Oleh :Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama
adalah sikap yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak
akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan
hasil yang baik dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan agama.
Banyak sekali dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah yang memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui
batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum
kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia),
dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". [al-Mâ`idah/5:77]
Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu
anhu, dia berkata: "Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan,
beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku
pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar
jumrah. Kemudian beliau berkata:
أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
“Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam
agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah
sikap ghuluw mereka dalam agama.”[1]
Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan
berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik
berupa keyakinan maupun perbuatan.[2]
BEBERAPA ISTILAH UNTUK SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM AGAMA.
Ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di antaranya:
1. Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).
`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:
هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ
“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[3]
2. Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ
قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ
فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ
"Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa
Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah
memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka.
Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan
rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah
(ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka."[4]
Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ
"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba
mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."[5]
3. I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan Syariat).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].
Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا
“Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-Baqarah/2:187]
4. Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).
Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu
atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan.” [Shâd/38:86]
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata,
“Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”[6]
SEBAB MUNCULNYA SIKAP GHULUW.
Sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:
1. Kebodohan dalam agama. Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti
syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta kebodohan dalam memahami
nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat sebagian pemuda yang
memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan ilmunya
terjebak dalam sikap ghuluw ini.
2. Taqlîd (ikut-ikutan). Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di
antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia
yang bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat
yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di
tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.
3. Mengikuti hawa nafsu. Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan
perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan wahyu akan
bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.
4. Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Hadits-hadits lemah
dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada umumnya
hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah
semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.
BENTUK-BENTUK GHULUW.
Secara garis besar, ghuluw ada tiga macam: dalam keyakinan, perkataan dan amal perbuatan.
Ghuluw dalam bentuk keyakinan misalnya sikap berlebih-lebihan terhadap
para malaikat, Nabi dan orang-orang shalih dengan meyakini mereka
sebagai tuhan. Atau meyakini para wali dan orang-orang shalih sebagai
orang-orang yang ma’shûm (bersih dari dosa). Contohnya adalah keyakinan
orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap ahli bait dan keyakinan orang-orang
sufi terhadap orang-orang yang mereka anggap wali.
Ghuluw dalam bentuk ucapan misalnya, puji-pujian yang berlebih-lebihan
terhadap seseorang, doa-doa dan dzikir-dzikir bid’ah, misalnya
puji-pujian kaum sufi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan
wali-wali mereka; demikian pula dzikir-dzikir mereka yang keluar dari
ketentuan syariat. Contoh lainnya adalah menambah-nambahi doa dan
dzikir, misalnya menambah kata sayyidina dalam salawat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Ghuluw dalam bentuk amal perbuatan misalnya mengikuti was-was dalam
bersuci atau ketika hendak bertakbîratulihrâm; sehingga kita dapati
seseorang berulang-ulang berwudhu’ karena mengikuti waswas. Demikian
seseorang yang berulang-ulang bertakbîratul ihrâm karena anggapan belum
sesuai dengan niatnya.
Sebenarnya, ada satu jenis ghuluw lagi yang perlu diwaspadai yaitu
ghuluw dalam semangat. Jenis ini biasanya merasuki para pemuda yang
memiliki semangat keagamaan yang berlebih-lebihan akan tetapi dangkal
pemahaman agamanya. Sehingga mereka jatuh dalam sikap sembrono dalam
menjatuhkan vonis kafir, fasiq dan bid’ah.
VIRUS GHULUW.
Virus ghuluw ini biasanya diawali dengan sesuatu yang sepele namun dalam
waktu singkat akan digandrungi sehingga kemudian meluas. Orang-orang
yang bersikap ghuluw dalam agama akan berbicara tentang Allah Azza wa
Jalla tanpa haq, tentang agama tanpa ilmu, sehingga akhirnya mereka
sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Sikap ghuluw
inilah yang merupakan penyebab munculnya seluruh penyimpangan dalam
agama, demikian juga penyimpangan dalam sikap dan perbuatan.
Islam telah menentang semua perkara yang mengarah kepada sikap ghuluw.
Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah yang berkata: “Agama Allah Azza wa Jalla adalah agama
pertengahan, antara sikap ekstrim (berlebih-lebihan) dan sikap moderat
(terlalu longgar).”
Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Ibnul Munîr sebagai
berikut:“Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kita semua sama-sama menyaksikan bahwa setiap orang
yang melewati batas dalam agama pasti akan terputus. Maksudnya bukanlah
tidak boleh mengejar ibadah yang lebih sempurna, sebab hal itu termasuk
perkara yang terpuji. Perkara yang dilarang di sini adalah
berlebih-lebihan yang membuat jemu atau melewati batas dalam mengerjakan
amalan sunat hingga berakibat terbengkalainya perkara yang lebih
afdhal. Atau mengulur kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya orang yang
shalat tahajjud semalam suntuk lalu tertidur sampai akhir malam,
sehingga terluput shalat Subuh berjama'ah, atau sampai keluar dari waktu
yang afdhal atau sampai terbit matahari sehingga keluar dari batasan
waktunya."
Dalam hadits Mihzan bin al-Adra' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:
إِنَّكُمْ لَنْ تَنَالُوْا هَذَا الأَمْرَ بِالمُغَالَبَةِ، وَخَيْرَ دِيْنِكُمْ اليُسْرَةُ
Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah."
Pernah ada tiga orang yang ingin mengetahui aktifitas ibadah n Nabi di
rumah. Mereka tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lantas mereka bertanya kepada 'Aisyah z tentang ibadah beliau. Setelah
diberitahukan, mereka merasa ibadah beliau n itu hanya sedikit. Mereka
berkata: "Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal telah
diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang."
Maka salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam terus menerus tidak akan tidur."
Yang lain berkata: "Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka."
Dan yang lain berkata: "Aku tidak akan menikah selama-lamanya."
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:
أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي
لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ،
وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ
سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah
Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa
kepada-Nya, tetapi aku berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku
juga tidur serta aku menikahi wanita! Barangsiapa membenci sunnahku maka
ia bukan termasuk golonganku."[7]
Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ الشَّيءِ أَصْنَعُهُ فَوَاللهِ إِنِّي لأَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً
“Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang
kulakukan? Demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling tahu
tentang Allah Azza wa Jalla dan yang paling takut kepada-Nya.”[8]
Dalam menjelaskan hadits ini ad-Dawudi berkata: "Menjauhkan diri (dengan
anggapan hal itu lebih baik-pent) dari dispensasi yang diberikan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dosa besar. Sebab ia
memandang dirinya lebih bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla daripada
rasul-Nya. Ini jelas sebuah penyimpangan.” Ibnu Hajar t menambahkanm,
“Tidak diragukan lagi kesesatan orang yang meyakini demikian (meyakini
bahwa hal itu lebih baik)."[9]
MENJAUHI GHULUW BUKAN BERARTI JATUH DALAM TAQSHIR (MELONGGAR-LONGGARKAN DIRI).
Akan tetapi perlu juga kita waspadai, bahwa dalam menjauhi sikap ghuluw
ini kita juga jangan sampai terjebak ke dalam sikap taqshîr
(melalai-lalaikan dan melonggar-longgarkan diri).
Ini merupakan tipu daya setan yang luar biasa. Setan selalu mencari
titik lemah seorang insan. Apabila titik lemahnya pada sikap ghuluw maka
setanpun masuk melalui pintu ghuluw dan apabila titik lemahnya pada
sikap taqshîr maka setanpun masuk melalui pintu taqshîr. Memang,
mempertahankan diri di tengah-tengah antara sikap ghuluw dan sikap
taqshîr merupaka suatu perkara yang sulit. Kesuksesan, kebahagiaan dan
keberhasilan dalam urusan akhirat maupun dunia tergantung dengan cara
kita menempatkan segala sesuatu secara proporsional menurut pandangan
syariat yang hanîf dan fitrah ini. Karena setiap ketidakseimbangan akan
menyebabkan ketimpangan dan keberatan yang akan menghalangi tercapainya
tujuan.
Dalam hal ini setan akan melihat dari pintu manakah ia mungkin masuk.
Jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah
potensi rendah diri dan gampang menyerah, maka setanpun menanamkan rasa
malas dalam dirinya, mengendorkan semangatnya, menggambarkan berat
amal-amal ketaatan dan mendorongnya untuk mudah mengabaikan kewajiban,
sampai akhirnya ia meninggalkan kewajiban itu sama sekali.
Namun jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang
adalah semangatnya yang menggebu-gebu, mulailah setan menanamkan
anggapan bahwa apa yang diperintahkan itu baru sedikit dan belum cukup
untuk mengimbangi semangatnya, sehingga ia serasa membutuhkan sesuatu
yang baru sebagai tambahannya.[10]
JANGAN SALAH MENILAI GHULUW
Sebagaimana halnya kita tidak boleh terjebak dalam sikap taqshîr karena
menghindari ghuluw, demikian pula kita jangan salah menilai ‘ghuluw’.
Sebagian orang menilai keteguhan memegang syariat dan istiqamah di
atasnya merupakan sikap ghuluw. Sebagai dampaknya, mereka menganggap
pengamalan sebagian sunnah Nabi sebagai sikap ghuluw. Ini jelas salah
besar. Memang kita membenci sikap ghuluw, namun hendaknya kita jangan
salah menilai. Sebagian orang beranggapan memelihara jenggot, memakai
cadar, mengenakan pakaian sampai setengah betis, memakai gamis bahkan
shalat lima waktu berjama’ah di masjid pun dianggap ghuluw. Ini tentu
penilaian yang salah. Sebab, seluruh perkara-perkara tersebut adalah
sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang dianjurkan bahkan ada yang
wajib. Penilaian yang salah ini bisa berakibat fatal, yaitu
perkara-perkara sunnah dianggap sebagai perkara bid’ah, dan sebaliknya
perkara bid’ah dianggap sunnah. Hakikat ghuluw adalah sesuatu yang
melangkahi ketentuan syariat. Penilaian tersebut didasari atas kebodohan
dalam memahami apa itu ghuluw dan juga kejahilan terhadap sunnah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh menilai sesuatu tanpa
ilmu. Dan berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa ilmu
merupakan salah satu langkah setan, bahkan tergolong dosa besar. Allah
Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang
nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui."[al-A’râf/7:33]
Apalagi terkadang tuduhan ghuluw terhadap perkara-perkara sunnah ini
mengandung ejekan dan olokan terhadap para pengamalnya. Ini jelas
kesalahan di atas kesalahan. Takutlah kepada Allah Azza wa Jalla pada
hari seluruh kesalahan akan ditampakkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ
أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ
يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا
تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih
baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.[al-Hujurat/49:11]
KIAT-KIAT MENGHINDARI GHULUW.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menghindari fenomena ghuluw dalam agama, diantaranya:
1. Menuntut ilmu syar’i.
Ilmu adalah lentera yang menerangi langkah kita di dunia dan menjadi
asset yang amat bernilai di akhirat. Apabila lentera ini padam, maka
setan akan leluasa menyesatkan anak Adam. Maka dari itu janganlah absen
dari majelis-majelis ilmu. Banyak sekali faidah yang dapat kita petik
dari majelis ilmu. Di antaranya adalah kita dapat bertatap muka secara
langsung dengan ahli ilmu.
2. Jangan malu dan segan bertanya kepada ahli ilmu (Ulama).
Malu bertanya sesat di jalan, begitulah kata pepatah kita. Terlebih lagi
dalam urusan agama. Janganlah kita malu bertanya kepada ulama dalam
perkara-perkara agama yang belum kita ketahui, baik dalam perkara
aqidah, ibadah, mu’amalah dan lainnya. Terlebih lagi perkara yang
berkaitan dengan perincian dalam agama, misalnya prosedur pelaksanaan
sebuah ibadah, perincian dalam hal aqidah dan lain sebagainya.
Kesimpulannya, kita harus menjauhi segala macam bentuk ghuluw dalam
agama, baik berupa keyakinan, ucapan maupun perbuatan yang
diatas-namakan agama. Dan hendaknya kita juga harus waspada jangan
sampai tergelincir dalam sikap taqshîr. Di samping itu, janganlah
sembrono dan serampangan dalam menilai ‘ghuluw’ tanpa ilmu.
Referensi:
1. Tafsîrul-Qur'ân al-Azhîm, Ibnu Katsîr.
2. Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri.
3. Mawâridul Amân al-Muntaqâ min Ighâtsatil Lahfân, Ali Hasan Ali `Abdil Hamîd.
4. Iqtidhâ’ Shirâtul Mustaqîm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, Salim bin ‘Ied al-Hilâli.
6. Mausu’ah Manâhi Syar’iyyah, Salim bin ‘Ied al-Hilâli.
7. Madârijus Sâlikîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
8. Mu’jamu Maqâyisil Lughah.
9. Muqaddimah Shahîh Fiqh Sunnah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1431H/2010M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh, diriwayatkan oleh an-Nasâ'i (V/268), Ibnu Mâjah
(3029) dan Ahmad (I/215), al-Hâkim mengatakan: “Shahîh, sesuai dengan
syarat al-Bukhâri dan Muslim.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[2]. Mu’jamul Maqâyis IV/388.
[3]. Hadits riwayat Muslim (2670).
[4]. Hadits riwayat Abu Dâwud dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah (3124).
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri.
[6]. Fathul Bâri (XIII/263-265)
[7]. Muttafaqun ‘alaihi.
[8]. Muttafaqun ‘alaihi.
[9]. Silakan lihat kitab Fathul Bâri tulisan Ibnu Hajar t .
[10]. Silakan lihat kitab Mawâridul Amân tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid halaman 187.
0 komentar:
Posting Komentar