Di antara tanda hati yang sakit adalah hamba sulit
untuk merealisasikan tujuan penciptaan dirinya, yaitu untuk mengenal Allah,
mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, kembali kepada-Nya dan
memprioritaskan seluruh hal tersebut daripada seluruh syahwatnya. Akhirnya,
hamba yang sakit hatinya lebih mendahulukan syahwat daripada menaati dan
mencintai Allah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ
هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara
atasnya? (QS. Al Furqan: 43).
Beberapa ulama salaf menafsirkan ayat ini dengan
mengatakan,
هو الذي كلما هوى شيئا ركبه . فيحيا
في هذه الحياة الدنيا حياة البهائم لا يعرف ربه عز وجل ولا يعبده بأمره ونهيه
كما قال تعالى : ( يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ
وَالنَّارُ مَثْوىً لَهُمْ)(محمد: من الآية12)
“Orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dia
yang senantiasa menunggangi hawa nafsunya, sehingga kehidupan yang dijalaninya
di dunia ini layaknya kehidupan binatang ternak, tidak mengenal Rabb-nya ‘azza
wa jalla, tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya, persis seperti firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan
orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya
binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka’ (QS. Muhammad: 12).”
Pada akhirnya, balasan sesuai dengan perbuatan,
sebagaimana di dunia dia tidak menjalani kehidupan yang dicintai dan diridhai
Allah ‘azza wa jalla, dia menikmati seluruhnya dan hidup menggunakan nikmat
Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, maka demikian pula di akhirat kelak, dia
akan menjalani kehidupan yang tiada kebahagiaan di dalamnya, dirinya tidak akan
mati sehingga terbebas dari adzab yang menyakitkan. Dia tidak mati, tidakpula
hidup,
يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ
وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ
عَذَابٌ غَلِيظٌ
“Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa
menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi
dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat” (QS. Ibrahim:
17).
Diantara tanda hati yang sakit adalah pemiliknya
tidak merasa terluka akibat tindakan-tindakan kemaksiatan sebagaimana kata
pepatah ‘وما لجرح بميت إيلام’, tidaklah menyakiti, luka yang ada pada mayat.
Hati yang sehat akan merasa sakit dan terluka dengan kemaksiatan, sehingga hal
ini melahirkan taubat dan inabah kepada Rabb-nya ‘azza wa jalla. Hal ini
sebagaimana firman Allah ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا
مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka
ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’raaf: 201).
Allah berfirman ketika menyebutkan karakter orang
beriman,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu,
sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran: 135).
Maksudnya adalah ketika mereka bermaksiat, mereka
mengingat Allah ‘azza wa jalla, ancaman dan siksa yang disediakan oleh-Nya bagi
pelaku kemaksiatan, sehingga hal ini mendorong mereka untuk beristighfar
kepada-Nya.
Penyakit hati justru menyebabkan terjadinya
kontinuitas keburukan seperti yang dikemukakan oleh al-Hasan ketika menafsirkan
firman Allah,
كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا
يكسبون
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al Muthaffifin: 14).
Beliau mengatakan,
هو الذنب على الذنب حتى يعمى القلب
أما سليم القلب فيتبع السيئة الحسنة والذنب التوبة
“Hal itu (rahn) adalah dosa di atas dosa yang
membutakan hati. Adapun hati yang salim justru akan melahirkan perbuatan yang
baik setelah dulunya berbuat buruk, melahirkan taubat setelah dulunya berbuat
dosa.”
Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya
tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran. Hati yang salim
akan merasa resah jika muncul syubhat di hadapannya, merasa sakit dengan
kebodohan terhadap kebenaran dan ketidaktahuan terhadap berbagai keyakinan yang
menyimpang. Kebodohan merupakan musibah terbesar, sehingga seorang yang
memiliki kehidupan di dalam hati akan merasa sakit jika kebodohan bersemayam di
dalam hatinya. Sebagian ulama mengatakan,
ما عصى الله بذنب أقبح من الجهل ؟
“Adakah dosa kemaksiatan kepada Allah yang lebih buruk
daripada kebodohan?”
Imam Sahl pernah ditanya,
يا أبا محمد أي شيء أقبح من الجهل؟
قال ” الجهل بالجهل ” ،قيل : صدق لأنه يسد باب العلم بالكلية
“Wahai Abu Muhammad, adakah sesuatu yang lebih buruk
daripada kebodohan? Dia menjawab, “Bodoh terhadap kebodohan.” Kemudian ada yang
berkata, “Dia benar, karena hal itu akan menutup pintu ilmu sama sekali.”
Ada penyair yang berkata,
وفي الجهل
قبل الموت موت
لأهله وأجسامهم
قبل القبور قبور
وأرواحهم في
وحشةٍ من
جسومهم وليس
لهم حتى النشور نشور
Kebodohan
adalah kematian sebelum pemiliknya mati,
tubuh mereka
layaknya kuburan sebelum dikuburkan
Kepada tubuh
yang semula, ruh mereka ingin kembali,
padahal bagi
mereka, tidak ada kebangkitan hingga hari kebangkitan
Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya
berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun
yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari
al-Quran yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat dalam firman-Nya,
وننزل من القرآن ما هو شفاء
ورحمة للمؤمنين
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al Isra: 82).
Mereka justru berpaling mendengarkan lagu yang
menumbuhkan kemunafikan dalam hati, menggerakkan syahwat dan mengandung
kekufuran kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada kondisi ini, hamba mendahulukan
kemaksiatan karena kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan
rasul-Nya. Dengan demikian, mendahulukan kemaksiatan merupakan buah dari
penyakit hati dan akan menambah akut penyakit tersebut. Sebaliknya, hati yang
sehat justru akan mencintai apa yang dicintai Allah dan rasul-Nya sebagaimana
firman-Nya,
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ
الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ
وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan
dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci
kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujuraat: 7).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ
بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Orang yang ridhal Allah sebagai Rabb, Islam sebagai
agama dan Muhammad sebagai rasul, niscaya akan merasakan kelezatan iman.” [HR.
Muslim].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى
أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga
diriku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.”
[HR. Bukhari dan Muslim].
Diantara tanda penyakit hati, pemiliknya condong
kepada kehidupan dunia, merasa enjoy dan tenteram dengannya, tidak merasa bahwa
sebenarnya dia adalah pengembara di kehidupan dunia, tidak mengharapkan
kehidupan akhirat dan tidak berusaha mempersiapkan bekal untuk kehidupannya
kelak disana.
Setiap kali hati sembuh dari penyakitnya, dia akan
beranjak untuk condong kepada kehidupan akhirat, sehingga keadaannya persis
seperti apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل
“Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang
asing atau orang yang sekedar menumpang lewat” [HR. Bukhari].
Wallahul muwaffiq.
0 komentar:
Posting Komentar