Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Seorang penuntut ilmu tidak boleh futur dalam usahanya untuk memperoleh
dan mengamalkan ilmu. Futur yaitu rasa malas, enggan, dan lamban dimana
sebelumnya ia rajin, bersungguh-sungguh, dan penuh semangat.
Futur adalah satu penyakit yang sering menyerang sebagian ahli ibadah,
para da’i, dan penuntut ilmu. Sehingga seseorang menjadi lemah dan
malas, bahkan terkadang berhenti sama sekali dari melakukan aktivitas
kebaikan.
Orang yang terkena penyakit futur ini berada pada tiga golongan, yaitu:
1). Golongan yang berhenti sama sekali dari aktivitasnya dengan sebab futur, dan golongan ini banyak sekali.
2). Golongan yang terus dalam kemalasan dan patah semangat, namun tidak
sampai berhenti sama sekali dari aktivitasnya, dan golongan ini lebih
banyak lagi.
3). Golongan yang kembali pada keadaan semula, dan golongan ini sangat sedikit. [1]
Futur memiliki banyak dan bermacam-macam sebab. Apabila seorang muslim
selamat dari sebagiannya, maka sedikit sekali kemungkinan selamat dari
yang lainnya. Sebab-sebab ini sebagiannya ada yang bersifat umum dan ada
yang bersifat khusus.
Di antara sebab-sebab itu adalah.
1). Hilangnya keikhlasan.
2). Lemahnya ilmu syar’i.
3). Ketergantungan hati kepada dunia dan melupakan akhirat.
4). Fitnah (cobaan) berupa isteri dan anak.
5). Hidup di tengah masyarakat yang rusak.
6). Berteman dengan orang-orang yang memiliki keinginan yang lemah dan cita-cita duniawi.
7). Melakukan dosa dan maksiyat serta memakan yang haram.
8). Tidak mempunyai tujuan yang jelas (baik dalam menuntut ilmu maupun berdakwah).
9). Lemahnya iman.
10). Menyendiri (tidak mau berjama’ah).
11). Lemahnya pendidikan. [2]
Futur adalah penyakit yang sangat ganas, namun tidaklah Allah menurunkan
penyakit melainkan Dia pun menurunkan obatnya. Akan mengetahuinya
orang-orang yang mau mengetahuinya, dan tidak akan mengetahuinya
orang-orang yang enggan mengetahuinya.
Di antara obat penyakit futur adalah.
1). Memperbaharui keimanan.
Yaitu dengan mentauhidkan Allah dan memohon kepada-Nya agar ditambah
keimanan, serta memperbanyak ibadah, menjaga shalat wajib yang lima
waktu dengan berjama’ah, mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib,
melakukan shalat Tahajjud dan Witir. Begitu juga dengan bersedekah,
silaturahmi, birrul walidain, dan selainnya dari amal-amal ketaatan.
2). Merasa selalu diawasi Allah Ta’ala dan banyak berdzikir kepada-Nya.
3). Ikhlas dan takwa.
4). Mensucikan hati (dari kotoran syirik, bid’ah dan maksiyat).
5). Menuntut ilmu, tekun menghadiri pelajaran, majelis taklim, muhadharah ilmiyyah, dan daurah-daurah syar’iyyah.
6). Mengatur waktu dan mengintrospeksi diri.
7). Mencari teman yang baik (shalih).
8). Memperbanyak mengingat kematian dan takut terhadap suul khatimah (akhir kehidupan yang jelek).
9). Sabar dan belajar untuk sabar.
10). Berdo’a dan memohon pertologan Allah. [3]
PENUNTUT ILMU TIDAK BOLEH PUTUS ASA DALAM MENUNTUT ILMU DAN WASPADA TERHADAP BOSAN
Sebab, bosan adalah penyakit yang mematikan, membunuh cita-cita
seseorang sebesar sifat bosan yang ada pada dirinya. Setiap kali orang
itu menyerah terhadap kebosanan, maka ilmunya akan semakin berkurang.
Terkadang sebagian kita berkata dengan tingkah lakunya, bahkan dengan
lisannya, “Saya telah pergi ke banyak majelis ilmu, namun saya tidak
bisa mengambil manfaat kecuali sedikit.”
Ingatlah wahai saudaraku, kehadiran Anda dalam majelis ilmu cukup
membuat Anda mendapatkan pahala. Bagaimana jika Anda mengumpulkan antara
pahala dan manfaat? Oleh karena itu, janganlah putus asa. Ketahuilah,
ada beberapa orang yang jika saya ceritakan kisah mereka, maka Anda akan
terheran-heran. Di antaranya, pengarang kitab Dzail Thabaqaat
al-Hanabilah. Ketika menulis biografi, ia menyebutkan banyak cerita unik
beberapa orang ketika mereka menuntut ilmu.
‘Abdurrahman bin an-Nafis -salah seorang ulama madzhab Hanbali- dulunya
adalah seorang penyanyi. Ia mempunyai suara yang bagus, lalu ia
bertaubat dari kemunkaran ini. Ia pun menuntut ilmu dan ia menghafal
kitab al-Haraqi, salah satu kitab madzhab Hanbali yang terkenal.
Lihatlah bagaimana keadaannya semula. Ketika ia jujur dalam taubatnya,
apa yang ia dapatkan?
Demikian pula dengan ‘Abdullah bin Abil Hasan al-Jubba’i. Dahulunya ia
seorang Nashrani. Kelurganya juga Nashrani bahkan ayahnya pendeta
orang-orang Nashrani sangat mengagungkan mereka. Akhirnya ia masuk
Islam, menghafal Al-Qur-an dan menuntut ilmu. Sebagian orang yang sempat
melihatnya berkata, “Ia mempunyai pengaruh dan kemuliaan di kota
Baghdad.”
Demikian juga dengan Nashiruddin Ahmad bin ‘Abdis Salam. Dahulu ia
adalah seorang penyamun (perampok). Ia menceritakan tentang kisah
taubatnya dirinya: Suatu hari ketika tengah menghadang orang yang lewat,
ia duduk di bawah pohon kurma atau di bawah pagar kurma. Lalu melihat
burung berpindah dari pohon kurma dengan teratur. Ia merasa heran lalu
memanjat ke salah satu pohon kurma itu. Ia melihat ular yang sudah buta
dan burung tersebut melemparkan makanan untuknya. Ia merasa heran dengan
apa yang dilihat, lalu ia pun taubat dari dosanya. Kemudian ia menuntut
ilmu dan banyak mendengar dari para ulama. Banyak juga dari mereka yang
mendengar pelajarannya.
Inilah sosok-sosok yang dahulunya adalah seorang penyamun, penyanyi dan
ada pula yang Nashrani. Walau demikian, mereka menjadi pemuka ulama,
sosok mereka diacungi jempol dan amal mereka disebut-sebut setelah
mereka meninggal.
Jangan putus asa, berusahalah dengan sungguh-sungguh, mohonlah
pertolongan kepada Allah dan jangan lemah. Walaupun Anda pada hari ini
belum mendapatkan ilmu, maka curahkanlah terus usahamu di hari kedua,
ketiga, keempat,.... setahun, dua tahun, dan seterusnya...[4]
Seorang penuntut ilmu tidak boleh terburu-buru dalam meraih ilmu syar’i.
Menuntut ilmu syar’i tidak bisa kilat atau dikursuskan dalam waktu
singkat. Harus diingat, bahwa perjalanan dalam menuntut ilmu adalah
panjang dan lama, oleh karena itu wajib sabar dan selalu memohon
pertolongan kepada Allah agar tetap istiqamah dalam kebenaran.
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut
Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa,
PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama
Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
__________
Foote Notes
[1]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 22).
[2]. Lihat al-Futur Mazhaahiruhu wa Asbaabuhu wal ‘Ilaaj (hal. 43-71).
[3]. Ibid (hal. 88-119) dengan diringkas.
[4]. Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 278-279
0 komentar:
Posting Komentar