Oleh
Ustadz DR Muhammad Arifin Badri
MAKNA KEBERKAHAN
Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdo’a untuk
mendapatkan keberkahan, baik dalam umur, keluarga, usaha, maupun dalam
harta benda dan lain-lain. Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, apakah
sebenarnya yang dimaksud dengan keberkahan itu? Dan bagaimana untuk
memperolehnya?
Apakah keberkahan itu hanya terwujud jamuan makanan yang kita bawa
pulang saat kenduri? Atau apakah keberkahan itu hanya milik para kiyai,
tukang ramal, atau para juru kunci kuburan, sehingga bila salah seorang
memiliki suatu hajatan, ia datang kepada mereka untuk “ngalap berkah”,
agar cita-citanya tercapai?
Bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab
maupun melalui dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan
mendapatkan bahwa kata al-barakah memiliki kandungan dan pemahaman yang
sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, al-barakah, berarti
berkembang, bertambah dan kebahagian [1]. Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata : “Asal makna keberkahan, ialah kebaikan yang banyak dan abadi”
[2]
DAHULU, SABA MERUPAKAN NEGERI PENUH BERKAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang negeri mereka.
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun” [Saba : 15]
Ayat diatas berbicara tentang negeri Saba’ sebelum mengalami kehancuran
lantaran kekufuran mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam
Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kisah bangsa
Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shalih,
maka mereka dilingkupi dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli
tafsir mengisahkan, kaum wanita Saba’ tidak perlu bersusah-payah memanen
buah-buahan di kebun mereka. Untuk mengambil hasil buahnya, cukup
menaruh keranjang di atas kepala, lalu melintas di kebun, maka
buah-buahan yang telah masak akan berjatuhan memenuhi keranjangnya,
tanpa harus memetik atau mendatangkan pekerja untuk memanennya.
Sebagian ulama lain juga menyebutkan, dahulu di negeri Saba’ tidak ada
lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya. Kondisi demikian itu
lantaran udaranya yang bagus, cuacanya bersih, dan berkat rahmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa meliputi mereka. [3]
Kisah keberkahan yang menakjubkan pada zaman keemasan umat Islam juga
pernah diungkapkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :”Sungguh,
biji-bijian dahulu, baik gandum maupun yang lainnya lebih besar
dibanding dengan yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada
padanya (biji-bijian kala itu, pent) lebih banyak. Imam Ahmad
rahimahullah telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah
ditemukan di gudang sebagian kekhilafahan Bani Umawi sekantung gandum
yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung
luarnya :”Ini adalah gandum hasil panen pada masa keadilan ditegakkan”
[4]
Bila demikian, tentu masing-masing kita mendambakan untuk mendapatkan
keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta. Sehingga kita
bertanya-tanya, bagaimanakah cara agar usaha, penghasilan dan harta saya
diberkahi Allah?
DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN
Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam
penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.
Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ
بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا
فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi,
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya” [Al-A’raf : 96]
Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang
beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan
keberkahan dalam hidup.
Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa
rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah
Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian
kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam
kandungan ibunya.
Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan
buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa
daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan
sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh
alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah
menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِنْدِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ
أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا
“Qarun berkata : “Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu
yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah
sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya ..” [Al-Qashah : 78]
Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu
kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ
أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ لَوْ كَانَ ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ
لَكَفَاكُمْ. رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان
“Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang
sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan
beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca
Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian”. [HR
Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban]
Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli
istrinya ia berkata : “Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah
kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan
kepada kami”, kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari
hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan” [HR
Al-Bukhari]
Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan
suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak
keturunan.
Kedua : Amal Shalih
Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan
menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi
syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf
ayat 96 diatas.
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang
hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman.
وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ
إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ
أَرْجُلِهِمْ
“Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan
(Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan
mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka”
[Al-Ma’idah : 66]
Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan “mendapatkan
makanan dari atas dan dari bawah kaki”, ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit
dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai
kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan
atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5]
Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah
kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah
tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga
agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di
bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh
orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ
وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ
رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً
مِنْ رَبِّكَ
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu,
dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka
sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai
rahmat dari Rabbmu” [Al-Kahfi : 82]
Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat
ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak
tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang
semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Pada kisah ini terdapat dalil bahwa
anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya
akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at
kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar
orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an
dan Sunnah’ [6]
Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah
berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang
telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ) رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم
“Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari
dosa yang ia kerjakan” [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll]
Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu
dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan
dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَوْلَا بَنُو إِسْرَائِيلَ لَمْ يَخْبُثْ الطَّعَامُ وَلَمْ يَخْنَزْ اللَّحْمُ (متفق عليه)
“Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak
akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk” [Muttafaqun
‘alaih]
Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh)
yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari,
mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap
pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan
mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah
ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka
pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka
simpan tersebut menjadi busuk. [7]
Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.
AMAL SHALIH MEMBANTU MENDATANGKAN KEBERKAHAN
Setelah terpenuhi dua syarat diatas, keberkahan juga bisa diraih berkat
beberapa amal shalih yang nyata telah kita lakukan. Misalnya sebagai
berikut.
Pertama : Mensyukuri Segala Nikmat
Tiada kenikmatan, apapun wujudnya yang dirasakan menusia, melainkan
datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Atas dasar itu, Allah Subhanahu
wa Ta’ala mewajibkan manusia untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya.
Dengan cara senantiasa mengingat bahwasanya kenikmatan tersebut datang
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, diteruskan mengucapkan hamdalah, dan
selanjutnya menafkahkan sebagai kekayaannya di jalan-jalan yang diridhai
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang yang telah mendapatkan taufik
untuk bersyukur, ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga
Allah akan senantiasa melipatgandakan kenikmatan baginya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ingatlah tatkala Rabbmu mengumandangkan : “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih”
[Ibrahim : 7]
Pada ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
“Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri” [An-Naml : 40]
Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :”Manfaat bersyukur tidak akan
dirasakan, kecuali oleh pelakunya sendiri. Dengan itu, ia berhak
mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang telah ia dapatkan, dan nikmat
tersebut akan kekal dan bertambah. Sebagaimana syukur, juga berfungsi
untuk mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan
yang belum dicapai” [8]
Sebagai contoh nyata, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. (yang
artinya) : “Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Rabb) di
tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di
sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan) : “Makanlah olehmu dari rizki
yang (dianugrahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun.
Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang
besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi
(pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsel (cemara) dan pohon bidara”
[Saba : 15-16]
Tatkala bangsa Saba’ masih dalam keadaan makmur dan tenteram, Allah
subhanahu wa Ta’ala hanya memerintahkan kepada mereka agar bersyukur.
Ini menunjukkan, dengan bersyukur, mereka dapat menjaga kenikmatan dari
bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka
dapatkan.
Kedua : Membayar Zakat (Sedekah)
Zakat, baik zakat wajib maupun sunnah (sedekah), merupakan salah satu
amalan yang menjadi faktor yang dapat menyebabkan turunnya keberkahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah : 276]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ
فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُولُ
الْآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. متفق عليه
“Tiada pagi hari, melainkan ada dua malaikat yang turun, kemudian salah
satunya berkata (berdo’a) : “Ya Allah, berilah pengganti bagi orang yang
berinfak”, sedangkan yang lain berdo’a :”Ya Allah, timpakanlah kepada
orang yang kikir (tidak berinfak) kehancuran” [Muttafaqun alaih]
Ketiga : Bekerja Mencari Rizki Dengan Hati Qona’ah, Tidak Dipenuhi Ambisi dan Tidak Serakah
Sifat qona’ah dan lapang dada dengan pembagian Allah Subhanahu wa
Ta’ala, merupakan kekayaan yang tidak ada bandingannya. Dengan jiwa yang
dipenuhi dengan qona’ah, dan keridhaan dengan segala rizki yang Allah
turunkan untuknya, maka keberkahan akan datang kepadanya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
(إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَبْتَلِيْ عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ.
فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله لَهُ بَارَكَ الله لَهُ فِيْهِ وَوَسَّعَهُ .
وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ لَهُ وَلَمْ يَزِدْهُ عَلَى مَا كُتِبَ
لَهُ) رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha Tinggi, akan
menguji setiap hamba-Nya dengan rizki yang telah Ia berikan kepadanya.
Barangsiapa yang ridha dengan pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan
barangsiapa yang tidak ridha (tidak puas), niscaya rizkinya tidak akan
diberkahi” [HR Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani]
Al-Munawi rahimahullah menyebutkan : “Penyakit ini (yaitu tidak puas
dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya,
pent) banyak dijumpai pada pemuja dunia. Hingga engkau temui salah
seorang dari mereka meremehkan rizki yang telah dikaruniakan untuknya ;
merasa hartanya sedikit, buruk, serta terpana dengan rizki orang lain
dan menganggapnya lebih bagus dan banyak. Oleh karena itu, ia akan
senantiasa membanting tulang untuk menambah hartanya , sampai umurnya
habis, kekuatannya sirna ; dan ia pun menjadi tua renta (pikun) akibat
dari ambisi yang digapainya dan rasa letih. Dengan itu, ia telah
menyiksa tubuhnya, menghitamkan lembaran amalannya dengan berbagai dosa
yang ia lakukan demi mendapatkan harta kekayaan. Padahal, ia tidak akan
memperoleh selain apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan
untuknya. Pada akhir hayatnya, ia meninggal dunia dalam keadaan pailit.
Dia tidak mensyukuri yang telah ia peroleh, dan ia juga tidak berhasil
menggapai apa yang ia inginkan” [9]
Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa
menjaga kehormatan agama dan diri dalam setiap usaha yang ditempuhnya
guna mencari rizki. Sehingga, seorang muslim tidak akan menempuh,
melainkan jalan-jalan yang telah dihalalkan dan dengan telah menjaga
kehormatan dirinya.
Keempat : Bertaubat Dari Segala Perbuatan Dosa
Sebagaimana perbuatan dosa menjadi salah satu penyebab terhalangnya
rizki dari pelakunya, maka sebaliknya, taubat dan istighfar merupakan
salah satu faktor yang dapat mendatangkan rizki dan keberkahannya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Nabi Hud Alaihissallam bersama
kaumnya.
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ
السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ
وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
“Dan (Hud berkata) : Hai kaumku, beristighfarlah kepada Rabbmu lalu
bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan atasmu hujan yang sangat
deras, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan
janganlah kamu berpaling dengan berbuta dosa” [Hud : 52]
Akibat kekufuran dan perbuatan dosa kaum ‘Ad –berdasarkan keterangan
para ulama tafsir- mereka ditimpa kekeringan dan kemandulan, sehingga
tidak seorang wanita pun yang bisa melahirkan anak. Keadaan ini
berlangsung selama beberapa tahun lamanya. Oleh karena itu, Nabi Hud
Alaihissallam memerintahkan mereka untuk bertaubat dan beristighfar.
Sebab, dengan taubat dan istighfar itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
menurunkan hujan, dan mengaruniai mereka anak keturunan. [10]
Kelima : Menyambung Tali Silaturahmi
Di antara amal shalih yang akan mendatangkan keberkahan dalam hidup,
yaitu menyambung tali silaturrahim. Ini merupakan upaya menjalin
hubungan baik dengan setiap orang yang akan terkait hubungan nasab
dengan kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ . ( متفق عليه )
“Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan (atau diberkahi) rizkinya,
atau ditunda (dipanjangkan) umurnya, maka hendaknya ia bersilaturrahim”
[Muttafaqun ‘alaih]
Yang dimaksud dengan ditunda ajalnya, ialah umurnya diberkahi, diberi
taufiq untuk beramal shalih, mengisi waktunya dengan berbagai amalan
yang berguna bagi kehidupannya di akhirat, dan ia terjaga dari
menyia-nyiakan waktunya dalam hal yang tidak berguna. Atau menjadikan
nama harumnya senantiasa dikenang orang. Atau benar-benar umurnya
ditambah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. [11]
Keenam : Mencari Rizki Dari Jalan Yang Halal.
Merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya keberkahan harta, ialah
memperolehnya dengan jalan yang halal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.
لاَ تَسْتَبْطِئُوْا الرِّزْقَ ، فَإِنَّهُ لَنْ يَمُوْتَ الْعَبْدُ حَتَّى
يَبْلُغَهُ آَخِرُ رِزْقٍ هُوَ لَهُ، فَأَجْمِلوُاْ فِيْ الطَّلَبِ:
أَخْذِ الْحَلَالِ، وَترَكِ الْحَرَامِ.
“Janganlah kamu merasa bahwa rizkimu datangnya terlambat. Karena
sesunguhnya, tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang
kepadanya rizki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka,
tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizki, yaitu dengan mengambil
yang halal dan meninggalkan yang haram” [HR Abdur-Razaq, Ibnu Hibbanm
dan Al-Hakim]
Salah satu yang mempengaruhi keberkahan ini ialah praktek riba. Perbuatan riba termasuk faktor yang dapat menghapus keberkahan.
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” [Al-Baqarah : 276]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :”Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan
bahwa Dia akan memusnahkan riba. Maksudnya, bisa saja memusnahkannya
secara keseluruhan dari tangan pemiliknya, atau menghalangi pemiliknya
dari keberkahan hartanya tersebut. Dengan demikian, pemilik riba tidak
mendapatkan manfaat dari harta ribanya. Bahkan dengan harta tersebut,
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya dalam kehidupan dunia,
dan kelak di hari akhirat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyiksanya
akibat harta tersebut” [12]
Bila mengamati kehidupan orang-orang yang menjalankan praktek riba,
niscaya kita dapatkan banyak bukti bagi kebenaran ayat dan hadits di
atas. Betapa banyak pemakan riba yang hartanya berlimpah, hingga tak
terhitung jumlahnya, akan tetapi tidak satu pun dari mereka yang
merasakan keberkahan, ketentraman dan kebahagiaan dari harta haram
tersebut.
Begitu pula dengan meminta-minta (mengemis) dalam mencari rizki,
termasuk perbuatan yang diharamkan dan tidak mengandung keberkahan.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan sebagian dampak hilangnya keberkahan dari orang yang
meminta-minta.
(ما يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ). متفق عليه
“Tidaklah seseorang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain,
hingga kelak akan datang pada hari Kiamat, dalam keadaan tidak ada
secuil daging pun melekat di wajahnya” [Muttafaqun alaih]
Ketujuh : Bekerja Saat Waktu Pagi.
Di antara jalan untuk meraih keberkahan dari Allah, ialah menanamkan
semangat untuk hidup sehat dan produktif, serta menyingkirkan sifat
malas sejauh-jaunya. Caranya, senantiasa memanfaatkan karunia Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan
kemaslahatan bagi hidup kita.
Termasuk waktu yang paling baik untuk memulai bekerja dan mencari rizki,
ialah waktu pagi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memanjatkan do’a keberkahan.
اللَّهُمَّ باَرِكْ لِأُمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا ( رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجة وصححه الألباني )
“Ya Allah, berkahilah untuk ummatku waktu pagi mereka” [HR Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani]
Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan doa keberkahan, lantaran waktu
pagi merupakan waktu dimulainya berbagai aktifitas manusia. Saat itu
pula, seseorang merasakan semangat usai beristirahat di malam hari. Oleh
karenanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan keberkahan
pada waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa
tersebut.
Sebagai penerapan langsung dari doa ini, bila mengutus pasukan perang,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di pagi hari,
sehingga pasukan diberkahi dan mendapatkan pertolongan serta kemenangan.
Contoh lain dari keberkahan waktu pagi, ialah sebagaimana yang dilakukan
oleh sahabat Shakhr Al-Ghamidi Radhiyallahu ‘anhu. Yaitu perawi hadits
ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shakhr bekerja sebagai
pedagang. Usai mendengarkan hadits ini, ia pun menerapkannya. Tidaklah
ia mengirimkan barang dagangannya kecuali di pagi hari. Dan benarlah,
keberkahan Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat ia peroleh. Diriwayatkan,
perniagaannya berhasil dan hartanya melimpah ruah. Dan berdasarkan
hadits ini pula, sebagian ulama menyatakan, tidur pada pagi hari
hukumnya makruh.
Masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam
kehidupan seorang muslim. Apa yang telah saya paparkan di atas hanyalah
sebagai contoh
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan
keberkahan-Nya kepada kita semua. Dan semoga pemaparan singkat ini dapat
berguna bagi saya pribadi dan setiap orang yang mendengar atau
membacanya. Tak lupa, bila pemaparan diatas ada kesalahan, maka hal itu
datang dari saya dan dari setan, sehingga saya beristighfar kepada
Allah. Dan bila ada kebenaran, maka itu semua atas taufik dan
inayah-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
________
Footnote
[1]. Al-Misbahul-Munir, 1/45. Al-Qamus Al-Muhith, 2/1236. Lisanul Arab 10/395
[2]. Syarhu Shahih Muslim, oleh An-Nawawi 1/225
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/531
[4]. Lihat Zadul Ma’ad, 4/363 dan Musnad Ahmad 2/296
[5]. Tafsir Ibnu Katsir, 2/76
[6]. Tafsir Ibnu Katsir, 3/99
[7]. Ma’alimut Tanzil, 1/97. Syarhu Shahih Muslim 10/59 Fathul Bari 6/411
[8]. Tafsir Al-qurthubi, 13/206
[9]. Faidhul Qadir, 2/236
[10]. Lihat Tafsir Ath-Thabari (15/359) dan Tafsir Al-Qurthubi (9/51)
[11]. Lihat Syarhu Shahih Muslim (8/350) dan Aunul Ma’bud (4/102)
[12]. Tafsir Ibnu Katsir, 1/328
0 komentar:
Posting Komentar