IKHLAS UNTUK ALLAH TA’ALA [1]
Apa Syarat Diterimanya Amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah
anda mengetahui jalan untuk merengkuh keselamatanmu. Janganlah anda
memberati diri dengan amalan-amalan yang banyak,. Karena, alangkah
banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan
manfaat kepadanya kecuali rasa capai dan keletihan semata di dunia dan
siksaan di akhirat. [2]
Maka, sebelum memulai semua amalan, hendaklah anda mengetahui syarat
diterimanya amal. Yaitu harus terpenuhi dua perkara penting pada setiap
amalan. Jika salah satu tidak tercapai, akibatnya amalan seseorang tidak
ada harapan untuk diterima. Pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kedua : Amalan itu telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
dalam Al-Qur’an, atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan sunnahnya, dan mengikuti Rasulullah dalam pelaksanaannya.
Jika salah satu dari dua syarat ini rusak, perbuatan yang baik tidak
masuk kategori amal shalih dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Pernyataan ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala.
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang
pun dalam beribadah kepada Rabb-nya” [Al-Kahfi/18 : 110]
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar amal yang
dikerjakan ialah amalan shalih, yaitu amal perbuatan yang sesuai dengan
aturan syari’at. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
orang yang menjalankannya supaya mengikhlaskan amalan itu kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak mencari pahala atau pamrih dari
selain-Nya dengan amalan itu.
Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ; “Dua perkara ini
merupakan rukun diterimanya suatu amalan. Yaitu, amalan itu harus murni
untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan benar sesuai dengan petunjuk
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan serupa juga
diriwayatkan Al-Qadhi Iyadh rahimahullah dan lainnya” [Tafsir surah
Al-Kahfi].
PERINTAH IKHLAS, LARANGAN BERBUAT RIYA DAN SYIRIK [3]
Ketahuilah, wahai saudaraku muslim, bahwa semua amalan pasti terjadi
dengan niat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya semua amalan ini terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan” [4]
Dan dalam amal itu harus mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan yang
demikian itulah agama yang lurus” [Al-Bayyinah/98 : 5]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Katakanlah : ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atas
kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui” [Ali-Imran/3 : 29]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memperingatkan bahaya dari berbuat riya’, dalam firman-Nya.
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu” [Az-Zumar/39 : 65]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Ta’ala berfirman ; “Aku sangat tidak membutuhkan sekutu.
Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia mneyekutukan selain Aku
bersama-Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya” [HR
Muslim, no. 2985]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا
لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari wajah Allah Azza wa
Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih kesenangan
dunia dengan ilmu itu, ia tidak akan mendapat aroma surga pada hari
kiamat” [5]
RIYA DAN JENIS-JENISNYA [6]
Di antara jenis riya’ ialah sebagi berikut.
1. Riya Yang Berkaitan Dengan Badan
Misalnya dengan menampakkan kekurusan dan wajah pucat, agar penampakan
ini, orang-orang yang melihatnya menilainya memiliki kesungguhan dan
dominannya rasa takut terhadap akhirat. Dan yang mendekati penampilan
seperti ini ialah dengan merendahkan suara, menjadikan dua matanya
menjadi cekung, menampakkan keloyoan badan, untuk menampakkan bahwa ia
rajin berpuasa.
2. Riya Dari Sisi Pakaian
Misalnya, membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian jenis
tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang yang masyarakat
menilai mereka sebagai ulama, maka dia mengenakan pakaian itu agar
dikatakan sebagai orang alim.
3. Riya Dengan Perkataan
Umumnya, riya’ seperti ini dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan
agama. Yaitu dengan memberi nasihat, memberi peringatan, menghafalkan
hadits-hadits dan riwayat-riwayat, dengan tujuan untuk berdiskusi dan
melakukan perdebatan, menampakkan kelebihan ilmu, berdzikir dengan
menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, menampakkan kemarahan
terhadap kemungkaran di hadapan manusia, membaca Al-Qur’an dengan
merendahkan dan melembutkan suara. Semua itu untuk menunjukkan rasa
takut, sedih, dan khusyu’ (kepada Allah, pent).
4. Riya’ Dengan Perbuatan
Seperti riya’nya seseorang yang shalat dengan berdiri sedemikian lama,
memanjangkan ruku, sujud dan menampakkan kekhusyu’an, riya’ dengan
memperlihatkan puasa, perang (jihad), haji, shadaqah dan semacamnya.
5. Riya’ Dengan Kawan-Kawan Dan Tamu-Tamu
Seperti orang yang memberatkan dirinya meminta kunjungan seorang alim
(ahli ilmu) atau ‘abid (ahli ibadah), agar dikatakan “sesungguhnya si
Fulan telah mengunjungi si Fulan”. Atau juga mengundang orang banyak
untuk mengunjunginya, agar dikatakan “sesungguhnya orang-orang baragama
sering mendatanginya”.
PERKARA YANG DISANGKA RIYA DAN SYIRIK, PADAHAL BUKAN !
1. Pujian Manusia Untuk Seseorang Terhadap Perbuatan Baiknya
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنْ الْخَيْرِ
وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
Dari Abu Dzar, dia berkata : Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan
amalan kebaikan dan orang-orang memujinya padanya!” Beliau bersabda :
“itu adalah kabar gembira yang segera bagi seorang mukmin” [HR Muslim,
no. 2642, Pent)
2. Giatnya Seorang Hamba Melakukan Ibadah Pada Saat Dilihat Oleh Orang-Orang Yang Beribadah
Al-Maqdisi rahimahullah berkata : Terkadang seseorang bermalam bersama
orang-orang yang melaksanakan shalat tahajjud, lalu mereka semua
melakukan shalat di sebahagian besar waktu malamnya, sedangkan kebiasaan
orang itu melakukan shalat malam satu jam, sehingga ia pun menyesuaikan
dengan mereka. Atau mereka berpuasa, lalu ia pun berpuasa. Seandainya
bukan karena orang-orang itu, semangat tersebut tidak muncul.
Mungkin ada seseorang yang menyangka bahwa (perbuatan) itu merupakan
riya’, padahal tidak mutlak demikian. Bahkan padanya terdapat perincian,
bahwasanya setiap mukmin menyukai beribadah kepada Allah Ta’ala, tetapi
terkadang banyak kendala yang menghalanginya. Dan kelalaian telah
menyeretnya, sehingga dengan menyaksikan orang lain itu, maka
kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan hilangnya kelalaian
tersebut, kemudian ia dapat menguji urusannya itu, dengan cara
menggambarkan orang-orang lain itu berada di suatu tempat yang dia dapat
melihat mereka, namun mereka tidak dapat melihatnya. Jika dia melihat
jiwanya ringan melakukan ibadah, maka itu untuk Allah. Jika jiwanya
merasa berat, maka keringanan jiwanya di hadapan orang banyak itu
merupakan riya’. Bandingkan (perkara lainnya) dengan ini” [7]
Aku katakan :
Kemalasan seseorang ketika sendirian datang masuk dalam konteks sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“(Sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri),
sedangkan semangatnya masuk ke dalam bab melaksanakan sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ
“(Hendaklah kamu menetapi jama’ah) [8]
3. Membaguskan Dan Memperindah Pakaian, Sandal Dan Semacamnya
Di dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ
كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ
حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ
الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan
seberat biji sawi”. Seorang laki-laki bertanya : “Ada seseorang suka
bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)”.
Beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan
kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” [HR Muslim
no. 2749, Pent]
4. Tidak Menceritakan Dosa-Dosanya Dan Menyembunyikan
Ini merupakan kewajiban menurut syari’at atas setiap muslim, tidak boleh
menceritakan kemaksiatan-kemaksiatan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ
الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ
يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ
الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Semua umatku akan diampuni (atau : tidak boleh dighibah) kecuali orang
yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya
termasuk melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang
yang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah
menutupinya (yakni, tidak ada orang yang mengetahuinya, Pent), lalu
ketika pagi dia mengatakan : “Hai Fulan, kemarin aku melakukan ini dan
itu”, padahal pada waktu malam Allah telah menutupinya, namun ketika
masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya” [HR Al-Bukhari,
no. 6069, Muslim no. 2990, Pent]
Menceritakan dosa-dosa memiliki banyak kerusakan, (dan) bukan di sini
perinciannya. Di antaranya, mendorong seseorang untuk berbuat maksiat di
tengah-tengah hamba dan menyepelekan perintah-perintah Allah Ta’ala.
Barangsiapa menyangka bahwa menyembunyikan dosa-dosa merupakan riya’ dan
menceritakan dosa-dosa merupakan keikhlasan, maka orang itu telah
dirancukan oleh setan. Kita berlindung kepada Allah darinya.
5. Seorang Hamba Yang Meraih Ketenaran Dengan Tanpa Mencarinya
Al-Maqdisi berkata : “Yang tercela, ialah seseorang mencari ketenaran.
Adapaun adanya ketenaran dari sisi Allah Ta’ala tanpa usaha menusia
untuk mencarinya, maka demikian itu tidak tercela. Namun adanya
ketenaran itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang lemah (imannya,
Pent)” [9]
Demikian, beberapa penjelasan berkaitan dengan riya’. Semoga Allah Azza
wa Jalla menjauhkan kita semua dari sifat buruk ini, baik dalam
perkataan maupun perbuatan, serta semoga menjadikan kita termasuk
orang-orang yang ikhlas dalam beramal.
Washallallahu ‘ala nabiyyna Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
_______
Footnote
[1]. Diasadur dari Kitab Al-Ikhlas, Syaih Husain bin Audah Al-Awaisyah,
Maktabah Islamiyyah, cetakan VII, Tahun 1413H-1992M halaman 9-10
[2]. Contoh dalam masalah ini adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa slam ;
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ
“Alangkah banyak orang yang berpuasa, namun ia tidak mendapatkan bagian
dari puasanya kecuali lapar. Dan alangkah banyak orang yang shalat
malam, namun ia tidak mendapatkan bagian dari shalat malamnya kecuali
begadang” [HR Ibnu Majah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dan
dishahihkan oleh guru kami Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jami, no.
3482]
[3]. Lihat kitab Al-Ikhlas, halaman 11-13
[4]. Bagian dari sebuah hadits di dalam dua kitab shahih
[5]. HR Abu Dawud dengan sanad yang shahih
[6]. Kitab Al-Ikhlas, halaman 63-67
[7]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, halaman 234
[8]. Nash haditsnya ialah : “Tidaklah tiga orang tinggal di sebuah desa
atau padang pasir, shalat (jama’ah) tidak ditegakkan pada diri mereka
kecuali mereka akan dikuasai oleh setan. Maka hendaklah kamu menetapi
jama’ah, karena sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang
menyendiri” [HR Abu Dawud, dihasankan Syaikh Al-Albani, Pent]
[9]. Mukhtashar Minhajul Qashidin, halaman 218
0 komentar:
Posting Komentar