Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ
طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ
الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ تَعَالَى :
((–Qs al-Mu'minûn/23 ayat 51)) وَقَالَ تَعَالَى : ((–Qs al-Baqarah/2
ayat 172-)) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ: أَشْعَثَ
أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ،
وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ،
وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam besabda:
"Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik.
Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti
yang Dia perintahkan kepada para rasul. Maka, Allah Ta’ala berfirman,
’Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan
kerjakanlah kebajikan’ –Qs al-Mu'minûn/23 ayat 51- dan Allah Ta’ala
berfirman,’Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik
yang Kami berikan kepada kamu’ –Qs al-Baqarah/2 ayat 172- kemudian
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama
bepergian; rambutnya kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya
ke langit, ‘Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,’ sedangkan makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang
haram, bagaimana doanya akan dikabulkan?”
TAKHRÎJ HADITS
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Muslim, no. 1015.
2. Ahmad, II/328.
3. At-Tirmidzi, no. 2989.
4. Ad-Dârimi, II/300.
5. Al-Baihaqi, III/346.
6. Al-Bukhâri dalam kitab Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, no. 158.
SYARAH HADITS
Pertama : Mensucikan Allah Ta’ala Dari Segala Kekurangan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mensucikan diri-Nya dari segala
kekurangan dan aib. Allah Ta’âla telah mensucikan dirinya dari memiliki
isteri dan anak, Allah Ta’âla berfirman:
"Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak".
Sungguh, kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar, hampir saja
langit pecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan
itu), karena mereka menganggap (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai
anak. Dan tidak mungkin bagi (Allah) Yang Maha Pengasih mempunyai anak".
[Maryam/19:88-92]
Allah Ta’âla juga mensucikan diri-Nya sendiri dari sifat zhalim. Allah Ta’âla berfirman:
"Sungguh, Allah tidak menzhalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah… . [an-Nisâ`/4:40]
Dan selainnya dari ayat-ayat Al-Qur`ân yang Allah Ta’ala mensucikan
diri-Nya dengannya dari segala hal yang tidak sesuai dengan keagungan
dan kemuliaan-Nya.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ
(sesungguhnya Allah itu baik), adalah bentuk pensucian beliau terhadap
Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib. Sebab, makna thayyib (baik)
ialah suci dan bersih dari segala aib dan kekurangan.[1]
Kedua : Makna “Hal-Hal Yang Baik”.
Ada hadits tentang sedekah yang semakna dengan hadits ini, yaitu Sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, “Tidaklah seseorang bersedekah
dengan sedekah dari pendapatan yang baik, dan Allah tidak menerima
kecuali yang baik-baik ….” [2]
Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menerima sedekah kecuali sedekah yang berasal dari pendapatan yang baik dan halal.
Ada yang mengatakan, maksud hadits yang sedang kita bahas, yaitu hadits,
“Allah tidak menerima kecuali yang baik.” Itu lebih luas, maksudnya
ialah bahwa Allah tidak menerima amal perbuatan kecuali amal perbuatan
yang baik dan bersih dari semua hal yang merusaknya seperti riya’ dan
ujub. Allah juga tidak menerima harta kecuali harta yang baik dan halal.
Jadi, kata ‘baik atau suci’ itu disifatkan pada amal perbuatan,
perkataan, dan keyakinan. Ketiga hal tersebut (yakni keyakinan,
perbuatan, dan perkataan) terbagi dalam dua bagian: baik dan buruk.
Ada yang mengatakan, sifat baik (dalam hadits ini) masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Katakanlah (Muhammad), "Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik,
meskipun banyaknya keburukan itu menarik hatimu…” [al-Mâidah/5:100]
Allah Ta’âla membagi perkataan menjadi dua jenis, baik dan buruk, seperti firman-Nya:
"Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan
kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat, dan cabangnya
(menjulang) ke langit." [Ibrâhîm/14:24]
Juga firman-Nya:
"Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk".[Ibrâhîm/14:26]
Dan firman-Nya:
"… Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya …" [Fâthir/35:10]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disifati sebagai orang yang
menghalalkan hal-hal yang baik dan mengharamkan hal-hal yang buruk.
Allah Ta’ala berfirman:
"… Yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka…"[al-A’râf/7:157]
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyifati kaum mukminin sebagai orang-orang yang baik. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"(Yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik… "[an-Nahl/16:32].
Jadi, hati, lidah, dan tubuh orang mukmin itu baik karena iman yang
bersemayam di hatinya. Dzikir pun terlihat di lidahnya dan amal-amal
shalih -yang merupakan buah iman dan masuk dalam namanya- juga terlihat
pada tubuhnya. Semua hal-hal yang baik tersebut diterima Allah Azza wa
Jalla.[3]
Ketiga : Memakan Yang Halal.
Di antara hal teragung yang menghasilkan amal yang baik bagi seorang
mukmin ialah makanan yang baik dan berasal dari sumber yang halal.
Dengan makanan yang baik amalnya jadi berkembang.
Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa amal tidak diterima dan
tidak berkembang kecuali dengan memakan makanan yang halal, dan bahwa
makanan haram itu merusak amal dan membuatnya tidak diterima. Setelah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda “sesungguhnya Allah tidak
menerima kecuali yang baik”, beliau bersabda bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada
para rasul. Allah Ta’âla berfirman:
"Wahai para rasul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan…" [al-Mu`minûn/23: 51]
Maksudnya, bahwa para rasul dan umat mereka masing-masing diperintahkan
memakan makanan yang baik yang merupakan makanan yang halal. Mereka juga
diperintahkan beramal. Jika makanannya halal, maka amalnya shalih dan
diterima. Sebaliknya, jika makanannya tidak halal, bagaimana amal bisa
diterima?
Setelah itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan tentang doa.
Bagaimana doa tersebut diterima dengan sesuatu yang haram? Itu sebuah
perumpamaan tentang tidak diterimanya amal jika makanan pelakunya adalah
haram.
Keempat : Tidak Diterima Mempunyai Dua Makna.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ
طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik). Terdapat banyak hadits yang
serupa dengan hadits ini, yang di dalamnya terdapat pernyataan tidak
diterimanya sebagian dari amal perbuatan dan perkataan. Hal itu karena
pelakunya terjatuh dalam larangan atau menyepelekan syarat atau rukun
dari amalan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Rabb-nya Azza wa Jalla
. Maka, harus dipahami makna tidak diterimanya suatu amalan seperti
yang dipahami oleh para ulama.
Tidak diterimanya suatu amalan memiliki dua makna:
1. Tidak diterima dalam artian tidak mendapat pahala dan ganjaran, namun
amalan yang wajib telah gugur darinya, contohnya sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً.
"Barang siapa yang mendatangi tukang ramal (dukun), kemudian bertanya
kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat
puluh malam". [4]
2. Tidak diterima dalam artian tidak sah dan batal, seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
"Allah tidak menerima shalat seorang dari kalian jika dia berhadats sampai dia berwudhu" [5]
Makna tidak diterima dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا (tidak menerima kecuali yang baik),
ialah tidak diperolehnya pahala dan ganjaran, keridhaan, pujian, dan
sanjungan dari Allah di sisi para malaikat. Adapun dari segi diterimanya
shadaqah dari harta yang haram maka itu tidak bisa diterima, hal itu
berdasarkan sabda Rasulullah:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.
"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan shadaqah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)."[6]
Maksud yang sesungguhnya, wallahu a’lam, ialah tidak diterima dengan
makna pertama atau kedua. Itulah, wallahu a’lam, yang dimaksud firman
Allah Ta’ala:
"… Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa". [al-Mâ`idah/5:27).
Oleh karena itu, ayat itu di atas sangat ditakuti generasi Salaf. Mereka
khawatir tidak termasuk orang-orang yang bertakwa dan takut jika amal
mereka tidak diterima.
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya tentang makna al-muttaqîn
(orang-orang yang bertakwa) pada ayat di atas kemudian ia menjawab:
“Yaitu orang yang menjaga dirinya dari hal-hal (yang syubhat) kemudian
tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak halal baginya”. [7]
Abu Abdullah as-Saji rahimahullah berkata, “Ada lima hal, yang dengannya
amal menjadi sempurna: (1) beriman dengan mengenal Allah Azza wa Jalla ,
(2) mengenal kebenaran, (3) mengikhlaskan amal karena Allah, (4)
beramal sesuai dengan Sunnah, dan (5) memakan yang halal. Jika salah
satu dari kelima hal tersebut ada yang hilang, amal menjadi tidak naik.
Jika engkau mengenal Allah Azza wa Jalla, namun tidak mengenal
kebenaran, engkau menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah
dengan mengenal kebenaran, namun tidak mengikhlaskan amal, engkau
menjadi tidak berguna. Jika engkau mengenal Allah, mengenal kebenaran,
dan mengikhlaskan amal, namun tidak sesuai dengan Sunnah, engkau menjadi
tidak berguna. Jika engkau memenuhi keempat syarat tersebut, namun
makananmu tidak halal, engkau menjadi tidak berguna”.[8]
Adapun sedekah dengan uang haram, maka tidak diterima seperti disebutkan
dalam Shahîh Muslim dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ.
"Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari ghulûl (mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan)." [9]
Dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim disebutkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Tidaklah seseorang bersedekah dengan sedekah dari pendapatan
yang baik (halal) –dan Allah tidak menerima kecuali yang baik- melainkan
sedekah tersebut diambil oleh (Allah) Yang Maha Pengasih dengan tangan
kanan-Nya …”. [10]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ جَمَعَ مَالاً حَرَامًا، ثُمَّ يَتَصَدَّقَ بِهِ، لَمْ يَكُنْ فِيْهِ أَجْرٌ، وَكَانَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ.
"Barang siapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian bersedekah
dengannya, ia tidak mendapatkan pahala di dalamnya dan dosa menjadi
miliknya. " [11]
Disebutkan dalam hadits-hadits mursal al-Qâsim bin Mukhaimirah bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa
memperoleh harta dari perbuatan dosa, lalu menyambung kekerabatan
dengannya, atau bersedekah dengannya, atau menginfakkannya di jalan
Alah, maka Allah mengumpulkan semua itu lalu melemparnya ke neraka
Jahannam dengannya”.[12]
Diriwayatkan dari Abu Darda` dan Yazîd bin Maisarah bahwa keduanya
mengumpamakan orang yang mendapatkan harta tidak halal kemudian
bersedekah dengannya seperti orang yang mengambil harta anak yatim
kemudian membeli pakaian dan memakaikannya kepada janda-janda.[13]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhu ditanya tentang orang yang beramal.
Namun, sebelumnya ia berbuat zhalim dan mendapatkan harta haram lalu
bertaubat. Ia melaksanakan ibadah haji, memerdekakan budak, dan
bersedekah dengan harta tersebut? Ibnu 'Abbâs menjawab: “Sesungguhnya
keburukan tidak bisa dihapus dengan keburukan”.[14]
Ibnu Mas’ûd juga berkata: “Sesungguhnya keburukan tidak bisa dihapus
dengan keburukan dan hanya kebaikan yang bisa menghapus keburukan”. [15]
Ketahuilah bahwa bersedekah dengan uang haram itu terjadi dalam dua bentuk:
Pertama : Pencuri, pengkhianat, perampas, perampok, koruptor, dan
selainnya bersedekah dengan harta yang haram atas namanya sendiri.
Inilah yang dimaksudkan hadits di atas bahwa sedekah tidak diterima
darinya dalam arti ia tidak diberi pahala karenanya, justru ia berdosa
karena ia menggunakan harta orang lain tanpa seizinnya. Pemilik harta
(orang yang hartanya dicuri) tersebut juga tidak mendapatkan pahala,
karena sedekah tersebut tidak karena maksud dan niatnya. Itulah pendapat
sejumlah ulama, di antaranya Ibnu 'Aqîl – dari Hanabilah-.
Dari Zaid bin al-Akhnas al-Khuzâ’i rahimahullah bahwa ia bertanya kepada
Sa’îd bin al-Musayyib rahimahullah : “Aku menemukan barang tercecer,
apakah aku boleh bersedekah dengannya?” Sa’îd bin al-Musayyib menjawab:
“Engkau dan pemiliknya tidak diberi pahala”. Bisa jadi, yang dimaksud
Sa’îd bin al-Musayyib ialah orang tersebut bersedekah dengan barang
tersebut sebelum mengumumkannya.
Jika penguasa atau salah seorang pejabatnya mengambil uang dari
Baitul-Mâl yang bukan haknya kemudian bersedekah, atau memerdekakan
budak dengannya, atau membangun masjid atau lain-lain yang manfaatnya
dirasakan manusia, maka yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
'anhuma ialah bahwa ia seperti perampas jika ia bersedekah dengan uang
hasil rampasannya. Itu pula yang dikatakan Ibnu ‘Umar kepada ‘Abdullah
bin ‘Amir, Gubernur Basrah. Menjelang kematiannya, orang-orang berkumpul
di tempat ‘Abdullah bin ‘Amir dan menyanjungnya atas kebaikannya. Di
sisi lain, Ibnu ‘Umar diam. ‘Abdullah bin ‘Amir meminta Ibnu ‘Umar
bicara, kemudian Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits untuk ‘Abdullah bin
‘Amir: “Allah tidak menerima harta sedekah dari ghulûl (pencurian harta
rampasan perang sebelum dibagikan)”. Setelah itu, Ibnu ‘Umar berkata
kepada ‘Abdullah bin ‘Amir: “Dan engkau adalah Gubernur Basrah”. [17]
Sejumlah orang yang sangat wara’, seperti Thâwus rahimaullah dan Wahib
bin al-Ward rahimahullah, tidak mau memanfaatkan apa saja yang dibuat
oleh para raja. Sedang Imam Ahmad, ia memberi rukhshah (dispensasi)
terhadap fasilitas-fasilitas umum yang dibuat para raja. Misalnya,
masjid, jembatan, dan pabrik, karena hal-hal tersebut dibangun dari
harta fa’i, terkecuali jika seseorang yakin betul bahwa mereka
membangunnya dengan uang haram, misalnya uang dari pajak, bea cukai,
harta rampasan, dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh memanfaatkan
sesuatu yang dibangun dengan harta haram. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
mengecam para gubernur yang mengambil uang dari Baitul-Mâl untuk
kepentingan pribadi dan klaim mereka bahwa apa yang mereka kerjakan
setelah itu dengan uang tersebut adalah sedekah dari mereka. Itu mirip
dengan harta rampasan. Kecaman sejumlah ulama terhadap pembangunan
masjid-masjid oleh para raja tidak lain karena sebab ini.
Jika uang tersebut haram atau hasil rampasan, maka semua penggunaan uang
tersebut haram. Uang tersebut seterusnya dikembalikan kepada pemiliknya
atau ahli warisnya. Jika pemilik uang tersebut atau ahli warisnya tidak
diketahui, uang tersebut dikembalikan ke Baitul-Mâl dan digunakan untuk
kemashlahatan umum atau sedekah.
Kedua : Penggunaan perampas terhadap harta yang dirampasnya. Jika ia
menyedekahkannya atas nama pemiliknya karena ia tidak bisa
mengembalikannya kepada pemiliknya atau ahli warisnya, itu diperbolehkan
menurut sebagian besar ulama, di antaranya Imam Maalik, Abu Hanîfah,
Ahmad dan selain mereka.
Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata bahwa Imam az-Zuhri, Mâlik,
ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan al-Laits berpendapat bahwa jika para tentara
telah berangkat, sedang pencuri rampasan perang tidak bisa menyusul
mereka, ia harus menyerahkan seperlima hasil curiannya dari rampasan
perang dan bersedekah dengan sisanya.[18]
Pendapat yang sama diriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit, Mu’âwiyah,
dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat tersebut mirip dengan pendapat Ibnu
Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs. Mereka berdua berpendapat bahwa seseorang harus
bersedekah dengan uang yang tidak ia ketahui siapa pemiliknya. Para
ulama juga sepakat tentang dibolehkan sedekah dengan luqathah (barang
temuan) setelah diumumkan kepada khalayak dan pemiliknya tidak bisa
diketahui. Jika pemilik luqathah datang, para ulama memberinya hak pilih
antara pahala atau pengganti. Harta rampasan juga begitu.
Diriwayatkan dari Mâlik bin Dinâr rahimahullah, dia berkata bahwa aku
pernah bertanya kepada ‘Atha` bin Abi Rabâh rahimahullah tentang orang
yang memegang harta haram, tidak mengetahui siapa pemiliknya, dan ingin
terbebas darinya. ‘Atha' bin Abi Rabâh berkata: “Ia menyedekahkannya
namun aku tidak berkata itu sah baginya”.
Imam Mâlik rahimahullah berkata: “Perkataan ‘Atha' bin Abi Rabâh
tersebut lebih aku sukai daripada emas seberat perkataan tersebut”.
Sufyan rahimahullah juga berkata seperti itu tentang orang yang mendapat
warisan dari ayahnya dan dulu ayahnya menjual barang kepada orang yang
bermuamalah dengannya dimakruhkan. Sufyan rahimahullah berkata: “Ia
bersedekah sebesar keuntungan dan mengambil sisanya.” Pendapat yang sama
juga diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya ‘Umar bin
Khaththâb Radhiyallahu 'anhu dan ‘Abdullah bin Yaziid al-Anshâri.
Pendapat yang masyhur dari Imam asy-Syâfi’i rahimahullah tentang harta
haram ialah harta tersebut dijaga dan tidak disedekahkan hingga
pemiliknya diketahui.
Tentang orang yang memegang harta haram dan tidak mengetahui pemiliknya,
al-Fudhail bin Iyâdh rahimahullah berpendapat bahwa ia harus
merusaknya, membuangnya ke laut, dan tidak bersedekah dengannya.
Al-Fudhail bin Iyâdh berkata: “Orang tersebut tidak bertaqarrub kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala kecuali dengan harta yang halal”.
Pendapat yang benar ialah harta tersebut disedekahkan. Karena, merusak
dan manghambur-hamburkan harta dilarang agama, menyimpannya
selama-lamanya juga membuatnya rusak, dan menimbulkan kegelapan pada
orang yang bersangkutan. Sedekah dengan harta tersebut bukan atas nama
orang yang mendapatkannya. Sebab, jika itu terjadi berarti ia
bertaqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan harta haram, namun
sedekah tersebut atas nama pemiliknya agar manfaatnya di akhirat bisa ia
rasakan karena ia tidak merasakannya di dunia.[19]
Kelima : Sebab-Sebab Dikabulkannya Doa.
Ucapan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu “kemudian Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bepergian, rambutnya
kusut, berdebu, dan menengadahkan kedua tangannya ke langit, 'Wahai
Rabb-ku, wahai Rabb-ku,' padahal makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan diberi makan dengan yang haram, bagaimana doanya
dikabulkan?”
Dengan hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
menunjukkan etika berdoa, sebab-sebab yang menjadikan doa dikabulkan,
dan sebab-sebab yang menjadikan doa seseorang itu tidak dikabulkan.
Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan
empat hal yang membuat doa dikabulkan, yaitu:
a). Lama bepergian.
Bepergian itu sendiri menyebabkan doa dikabulkan seperti terlihat pada
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ
الْمَظْلُوْمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ.
"Tiga doa yang dikabulkan dan tidak ada keraguan di dalamnya: (1) doa
orang yang terzhalimi, (2) doa musafir (orang yang sedang bepergian
jauh), dan (3) doa seorang ayah untuk anaknya." [20]
Dalam riwayat lain disebutkan, “doa keburukan seorang ayah untuk anaknya”.
Jika seseorang telah lama bepergian, doanya sangat mungkin dikabulkan
karena dugaan kuat orang tersebut sedih karena lama terasing dari
negerinya dan mendapatkan kesulitan. Sedih adalah sebab terbesar yang
membuat doa dikabulkan.
b). Terjadinya keusangan pada pakaian dan penampilan dalam bentuk rambut kusut dan berdebu.
Hal ini juga membuat doa terkabul seperti terlihat pada hadits yang masyhur, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bersabda:
رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.
"Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, mempunyai dua pakaian
lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika ia berdoa kepada
Allah, Dia pasti mengabulkannya" [21]
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar rumah untuk mengerjakan
shalat Istisqa’, beliau keluar dengan pakaian lusuh, tawadhu`, dan
merendahkan diri.[22]
Keponakan Mutharrif bin ‘Abdullah dipenjara, kemudian Mutharrif bin
‘Abdullah rahimahullah mengenakan pakaian usang miliknya dan mengambil
tongkat dengan tangannya. Dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau berbuat
seperti itu?” Mutharrif bin ‘Abdullah menjawab, “Aku merendahkan diri
kepada Rabb-ku, mudah-mudahan Dia memberi syafa’at kepadaku untuk
keponakanku”.[23]
c). Menengadahkan kedua tangan ke langit.
Ini termasuk adab berdoa, dan dengan cara seperti itu, diharapkan doa
tersebut dikabulkan. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Salmân
Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.
"Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Mulia. Dia malu bila seseorang
menengadahkan kedua tangan kepada-Nya, namun Dia mengembalikan keduanya
dalam keadaan kosong tidak mendapatkan apa-apa." [24]
Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari hadits Anas bin Mâlik[25], Jâbir[26], dan selain keduanya.
Cara Menengadahkan Tangan Dalam Berdoa.
• Mengangkat kedua tangan hingga sejajar dengan kedua pundak dengan
menghadapkan kedua telapak tangan ke langit dan menghadapkan bagian
luarnya ke tanah. Menengadahkan kedua tangan seperti itu diperintahkan
dalam banyak hadits ketika seseorang berdoa kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu Sirîn bahwa
itulah doa dan permintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
• Menengadahkan kedua tangan sejajar dengan pundak dan menghadapkan
bagian luar tangan ke arah kiblat ketika menghadap ke sana dan
menghadapkan bagian dalam tangan ke wajah [27]. Salah seorang generasi
salaf berkata,“Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah sikap
merendahkan diri.”
• Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menengadahkan kedua tangan beliau
dengan tinggi ketika shalat Istisqa` hingga ketiak beliau yang putih
bersih terlihat. Yaitu, dengan menghadapkan bagian luar telapak tangan
ke langit dan bagian dalamnya menghadap ke tanah.[28]
• Menengadahkan kedua tangan dengan posisi tangan bagian dalam menghadap
ke langit dan bagian luarnya menghadap ke tanah. Salah seorang dari
generasi Salaf berkata, “Menengadahkan kedua tangan seperti itu adalah
meminta perlindungan kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung diri
kepada-Nya.” Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa
jika beliau berlindung diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau
menengadahkan kedua tangan seperti itu.[29]
• Beristighfar dengan berisyarat satu jari. Diriwayatkan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berbuat seperti itu ketika
beliau berada di atas mimbar.[30]
• Adapun ibtihâl (yaitu istighatsah) dengan mengangkat tangan
tinggi-tinggi.[31] Beliau menengadahkan kedua tangan beliau pada Perang
Badar guna meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas
kaum musyrikin hingga pakaian beliau jatuh dari kedua pundak beliau.[32]
d). Terus-menerus berdoa kepada Allah Ta’ala dengan mengulang-ulang kerububiyyahan-Nya.
Cara seperti ini termasuk aspek penting yang membuat doa terkabul.
Ath-Thabrâni dan lain-lain meriwayatkan hadits dari Sa’ad bin Khârijah
Radhiyallahu 'anhu, dia berkata, “Salah satu kaum mengeluhkan ketiadaan
hujan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian beliau
bersabda, ‘Kumpulkan rombongan kepadaku dan katakan, ‘Rabbi… Rabbi...’.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuk ke
langit kemudian mereka diberi hujan hingga mereka ingin air hujan
tersebut diberhentikan dari mereka”. [33]
Yazid ar-Raqqâsyi rahimahullah berkata, dari Anas bin Mâlik, “Tidaklah
seorang hamba berkata ‘Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai Rabb-ku),’
melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman kepadanya, ‘Aku penuhi
panggilanmu, Aku penuhi panggilanmu’.”
Diriwayatkan dari Abu ad-Darda` dan Ibnu ‘Abbas bahwa keduanya berkata:
“Nama Allah terbesar ialah Rabbî (wahai Rabb-ku), Rabbî (wahai
Rabb-ku)”.
Disebutkan dari ‘Athaa` rahimahullah, ia berkata: “Tidaklah seorang
hamba berkata ‘Rabbî, Rabbî’ hingga tiga kali melainkan Allah
melihatnya”.[34].
Perkataan tersebut disebutkan kepada al-Hasan rahimahullah kemudian
al-Hasan berkata: “Tidakkah kalian membaca Al-Qur`ân?” Setelah itu
al-Hasan membaca firman Allah Ta’ala Surat Ali ‘Imrân ayat 191-195.
Barang siapa mencermati doa-doa yang disebutkan dalam Al-Qur`ân, ia
menemukan pada umumnya doa-doa tersebut dimulai dengan kata "Rabb",
misalnya firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksa Neraka”.
[Al-Baqarah/2:201].
Atau firman Allah Ta’ala: “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami
jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Rabb kami, janganlah
Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.” [Al-Baqarah/2:286]
Juga firman-Nya:“Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami
kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha
Pemberi”. [Ali ‘Imrân/3:8]
Dan ayat-ayat lainnya yang banyak sekali di dalam Al-Qur`ân.
Sedang penyebab doa tidak dikabulkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengisyaratkan di antaranya ialah karena mengkonsumsi barang haram,
baik dalam makanan, minuman, pakaian, dan memberi makanan kepada orang
lain. Tentang hal ini, telah disebutkan hadits Ibnu 'Abbaas, dan bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi
Waqqaash: “Wahai Sa’ad, (Kondisikan agar makananmu baik, Athib
Math'amak, ashim) hendaklah makananmu baik, niscaya engkau menjadi orang
yang doanya dikabulkan”. Dari sisi ini, bisa disimpulkan bahwa makan
sesuatu yang halal, meminumnya, mengenakannya, dan memberikannya kepada
orang lain merupakan penyebab doa seseorang dikabulkan.
'Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahullah meriwayatkan bahwa al-Ashfar berkata
kepadaku bahwa dikatakan kepada Sa’ad bin Abi Waqqâsh: “Engkau orang
yang doanya dikabulkan di antara sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam”.
Sa’ad bin Abi Waqqaash berkata: “Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke
mulutku, melainkan aku tahu asal usulnya dan ke mana makanan tersebut
hendak keluar”.
Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: “Barang
siapa ingin doanya dikabulkan Allah, hendaklah ia makan makanan yang
baik (halal)”.
Diriwayatkan dari Sahl bin ‘Abdillah rahimahullah, dia berkata:
“Barangsiapa makan makanan halal selama empat puluh pagi (hari), doanya
dikabulkan”.
Diriwayatkan dari Yusuf bin Asbath rahimahullah, dia berkata:
“Diberitahukan kepada kami bahwa doa seorang hamba ditahan dari langit,
karena makanannya haram”.[35]
Keenam : Sebab-Sebab Doa Tidak Dikabulkan
Sabda Nabi فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ (bagaimana doanya dikabulkan?),
maksudnya, bagaimana doa orang tersebut bisa dikabulkan. Sabda tersebut
merupakan pertanyaan dengan konotasi keheranan dan kecil
kemungkinannya, dan bukan penegasan tentang kemustahilan terkabulnya doa
secara umum.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang haram dan
memberikannya kepada orang lain termasuk sebab-sebab tidak terkabulnya
doa. Bisa jadi, ada sebab-sebab lain yang membuat doa tidak terkabul,
misalnya mengerjakan hal-hal yang haram dilakukan. Begitu juga tidak
mengerjakan perintah-perintah seperti dijelaskan dalam hadits bahwa
tidak melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar menyebabkan doa tidak
terkabul, serta mengerjakan perintah-perintah membuat doa terkabul.[36]
Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke dalam gua kemudian gua
tersebut tertutup oleh batu, mereka bertawassul dengan amal shalih yang
mereka niatkan karena Allah, dan mereka berdoa kepada Allah dengannya
kemudian doa mereka dikabulkan.[37]
Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: “Perumpamaan orang yang berdoa
tanpa amal ialah seperti orang yang memanah tanpa anak panah”.[38]
Juga diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih rahimahullah, dia berkata:
“Amal shalih membuat doa sampai (kepada Allah)”, kemudian Wahb bin
Munabbih membaca firman Allah Ta’ala: “… Kepada-Nyalah akan naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan
mengangkatnya...” [Fâthir/35:10].[39]
‘Umar bin al-Khaththaab Radhiyallahu 'anhu berkata: “Dengan sikap wara`
(meninggalkan apa saja yang diharamkan Allah), Allah Subhanahu wa Ta'ala
menerima doa dan tasbih”.[40]
FAWÂ`ID HADITS
1). Ath-Thayyib (baik) termasuk dari nama-nama Allah, berdasarkan sabda
beliau: “Sesungguhnya Allah itu baik”, dan ini mencakup baik dalam
Dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan
hukum-hukum-Nya.
2). Kesempurnaan Allah Ta’ala dalam Dzat, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
3). Sesungguhnya Allah Mahakaya terhadap hamba-Nya, dan tidak menerima
kecuali yang baik. Maka, amal yang terdapat perbuatan syirik di dalamnya
tidak akan diterima Allah karena amal itu tidak baik. Demikian pula
bersedekah dengan harta curian tidak akan diterima Allah karena sedekah
itu tidak baik, begitu pula bersedekah dengan harta yang haram pada
dzatnya tidak akan diterima Allah karena harta itu tidak baik.
4). Amal terbagi menjadi dua, yaitu yang diterima dan yang tidak diterima.
5). Sesungguhnya para nabi dan rasul diberikan perintah dan larangan
oleh Allah Ta’ala. Demikian pula kaum mukminin, mereka diberikan
perintah dan larangan.
6). Perintah bagi para rasul dan kaum mukminin untuk memakan makanan yang halal dan baik.
7). Wajib mensyukuri nikmat Allah Ta’ala dengan cara melakukan ketaatan kepada-Nya.
8). Diharamkannya berbagai hal yang najis (buruk) yang dianggap buruk oleh syari’at.
9). Orang yang memakan harta yang haram doanya sangat kecil
kemungkinannya untuk dikabulkan meskipun dia melakukan sebab-sebab yang
membuat doa dikabulkan. Artinya, makan yang halal termasuk sebab
dikabulkannya doa.
10). Safar (bepergian jauh) merupakan sebab dikabulkannya doa.
11). Rambut yang kusut berdebu termasuk sebab terkabulnya doa.
12). Mengangkat tangan ketika berdoa termasuk sebab dikabulkannya doa.
13). Termasuk sebab dikabulkannya doa, yaitu bertawassul dengan sifat Rububiyyah Allah Ta’ala.
14). Peringatan keras dari memakan makanan yang haram karena itu sebagai
sebab tertolaknya doa meskipun syarat terkabulnya doa telah terpenuhi.
Maraaji’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mustadrak ‘ala Shahîhaini.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyiddîn Mustha.
4. Hilyatul Auliyâ`.
5. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
6. Kutûbus Sittah.
7. Mushannaf ‘Abdur-Razzâq.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Musnad Abu Ya’la.
10. Musnad Imam Ahmad.
11. Qawâ’id wa Fawâ`id minal ‘Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
12. Raf’ul Yadaini fish-Shalâh, karya Imam al-Bukhâri, Tahqîq: Badî’uddin ar-Rasyidi.
13. Shahîh Ibni Hibbân.
14. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
15. Syarhus-Sunnah lil Baghawi.
16. Tafsîr ath-Thabari.
17. Tafsîr Ibni Katsîr.
18. Dan kitab-kitab lainnya yang disebutkan dalam catatan kaki.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnotes
[1]. Lihat al-Qawâ’id wa Fawâ`id minal-Arba’în an-Nawâwiyyah, karya Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan, hlm. 113.
[2]. Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 1410. Muslim, no. 1014. Ahmad, II/418.
At-Tirmidzi, no. 662. An-Nasâ`i, V/57. Ibnu Mâjah, no. 1842, dan Ibnu
Hibbân, no. 270 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân.
[3]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/259).
[4]. Shahîh. HR Muslim, no. 2230. Ahmad, IV/68, V/380. Lafazh ini milik Muslim, dari Shafiyyah Radhiyallahu 'anha.
[5]. Shahîh. HR al-Bukhâri, no. 135 dan Muslim, no. 225, dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[6]. Shahîh. HR Muslim, no. 224. Ahmad, II/20 dan at-Tirmidzi, no. 1.
[7]. Jâmi’ul Ulûm wal-Hikam, I/262.
[8]. Diriwayatkan Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 9/323, no. 14016. Nama Abu ‘Abdillah as-Saji ialah Sa’îd bin Yazîd.
[9]. Shahîh. HR Muslim, no. 224. Ahmad, II/20, dan at-Tirmidzi, no. 1.
[10]. Shahîh. HR Ahmad, II/418. Al-Bukhâri, no. 1410. Muslim, no. 1014.
At-Tirmidzi, no. 662. An-Nasâ`i, V/57. Ibnu Mâjah, no. 1842, dan Ibnu
Hibbaan, no. 270 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân.
[11]. Hasan. HR Ibnu Hibbaan, no. 3356. Lihat at-Ta’lîqâtul Hisân.
[12]. Lihat Tahdzîbul-Kamal (XXIII/446), karya al-Mizzi dan Siyar
A’lâmin Nubalâ` (V/203) dari al-Qasim bin Mukhaimirah dan tidak
meneruskannya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[13]. Lihat az-Zuhd oleh Imam Ahmad, hlm. 137. Dinukil dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264.
[14]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/2640.
[15]. Ibid.
[16]. Mushannaf ‘Abdur-Razzâq, no. 18622.
[17]. Shahîh. HR Ahmad, II/20, 51, 73, dan Muslim, no. 224.
[18]. Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ibnul Mundzir berkata,'Para ulama
sepakat bahwa pencuri harta rampasan perang harus mengembalikan apa
yang ia ambil sebelum rampasan perang dibagikan'. Sedangkan setelah
pembagian, ats-Tsauri, al-Auzâ’i, dan Imam Mâlik berkata,‘Ia harus
mengembalikan seperlimanya kepada imam (penguasa kaum muslimin) dan
bersedekah dengan sisanya’.” Lihat Fat-hul Bâri, VI/186.
[19]. Diringkas dari Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/264-268.
[20]. Hasan. HR Abu Dawud, no. 1536. At-Tirmidzi, no. 1905, 3448. Ibnu
Maajah, no. 3862. Ahmad, II/258, dan al-Bukhâri dalam al-Adabul-Mufrad,
no. 32, 481. Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2688 dalam at-Ta’lîqâtul
Hisân. Hadits ini mempunyai hadits penguat, dari hadits ‘Uqbah bin ‘Amir
dalam riwayat Ahmad, IV/154.
[21]. Shahîh. HR Muslim, no. 2622, 2854, dan Ibnu Hibbân, no. 6449 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân. Lafazh ini milik Ibnu Hibbân.
[22]. Hasan. HR Ahmad, I/230. Abu Dawud, no. 1165. At-Tirmidzi, no. 558.
An-Nasâ`i, III/163, dan Ibnu Mâjah, no. 1266. Diriwayatkan dari Ibnu
'Abbâs, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar
dengan pakaian lusuh, menampakkan kemiskinan, merendahkan diri, dan
tawadhu`.” Dishahîhkan Ibnu Hibbân, no. 2851 dalam at-Ta’lîqâtul-Hisân,
dan redaksi tersebut miliknya..
[23]. Diriwayatkan Ibnu Asakir dalam kitab Târîkh-nya, XVI/290, dan
adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ`, IV/195. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm
wal-Hikam, I/270.
[24]. Shahîh. HR Ahmad, V/438. Abu Dâwud, no. 1488. At-Tirmidzi, no.
3556, dan Ibnu Mâjah, no. 3865, dan Ibnu Hibbân, no. 873, 877.
Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, no. 1385, dan al-Hakim (I/497) beliau
menshahîhkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[25]. HR ‘Abdur-Razzaq, no. 19648. Ath-Thabraani dalam ad-Du’a, no. 204,
205. Al-Hakim, I/497-498, dan al-Baghawi (no. 1386) dengan sanad-sanad
lemah.
[26].HR Abu Ya’la, no. 1862. Al-Haitsami dalam Majma’uz-Zawâ`id, X/149,
dan ia juga menisbatkan hadits tersebut kepada ath-Thabraani dalam
al-Ausath. Ia berkata, “Di sanadnya terdapat Yûsuf bin Muhammad bin
al-Munkadir ia menganggapnya tsiqah (terpercaya), padahal ia perawi
dha’if, namun para perawi lainnya adalah para perawi ash-Shahîh”.
[27]. Lihat hadits Anas bin Maalik dalam Shahîh al-Bukhâri, no. 1031,
dan Shahîh Muslim, no. 895. Juga hadits ‘Umair, mantan budak Abu Lahm,
yang diriwayatkan Abu Daawud (no. 1168), Ahmad (V/223), dan al-Hakim
(I/327) beliau menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat
juga atsar Ibnu ‘Umar dalam Fat-hul Bâri, XI/143.
[28]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1031), Muslim (no. 895), Ahmad
(III/241), Abu Dâwud (no. 1171), dan Ibnu Hibbân (no. 2852), dari Anas
bin Mâlik.
[29]. HR Ahmad (IV/56) dari Khalad bin as-Sâ`ib secara mursal. Di
sanadnya terdapat Ibnu Lahî’ah yang merupakan perawi dhaif. Hadits
tersebut juga disebutkan al-Haitsami dalam Majma’uz Zawâ`id (X/168) dan
berkata bahwa sanad hadits tersebut hasan.
[30]. Shahîh. HR Ahmad (IV/135), Muslim (no. 874), an-Nasâ`i (III/108),
Abu Dâwud (no. 1104), dan Ibnu Hibbân (879-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari
‘Imârah bin Ruwaibah. Dishahîhkan.
[31]. Shahîh. HR Abu Dâwud, no. 1490, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Dâwud, I/279, no. 1322.
[32]. Shahîh. HR Muslim (no. 1763) dan Ibnu Hibbân (no. 4773) dari ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu 'anhu.
[33]. Hadits tersebut tidak shahîh. Diriwayatkan oleh al-Bazzâr (no.
665) dan al-Bukhâri dalam at-Târîkh, VI/457. Di sanadnya terdapat Amir
bin Kharijah. Al-Bukhâri berkata, “Di sanadnya terdapat catatan. Abu
Hatim berkata seperti dinukil darinya oleh anaknya (III/188), ‘sanad
hadits tersebut munkar’.”
[34]. HR Ibnu Abi Syaibah, X/272. Atsar tersebut dishahîhkan al-Hâkim,
I/505. Atsar tersebut juga disebutkan as-Suyûthi di ad-Durrul Mantsûr
(II/410) dan menambahkan bahwa atsar tersebut juga diriwayatkan Ibnu Abi
Hâtim.
[35]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/275.
[36]. Hasan. HR Ahmad (VI/159) dan al-Bazzâr (no. 3304) dari 'Aisyah d
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia,
sesungguhnya Allah berfirman kepada kalian, ‘Perintahkan yang baik dan
laranglah yang munkar sebelum kalian berdoa kepada-Ku kemudian doa
kalian tidak Aku kabulkan, kalian meminta kepada-Ku kemudian tidak Aku
berikan, dan kalian meminta pertolongan kepada-Ku kemudian Aku tidak
menolong kalian’.”
[37]. Lihat Shahîh al-Bukhâri, no. 2215, Shahîh Muslim, no. 2743, Shahîh Ibni Hibbân, no. 894.
[38]. Diriwayatkan Ibnul Mubâarak di az-Zuhdu, no. 307, dan Abu Nu’aim di al-Hilyah, IV/56, no. 4730.
[39]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, I/276.
[40]. Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar