Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi
Termasuk kunci-kunci rizki adalah memberi nafkah kepada orang yang
sepenuhnya menuntut ilmu syari’at (agama). Dalil yang menunjukkan hal
ini adalah hadits riwayat At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Anas bin Malik
Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia berkata.
“Artinya : Dahulu ada dua orang saudara pada masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Salah seorang daripadanya mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam [1] dan (saudaranya) yang lain bekerja
[2]. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu [3] kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia” [4]
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang mulai Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan kepada orang yang mengadu kepadanya karena kesibukan
saudaranya dalam menuntut ilmu agama, sehingga membiarkannya sendirian
mencari penghidupan (bekerja), bahwa semestinya ia tidak
mengungkit-ngungkit nafkahnya kepada saudaranya, dengan anggapan bahwa
rizki itu datang karena dia bekerja. Padahal ia tidak tahu bahwasanya
Allah membukakan pintu rizki untuknya karena sebab nafkah yang ia
berikan kepada saudaranya yang menuntut ilmu agama secara sepenuhnya.
Al-Mulla Ali Al-Qari menjelaskan sabda nabi Shallallahu ‘alaihi wa salllam.
“Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia”
Yang menggunakan shigat majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata,
“Yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebenarnya diberi
rizki karena berkahnya. Dan bukan berarti dia diberi rizki karena
pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaanmu
kepadanya” [Murqatul Mafatih, 9/171]
Al-Alamah Ath-Thaibi berkata : “Makna ‘mudah-mudahan’ dalam sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ mudah-mudahan engkau’, bisa kembali
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga berfungsi
untuk memberikan kepastian (bahwa dia mendapatkan rizki karena berkah
saudaranya) dan menegur (bahwa dia mendapatkan rizki bukan karena
pekerjaannya). Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits.
“Artinya : Bukankah kalian diberi rizki karena sebab orang-orang lemah di antara kalian ?”
Tetapi bisa pula kembali kepada orang yang diajaknya bicara untuk
mengajaknya berfikir dan merenungkan, sehingga ia menjadi sadar”
[Murqatul Mafatih, 9/171]
Demikianlah, dan sebagian ulama telah menyebutkan [Lihat Tafsir
Al-Manar, 3/88] bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu agama secara
sepenuhnya adalah termasuk kelompok yang disinggung dalam firman Allah.
“Artinya : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang
yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka
tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui” [Al-Baqarah : 273]
Imam Al-Ghazali berkata :”Ia harus mencari orang yang tepat untuk
mendapatkan sedekahnya. Misalnya para ahli ilmu. Sebab hal itu merupakan
bantuan baginya untuk (mempelajari) ilmunya. Ilmu adalah jenis ibadah
yang paling mulia, jika niatnya benar. Ibnu Al-Mubarak senantiasa
mengkhususkan kebaikan (pemberiannya) bagi para ahli ilmu. Ketika
dikatakan kepada beliau, “Mengapa tidak engkau berikan kepada orang
secara umum?” Beliau menjawab. ‘Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu
kedudukan setelah kenabian yang lebih utama daripada kedudukan para
ulama. Jika hati para ulama itu sibuk mencari kebutuhan (hidupnya),
niscaya ia tidak bisa memberi perhatian sepenuhnya kepada ilmu, serta
tidak akan bisa belajar (dengan baik). Karena itu, membuat mereka bisa
mempelajari ilmu secara sepenuhnya adalah lebih utama’. [Dinukil dari
Tafsir Al-Qasimi, 3/250]
[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, edisi
Indonesia Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah hal 68-71,
Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. Darul Haq]
_________
Foote Note.
[1] Yakni untuk mencari ilmu dan pengetahuan [Murqatul Mafatih, 9/170]
[2] Dan sepertinya mereka berdua makan dari hasil kerjanya [Op.cit, 9/170]
[3] Yakni mengapa saudaranya tidak mau membantunya dalam bekerja atau mencari pekerjaan lain. [Op.cit, 9/170-171]
[4] Jami’ut Tirmidzi, Abwabuz Zuhd, bab Ma Ja’a fiz Zahadati fid Dunya,
no. 2448, 7/8 dan lafazh ini miliknya ; Al-Mustadzrak alas Shahihain,
Kitabul Ilm, 1/93-94. Imam Hakim berkata,’Hadits ini shahih berdasarkan
syarat Muslim. Para perawinya tsiqat (terpercaya), tetapi hadits ini
tidak dikeluarkan (diriwayatkan) oleh Al-Bukhari dan Muslim (Op.cit.,
1/94). Dan hal ini disepakati oleh Al-Hafizh Adz-Dzhabai (Lihat,
At-Talkish, 1/94), Syaikh Al-Albani berkata, ‘Shahih’ [Shahih Sunan
At-Tirmidizi, 2/274]
0 komentar:
Posting Komentar