atau tujuh
raka’at, maka dia boleh melakukannya semuanya secara terus-menerus dan
tidak duduk (untuk membaca tahiyyat) kecuali diakhirnya (pada raka’at
kelima atau ketujuh), berdasarkan ucapan Ummu Salamah Radhiyallahu
anhuma:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يُوْتِرُ بِسَبْعٍ
وَبِخَمْسٍ، لاَ يُفَصِّلُ بَيْنَهُنَّ بِسَلاَمٍ وَلاَ كَلاَمٍ.
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat Witir
sebanyak tujuh raka’at dan lima raka’at dengan tanpa memisah di antara
kesemuanya dengan salam dan tanpa adanya pembicaraan." [HR. Ahmad].[12]
Jika seseorang melakukan shalat Witir sebanyak sembilan raka’at, maka
dia boleh melakukannya delapan raka’at secara terus-menerus, kemudian
dia duduk setelah raka’at kedelapan dan melakukan tasyahhud awal
(tahiyyat pertama) dengan tanpa salam, kemudian melanjutkan ke raka’at
kesembilan dan melakukan salam, berdasarkan ucapan 'Aisyah Radhiyallahu
anuhma :
وَيُصَلِّي تِسْعَ رَكَعَاتٍ، لاَ يَجْلِسُ فِيْهَا إِلاَّ فِي
الثَّامِنَةِ، فَيَذْكُرُ اللهَ، وَيَحْمَدُهُ، وَيَدْعُوْهُ، وَيَنْهَضُ،
وَلاَ يُسَلِّـمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلِّي التَّاسِعَـةَ ثُمَّ يَقْعُدُ
فَيَذْكُرُ اللهَ، وَيَحْمَدُهُ، وَيَدْعُوْهُ، ثُمَّ يُسَلِّمُ
تَسْلِيْمًا يُسْمِعُنَاهُ.
"Dan beliau melakukan shalat sebanyak sembilan raka’at tanpa duduk
(untuk mem-baca tahiyyat) padanya, kecuali pada raka’at kedelapan, lalu
beliau menyebut nama Allah, memuji-Nya, berdo’a kepada-Nya dan kemudian
bangkit (berdiri) tanpa salam, kemu-dian beliau berdiri, lalu melakukan
raka’at kesembilan, kemudian duduk, menyebut nama Allah, memuji-Nya dan
berdo’a kepada-Nya, kemudian salam dengan bacaan yang dapat kami
dengar." [HR. Muslim].[13]
Shalat malam tersebut tetap sah jika dilakukan lebih dari tiga belas
raka’at, akan tetapi harus diakhiri dengan bilangan ganjil (shalat
Witir), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيْتَ الصُّبْحَ أَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ.
"Shalat malam itu dilakukan dua raka’at-dua raka’at, apabila kamu
mengkhawatirkan datangnya waktu Shubuh, maka shalat Witir-lah sebanyak
satu raka’at."[14]
3. Bacaan Dalam Shalat Witir
Disunnahkan bagi orang yang melakukan shalat Witir untuk membaca pada
raka’at per-tama dengan surat al-A’laa, pada raka’at kedua dengan surat
al-Kaafiruun, pada raka’at ketiga dengan surat al-Ikhlash, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia menilainya hasan, dari
'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي
الرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى : سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى، وَفِي رَكْعَةِ
الثَّانِيَةِ :قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ ، وَفِي الثَّالِثَةِ :
قُلْ هُوَ اللهُ أَحَد، وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada raka’at pertama
dengan surat al-A’laa, pada raka’at kedua dengan surat al-Kaafiruun dan
pada raka’at ketiga dengan surat al-Ikhlash dan dua surat mu’awidzatain
(surat al-Falaq dan surat an-Naas)."[15]
Dan terdapat pula hadits serupa yang diri-wayatkan dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma dan Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu anuma.
4 Bacaan Qunut Dalam Shalat Witir
Qunut dalam shalat Witir hukumnya sunnah, bukan wajib. Dalil
disyari’atkannya qunut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca qunut pada shalat Witir dan beliau tidak melakukannya kecuali
hanya sedikit. Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari al-Hasan
bin ‘Ali Radhiyallahuma, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang akan aku baca
pada shalat Witir, yaitu:
اَللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيْمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِي فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا أَعْطَيْتَ،
وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ،
إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.
'Ya Allah, berilah aku petunjuk pada orang yang telah Engkau beri
petunjuk, selamatkanlah aku pada orang yang Engkau selamatkan,
kendalikanlah aku pada orang yang telah Engkau kendalikan, berkahilah
aku pada apa yang telah Engkau berikan, lindungilah aku dari kejahatan
apa yang telah Engkau putuskan, sesungguhnya Engkaulah yang memberikan
keputusan, bukan yang diberi keputusan, sesungguhnya tidak akan hina
orang yang Engkau kasihi, Mahasuci Engkau wahai Rabb kami dan Mahatinggi
Engkau.'"[16]
At-Tirmidzi berkata: "Hadits ini hasan dan kami tidak mengetahui hadits
yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qunut dalam
shalat Witir yang lebih baik dari hadits ini."
Dan di antara dalil yang menunjukkan bahwa qunut itu tidak wajib adalah
bahwa telah ditetap-kan secara shahih dari sebagian Sahabat dan Tabi’in
bahwa mereka pernah meninggalkan qunut dalam shalat Witir, bahkan telah
ditetapkan pula secara shahih dari sebagian mereka bahwa mereka
meninggalkan qunut selama satu tahun, kecuali pada separuh (kedua) dari
bulan Ramadhan, seperti yang dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu anhu dan juga telah ditetapkan secara shahih dari selainnya
bahwa mereka membaca qunut dalam shalat Witir selama satu tahun.[17]
Perbedaan yang terjadi di antara mereka ini menunjukkan bahwa bagi
mereka tidak ada riwayat yang ditetapkan secara shahih bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca qunut pada setiap shalat Witir.
Dan pada pernyataan ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau
terkadang me-ninggalkan qunut pada shalat Witir. Wallaahu a’lam.
Penempatan Qunut:
Qunut dalam shalat Witir dilakukan pada raka’at terakhir setelah selesai
dari bacaan (al-Faatihah dan surat) dan sebelum ruku’, sebagaimana juga
sah dilakukan setelah bangun dari ruku’ (pada posisi i’tidal), semua
ini telah ditetapkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kebanyakan ulama memahami bahwa qunut dilakukan sebelum ruku’
dengan tujuan agar lama dalam berdiri.
Dan terdapat sebuah hadits dari Anas Radhiyallahu anhu bahwa ia pernah
ditanya mengenai hal ini, lalu ia menjawab, "Kami melakukannya sebelum
dan sesudah ruku’." [HR. Ibnu Majah].[18]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitab Fat-hul Baarii, "Sanad hadits ini kuat."
5. Mengqadha’ Shalat Witir Bagi Orang Yang Terlewatkan
Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengqadha’ shalat Witir itu termasuk
syari’at. Telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, ia ber-kata,
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ.
'Barangsiapa tidur dengan meninggalkan shalat Witir atau melupakannya,
maka hendaklah dia melakukannya ketika mengingatnya.'"[19]
Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Jika
seseorang dari kalian memasuki waktu Shubuh dan dia belum melakukan
shalat Witir, maka hendaklah dia melakukannya."[20]
Waktu Mengqadha’ Shalat Witir:
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu untuk mengqadha’ shalat
Witir. Menurut ulama (madzhab) Hanafi, qadha’ dilakukan pada selain
waktu yang dilarang (melakukan shalat). Menurut ulama (madzhab) Syafi’i,
qadha’ dilakukan kapan saja, malam ataupun siang hari. Dan menurut Imam
Malik dan Imam Ahmad, qadha’ dilakukan setelah terbit fajar selama
shalat Shubuh belum dilakukan.[21]
[Disalin dari kitab "Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun" karya
Muhammad bin Su'ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh 'Abdullah
al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. An-Nawawi dan Abu Hanifah berkata: "Jika seseorang melakukan shalat
Witir sebelum ‘Isya’ karena lupa, maka dia tidak perlu mengulanginya."
Namun mayoritas ulama berbeda pendapat dengan keduanya, al-Mughni,
(II/134).
[2]. Telah ditakhrij sebelumnya.
[3]. HR. Ahmad dalam Musnadnya, dengan sanad hasan, (hadits no. 16623).
[4]. HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Witr, bab Saa'aatil Witr, (hadits no.
996) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaa-firiin bab Shalaatil Laili
wa 'Adadu Raka'aatin Nabiy Shallallahu 'alaihi wa sallam (hadits no.
745).
[5]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi’, (II/184).
[6]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Man Khaafa an Laa
Yaquuma min Aakhiril Laili fal Yuutir Awwa-lahu, (hadits no. 755).
[7]. Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi', (II/185).
[8]. HR. Ahmad dalam kitab Musnadnya, (hadits no. 1464).
[9]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin, bab Shalaatil Laili
Matsna Matsna wal Witru Rak'atan min Akhiiril Lail, (hadits no. 752).
[10]. HR. Abu Dawud dalam kitab Sunannya, kitab ash-Shalaah, bab Kamil
Witr, (hadits no. 1422), an-Nasa-i dalam kitab Qiyaamil Lail, bab
Dzikril Ikhtilaafi 'alaz Zuhri fii Hadiitsi Abi Ayyuub fil Witr, (hadits
no. 1710) dan Ahmad dalam kitab Musnadnya, (hadits no. 23033).
[11]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin wa Qashriha, bab
Shalaatil Laili wa 'Adadu Raka'aatin Nabiy j (hadits no. 736).
[12]. HR. Ahmad dalam kitab Musnadnya, (hadits no. 25947).
[13]. HR. Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Jaami'u
Shalaatil Laili wan Man Naama 'anhu aw Maridha, (hadits no. 746).
[14]. HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Witr, bab Maa Jaa-a fil Witr,
(hadits no. 990) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaa-firiin, bab
Shalaatil Laili Matsna Matsna wal Witru Rak'atan min Aakhiril Lail,
(hadits no. 749). Saya berkata: Namun tidak terdapat keterangan dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah melakukan shalat
Witir lebih banyak dari tiga belas raka’at, akan tetapi beliau pernah
memanjangkannya, di mana untuk melakukannya, beliau menghabiskan dua
pertiga malam atau yang sepadan dengannya, berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ
"Sesungguhnya Rabb-mu mengetahui bahwa kamu (Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam) melakukan shalat kurang dari dua pertiga malam,
separuhnya dan sepertiganya."
[15]. HR. At-Tirmidzi dalam kitab Sunannya dalam kitab ash-Shalaah, bab
Maa Jaa-a fiimaa Yaqra-u fil Witr, (hadits no. 462) dan dihasankannya
dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya, (hadits no. 2432), sebagaimana
disebutkan dalam kitab al-Ihsaan. Al-Albani rahimahullah berkata:
"Hadits ini shahih," lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi, (I/144).
[16]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Qunuut, (hadits no.
1425), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalaah, bab Maa Jaa-a fil Qunuut fil
Witr, (hadits no. 464), an-Nasa-i dalam kitab Qiyaamul Lail, bab
ad-Du'aa' fil Witr, (hadits no. 1745) dan Ibnu Majah dalam kitab
Iqaamatish Shalaah, bab Maa Jaa-a fil Qunuut fil Witr, (hadits no.
1178). Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Irwaa-ul
Ghaliil, (II/172).
[17]. Lihat al-Mushannaf, oleh Ibnu Abi Syaibah, (II/305) dan Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 135).
[18]. HR. Ibnu Majah dalam kitab Iqaamatish Shalaah, bab Maa Jaa-a fil
Qunuut Qablar Rukuu' wa Ba'dahu, (hadits no. 1172). Al-Albani berkata:
"Hadits ini dengan isnad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh
al-Bushiri dalam kitab az-Zawaa-id," lihat Irwaa-ul Ghaliil, (II/161).
[19]. HR. Abu Dawud dalam kitab ash-Shalaah, bab Maa Jaa-a fid Du'aa'
Ba'dal Witr, (hadits no. 1431), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalaah, bab
Maa Jaa-a fir Rajuli Yanaamu 'anil Witr au Yansaahu, (hadits no. 466),
Ibnu Majah dalam kitab Iqaamatish Shalaah, bab Man Naama 'anil Witr an
Nasiyahu, (hadits no. 1177) dan al-Hakim dalam kitab Mustadraknya,
(I/443) dan dia berkata: "Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari
dan Muslim." Dan pendapatnya ini disetujui oleh adz-Dzahabi."
[20]. HR. Al-Hakim dalam kitab Mustadraknya, (I/446) dan dia berkata:
"Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim dan pendapatnya
ini disetujui oleh adz-Dzahabi.
[21]. Lihat Fiqhus Sunnah, (I/167). Simak pula pendapat Syaikh ‘Abdul
‘Aziz bin Baaz rahimahullah pada pasal kelima dari kitab ini mengenai
masalah ini.
0 komentar:
Posting Komentar