Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…[Al-Bayyinah: 5]
Segala Puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala Rabb semesta alam Shalawat
dam salam kita sampaikan kepada Nabi Muhammad Shalalllahu 'alaihi wa
sallam Pembawa risalah yang haq ini sebagai rahmat bagi semesta alam
kepada keluarganya para shahabatnya dan orang-orang yang setia mengikuti
jejaknya hingga akhir zaman.
Berikut ini adalah pembahasan secara singkat hal-hal yang berkaitan
dengan pentingnya “keikhlasan” dalam seluruh `amal `ibadah. Sesungguhnya
perkara paling mendasar dan terpenting dalam dien ini adalah
mengikhlaskan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam setiap amal
ibadah yang kita lakukan, hal itu sebagai syarat utama diterimanya amal
ibadah. Ikhlas adalah termasuk amalan hati yang perlu mendapatkan
perhatian “istimewa” (secara mendalam) dan dilakukan dengan cara
“istimrar” (terus menerus) di setiap kita hendak melakukan `amal
`ibadah, agar amalan kita menjadi bernilai di hadapan Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
PENTINGNYA AMALAN HATI.
Telah kita ketahui bahwa pengertian iman menurut Ahlus Sunah adalah :
Keyakinan dengan hati, ikrar dengan lisan, dan amalan dengan seluruh
anggota badan, bertambah dengan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan berkurang dengan perbuatan maksiat.
Perlu diketahui bahwa ikhlas adalah perkara terpenting dalam amalan
hati, yang hal tersebut sangat erat hubungannya dengan pengertian iman
tersebut di atas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Amalan-amalan hati adalah termasuk
pokok-pokok dari keimanan dan tonggak-tonggak agama Islam ini, seperti:
mencintai Allah dan Rasul-Nya, bertawakal kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala, mengikhlaskan seluruh macam `ibadah hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala semata, bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat-Nya dan
berlaku sabar di atas hukum-hukum-Nya, khauf (perasaan takut kepada-Nya
akan siksa atau adzab-Nya), raja` (berharap) kepada-Nya…Semua amalan ini
wajib atas seluruh makhluk berdasarkan kesepakatan para imam agama.
[Majmu’ Al-Fatawa 10/5 dan 20/70]
Ibnul Qayim juga menjelaskan keagungan amalan-amalan hati :
Amalan–amalan hati ialah pokok adapun amalan–amalan anggota badan adalah
pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat sekedudukan dengan ruh,
adapun amalan sekedudukan dengan jasad, sehingga apabila ruh telah
terpisah dengan jasad maka binasalah. Oleh sebab itu mengetahui hukum –
hukum hati lebih penting dari pada mengetahui hukum-hukum jasad.
[Badai`ul Fawaaid 3/224].
Hal inilah di antaranya yang mendorong kami untuk mengulas hal ini agar
seluruh aktifitas kita sehari-hari tidak menemui kesia-siaan, yakni
hampa, jauh dari berkah Allah atau Ramat-Nya, seolah-olah tiada nilainya
aktifitas yang kita laksanakan setiap hari.
Niat berasal dari bahasa Arab, yang berarati tujuan. Sedangkan menurut istilah syara' memiliki dua arti:
1. Ikhlash dalam beramal, yaitu semata-mata karena Allah, dan inilah
yang sering dibicarakan oleh para Ulama ahli tauhid, suluk (perilaku)
dan akhlak.
2. Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain, atau
ibadah dengan kebiasaan. Istilah ini sering dipakai oleh ulama-ulama
Fiqh.
Niat dipakai untuk membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan yang
dilakukan oleh manusia), misalnya : Mandi, apabila dimaksudkan (niatkan)
karena Allah semata untuk menghilangkan hadats besar (mandi junub
misalnya) maka hal yang semacam itu akan menjadi ibadah, lain halnya
apabila mandi semata-mata dimaksudkan untuk membersihkan badan atau
mendapatkan kesegaran, maka hal itu menjadi adat (kebiasaan) saja.
Kemudian bahwa niat itu tempatnya di hati dan apabila di lafadzkan menjadi bid`ah.
KEDUDUKAN IKHLAS.
Sesungguhnya ikhlas adalah hakekat dien dan kunci dakwah para rasul,
yakni menyembah Allah Subhanahu wa Ta'ala semata dan menjauhi thagut :
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…[Al-Bayyinah: 5]
Yang dimaksud dengan " (حُنَفَاءَ ) agama yang lurus” pada ayat di atas
adalah terjauhkan dari perkara-perkara syirik dan menuju kepada tauhid.
Di sinilah pentingnya ikhlash dalam selurus amal ibadah, agar amalan
tersebut tidak sia-sia, dan tidak mendapat adzab dari Allah, baik di
dunia maupun di akhirat kelak.
Kemudian bahwa pengaruh ikhlas terhadap amalan itu sangatlah besar, amal
yang kecil dan sedikit jika dilakukan dengan ikhlas dapat memperoleh
pahala yang besar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam perkara ini
mengatakan: “Suatu jenis amalan yang dikerjakan oleh manusia dengan
menyempurnakan keikhlasannya dan ketundukkannya kepada Allah Subhanahu
wa Ta'ala, terkadang Allah Subahnahu wa Ta'ala akan mengampuni dosa-dosa
besar dengan sebab amalan itu, sebagaimana hadits al-bithaqah (seorang
yang memiliki satu kartu Laa ilaaha illa Allah, lalu diampuni
dosa-dosanya sebanyak 99 lembaran catatan amal keburukan-red)…ini karena
dia mengucapkan Laa ilaaha illa Allah dengan ikhlas dan jujur/benar,
karena kalau tidak, maka para pelaku dosa besar yang masuk ke dalam
neraka semuanya juga mengucapkan tauhid, tetapi perkataan mereka
tidaklah lebih berat terhadap dosa-dosa mereka sebagaimana pemilik kartu
(Laa ilaaha illa Allah) itu.”
Hadits pemilik kartu Laa ilaaha illa Allah itu, adalah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَعَافِرِيِّ ثُمَّ الْحُبُلِيِّ قَال
سَمِعْتُ عَبْدَ الهِb بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ
الهَِ n إِنَّ اللَّهَ سَيُخَلِّصُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي عَلَى رُءُوسِ
الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَنْشُرُ عَلَيْهِ تِسْعَةً
وَتِسْعِينَ سِجِلاَّ كُلُّ سِجِلٍّ مِثْلُ مَدِّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَقُولُ
أَتُنْكِرُ مِنْ هَذَا شَيْئًا أَظَلَمَكَ كَتَبَتِي الْحَافِظُونَ
فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ أَفَلَكَ عُذْرٌ فَيَقُولُ لاَ يَا
رَبِّ فَيَقُولُ بَلَى إِنَّ لَكَ عِنْدَنَا حَسَنَةً فَإِنَّهُ لَا ظُلْمَ
عَلَيْكَ الْيَوْمَ فَتَخْرُجُ بِطَاقَةٌ فِيهَا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ الهُب وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فَيَقُولُ
احْضُرْ وَزْنَكَ فَيَقُولُ يَا رَبِّ مَا هَذِهِ الْبِطَاقَةُ مَعَ
هَذِهِ السِّجِلَّاتِ فَقَالَ إِنَّكَ لاَ تُظْلَمُ قَالَ فَتُوضَعُ
السِّجِلاَّتُ فِي كَفَّةٍ وَالْبِطَاقَةُ فِي كَفَّةٍ فَطَاشَتِ
السِّجِلاَّتُ وَثَقُلَتِ الْبِطَاقَةُ فَلاَ يَثْقُلُ مَعَ اسْمِ الهِق
شَيْءٌ
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu 'anhu , dia berkata: “Saya
telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah akan mengadili salah seorang laki-laki dari ummatku
di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Lalu ditunjukan kepada
laki-laki tersebut 99 catatan (amal keburukan), setiap satu catatan
panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian dikatakan kepada laki-laki
tersebut: ”Apakah kau ingkari dari semua ini (kedzaliman yang telah kau
perbuat)? Apakah para malaikat-Ku pencatat dan penjaga amalan
menzhalimimu? Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak Ya Tuhanku!”. Lalu
Allah berkata kepada laki-laki tersebut: “Apakah engkau punya alasan
(berbuat kezhaliman itu)? Laki-laki tersebut menjawab: “Tidak Ya
Tuhanku!”. Kemudian Allah berkata kepada laki-laki tersebut: “Ya benar,
tetapi sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi Kami, dan
sesungguhnya tidak ada kedzaliman atasmu pada hari ini. Maka Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan sebuah kartu kecil yang di dalamnya
terdapat : Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhamadan
‘abduhu warasuluhu (Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada orang tersebut:
“Datangkan timbanganmu”, maka orang tersebut berkata: “Ya Tuhan untuk
apa kartu kecil ini dibandingkan dengan catatan (amal keburukan) ini ?”,
maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata kepada orang tersebut:
“Sesungguhnya pada hari ini tiada kedzaliman”. Maka diletakkanlah
catatan itu pada salah satu daun timbangan, dan kartu kecil itu
diletakan pada satu daun timbangan yang lain. Maka jadi ringanlah
catatan-catatan `amal keburukan itu dan beratlah kartu kecil tersebut,
maka tiadalah sesuatupun yang menjadi berat dibandingkan dengan nama
Allah Subhanahu wa Ta'ala. [HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa'i].
PENGERTIAN IKHLAS DAN BATASNNYA
Ada beberapa pengertian tentang ikhlas yang disebutkan oleh ulama, antara lain :
1. Diantaranya ada yang mengatakan : Ikhlas ialah “Menjadikan Allah
Subhanahu wa Ta'ala satu-satunya tujuan di dalam menjalankan ketaatan”.
2. Ada juga yang mengatakan : “Ikhlas ialah membersihkan perbuatan dari mencari pandangan manusia”.
3. Al-Harawi berkata: “Ikhlas ialah membersihkan amalan dari setiap noda”.
4. Dan sebagian yang lain ada yang mengatakan: “Orang yang mukhlis ialah
orang yang tidak perduli, seandainya hilang seluruh penghormatan
kepadanya di dalam hati manusia, untuk kebaikan hatinya bersama Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dan dia tidak suka manusia mengetahui amalannya
walaupun seberat debu. Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa keikhlasan membutuhkan kesungguhan yang tinggi hingga seorang hamba meraihnya dengan sempurna.
PENGERTIAN RIYA', SUM'AH, UJUB
Telah kita ketahui bahwa keikhlasan dapat dihilangkan oleh beberapa
perkara, seperti: mencintai dunia, kemasyhuran, kemuliaan, riya', sum'ah
dan ujub.
1. Riya ialah melakukan `ibadah dengan tujuan dilihat oleh manusia,
sehingga orang yang riya’ itu mencari pengagungan, pujian, harapan atau
rasa takut terhadap orang yang dia berbuat riya’ karenanya.
2. Sum'ah adalah amalan yang dilakukan dalam rangka agar didengar orang
lain, misalnya memperdengarkan bacaan Al-Qur'an atau yang lainnya.
3. Ujub adalah teman riya, yaitu perasaan bangga terhadap diri sendiri atas kemampuan yang dimiliki secara berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan antara keduanya (antara riya dan ujub ).
a. Riya adalah salah satu bentuk dari syirik kepada makhluk.
b. Adapun ujub adalah bentuk dari pada syirik kepada diri sendiri. [Al-Fatawa:10/277]
DIANTARA BENTUK-BENTUK RIYA, UJUB DAN SUM'AH
1. Riya dalam ibadah sholat, misalnya: Memperbaiki posisi atau gerakan
shalat karena mengetahui bahwa dia sedang diperhatikan oleh orang yang
dianggap lebih ‘alim atau lainya.
2. Riya atau sum'ah dalam kepribadian misalnya : Karena di karuniai oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala suara yang merdu misalnya, maka timbulah
penyakit riya` atau ujub ini pada ni`mat tersebut;
Mengeraskan/menbaguskan bacaan dalam membaca Al-Qur`an atau ketika
mengumandangkan adzan dengan harapan ingin mendapatkan pujian atau agar
diakui bahwa dia memiliki suara yang bagus atau merdu. Pada hakekatnya
membaguskan suara dalam membaca Al-Qur'an, dengan tidak dibuat-buat atau
berlebih-lebihan merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam sebagaimana sabadanya:
زَيِّنُوْا اْلقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ.
Baguskanlah (bacaan) Al-Qur`an dengan suara kalian [HR. Abu Dawud dan Ahmad]
3. Ujub atau Riya dalam berdakwah misalnya : Berceramah, menasehati
orang, atau mentahdzir (memberi peringatan terhadap seseorang) dengan
niat agar dikenal sebagai seorang penasehat, ahli pidato dengan harapan
agar semua orang memujinya atau menyanjungnya. Kita berlindung kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala dari semua perkara ini. Hendaklah kita ikhlash
dalam berda`wah agar orang yang mendengarnya pun menerima dengan
ikhlash (yakni : mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala)
4. Riya atau Ujub dalam menuntut ilmu : Yaitu berbangga dengan ilmu yang
dikaruniakan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya atau menuntut ilmu
hanya dalam rangka ingin menjadi seorang yang ahli dalam berdebat, bukan
mengharapkan wajah Allah atau mencari berkah dari Allah atas ilmu yang
dimilikinya. Sehingga ilmu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan
tidak mampu membawa dia ke dalam kebahagian di dunia ataupun diakhirat.
Padahal rasulullah telah memperingatkan dengan keras bagi para penuntut
ilmu dengan ancaman tidak akan mendapatkan bau surga, apabila
mempelajari suatu ilmu dalam rangka untuk mencari dunia semata;
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabada:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ
يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Barang siapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari wajah Allah
Subhanahu wa Ta'ala ; tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali
untuk mendapatkan harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan bau
surga pada hari kiamat kelak. [HR. Abu Dawud]
5. Riya atau Ujub ketika bershadaqah, misalnya : Memperlihatkan harta
yang telah dishadaqahkan, atau mengungkit-ungkit kembali pemberian yang
telah lalu dengan harapan agar disebut sebagai seorang dermawan.
PENAWAR RIYA
Adapun di antara cara-cara mengobati riya adalah sebagi berikut:
1. Mengetahui seluk beluk riya itu sendiri dan takut terhadapnya.
Sebagaimana hal tersebut adalah perkara yang paling ditakutkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
" إِنَّ أَخْوَفُ مَا أَخَا فُ عَلَيكْمُ الشِّرْكُ اْلأَ صْغَر. قَا لوُا
وَمَا الشِّرْكُ اْلأَ صْغَرُ يَا رَسُوْلُ الله ؟ قال : " الرِّيَاءُ
".يقول الله تعالىيوم القيامة, إذا جازى الناس بأعمالهم : اذهبوا إلى الذين
كنتم تراؤون في الدنيا فانظروا هل تجدون جزاء؟"
Sesungguhnya yang paling kutakutkan dari perkara yang aku takutkan atas
kalian ialah syirik kecil. Para shahabat bertanya: “Apakah syirik kecil
itu wahai rasulullah? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Riya', Pada hari kiamat , ketika membalas amalan-amalan manusia, Allah
Subhanahu wa Ta'ala akan berfirman: “Pergilah kepada orang yang kamu
dahulu sewaktu di dunia berbuat riya’ kepadanya, dan lihatlah apakah
kamu dapakan balasan (pahala) darinya? [HR. Ahmad, At-Thabrani dan
Al-Baihaqi]
2. Memberikan sanjungan atau pujian hanya ditujukan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala semata, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala sumber dari
segala kebaikan; maka hanya Allahlah yang berhaq mendapatkan pujian:
الحمد لله رب العالمين
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. [Al-Fatihah:2]
3. Mengingat mati dan sekaratnya, hari akhir dan kedahsyatan adzabnya,
kubur dan kerasnya siksa yang diberikan karena dosa-dosa yang diperbuat
selama di dunia. Keadaan di kubur yang sunyi, gelap gulita dan sempit,
tidak ada ibu dan bapak atau orang-orang yang dicinta di dekatnya.
4. Melihat akibat riya', baik di dunia maupun diakhirat.
Maka perlu diketahui oleh setiap orang bahwa seandainya seluruh manusia
berkumpul dalam rangka memberikan manfaat kepada siapapun, maka tiadalah
mereka mampu memberikannya kecuali sesuatu itu telah ditentukan oleh
Allah Subhanhau wa Ta'ala baginya; Oleh sebab itu sebagian orang-orang
salaf mengatakan: “Bersungguh-sungguhlah dalam mencegah timbulnya riya`
darimu, anggaplah orang lain bagimu seperti binatang dan anak-anak,
janganlah kau bedakan adanya mereka atau tidak adanya, mereka tahu atau
tidak tahu, cukuplah Allah Subhanahu wa Ta'ala saja yang mengetahuinya.
Kemudian singkirkan perasaan ingin dipuji ketika (syetan menggoda),
dengan do'a-do'a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
seperti:
أعوذ الله من الشيطان الرجيم
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk.
Adapun akibat riya di akhirat antara lain ; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ الهُh بِهِ وَمَنْ رَاءَى رَاءَى الهُu بِهِ
Barang siapa (yang beramal) ingin didengar maka Allah akan
memperdengarkannya dan barang siapa (beramal) ingin dilihat maka Allah
pun akan memperlihatkannya. [HR. Bukhari & Muslim]
Artinya : Bila seseorang beramal hanya ingin didengar atau dilihat orang
lain maka itulah yang akan dia dapatkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala Maha
Sempurna tidak butuh sekutu-sekutu tersebut, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda: bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku adalah Yang paling tidak butuh sekutu, barangsiapa yang mengamalkan
suatu perbuatan, yang di dalamnya dia menyekutukanKu dengan selain Aku,
maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya. [HR. Muslim dari Abu Hurairah]
5. Memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar senantiasa
berlaku ikhlas dalam segala amal ibadah dan berlindung dari-Nya dari
riya`. Seorang mu`min atau mu`minah hendaklah tunduk, berserah diri
kepada-Nya, berusaha semaksimal mungkin menghindarkan diri dari riya,
sum'ah dan ujub; dan memperbanyak dzikir (mengingat Allah kapan saja di
manapun berada) dan berdo`a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala,
sebagaimana do'a-do'a yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam antara lain :
الشرك فيكم أخفى من دبيب النمل. وسأدلك على شيءٍ إذا فعلته أذهب عنك صغار
الشرك وكبيره . تقول: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْ ذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ
بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ, وَاسْتَغْفِرُكَ لمِاَ لاَ أَعْلَمُ (صحيح الجامع
الصغير :3/332)
Kesyirikan yang ada pada kalian lebih tersembunyi merayapnya seekor
semut, dan aku akan memberitahukan sesuatu kepadamu apabila hal itu kau
kerjakan, maka akan menghilangkan kesyirikan kecil dan besar darimu.
Yaitu engkau mengatakan (berdo'a): “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu
dari mensekutukan-Mu sedangkan saya mengetahuinya dan aku berlindung
kepada-Mu dari apa-apa yang aku tidak aku tahu."
Wallahu A’lam.
(Disadur oleh Abdul Wahid dari kitab Al-Ikhlash Wasy Syirkul Ashghar,
karya Syeikh Abdul Aziz Ali Abdul Lathif dan tambahan dari sumber lain)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun V/1422H/2001M Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
0 komentar:
Posting Komentar