Hari akhirat adalah hari setelah kematian yang wajib diyakini
kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla
dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal
perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna dan hari
ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia. Juga
pada hari itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata penuh
penyesalan:
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
"Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini." [al-Fajr/89:24]
Maka hendaknya setiap Muslim yang mementingkan keselamatan dirinya
benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan
mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena
pada hakikatnya, hari inilah masa depan bagi manusia yang sesungguhnya.
Kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya
usia manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا
قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan" [al-Hasyr/59:18]
Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qatâdah rahimahullah[1] berkata:
"Senantiasa tuhanmu (Allah Azza wa Jalla ) mendekatkan hari kiamat,
sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok"[2].
Semoga Allah Azza wa Jalla meridhai Sahabat yang mulia Umar bin Khattab
Radhiyallahu anhu yang telah mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang
terkenal: "Hisablah (introspeksilah) dirimu saat ini, sebelum kamu
dihisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat).
Timbanglah dirimu saat ini, sebelum amal perbuatanmu ditimbang (pada
hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu menghadapi hari
kiamat jika kamu mengintrospeksi dirimu saat ini; dan hiasilah dirimu
dengan amal shaleh untuk menghadapi hari yang besar ketika manusia
dihadapkan kepada Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَىٰ مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
"Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari
keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya)" [al-Hâqqah/69:18] [3]
Senada dengan ucapan di atas, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
berkata: "Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan kita, sedangkan
akhirat telah datang menghampiri kita, dan masing-masing dari keduanya
(dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang
mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang
mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini waktunya beramal dan tidak
ada perhitungan, adapun besok di akhirat adalah saat perhitungan dan
tidak ada waktu lagi untuk beramal.[4]
"JADILAH KAMU DI DUNIA SEPERTI ORANG ASING…"
Dunia adalah tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat
tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri
yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup,
maka dengan izin Allah Azza wa Jalla dia akan sampai ke tujuan dengan
selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia
tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sikap yang benar
dalam kehidupan di dunia dengan sabdanya: "Jadilah kamu di dunia seperti
orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan"[5]
Hadits ini sebagai nasehat bagi orang beriman, bagaimana seharusnya dia
menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing
(perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang
hanya tinggal sementara; tidak terikat hatinya pada tempat
persinggahannya, serta terus merindukan kembali ke kampung halamannya.
Demikianlah keadaan seorang Mukmin di dunia yang hatinya, selalu terikat
dan rindu kembali ke kampung halaman yang sebenarnya, yaitu surga
tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam q dan istrinya Hawa,
sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.
Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan oleh Imam Hasan al-Bashri
rahimahullah kepada Imam Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, beliau
berkata: "…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat
tinggal yang sebenarnya, dan hanyalah Adam Alaihissallam diturunkan ke
dunia untuk menerima hukuman akibat perbuatan dosanya…"[6]
Dalam mengungkapkan makna hal ini Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam syairnya:
Marilah (kita menuju) surga 'adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?[7]( )
Sikap hidup ini menjadikan seorang Mukmin tidak panjang angan-angan dan
terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena "barangsiapa yang
hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan
kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke
akhirat. Dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang
mengejar kemewahan dunia, karena keadaannya seperti perantau, yaitu
tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya."[8]
Makna inilah yang diisyaratkan `Abdullâh bin Umar Radhiyallahu
anhu:"Jika kamu berada di waktu sore maka janganlah menunggu datangnya
waktu pagi; dan jika kamu berada di waktu pagi maka janganlah menunggu
datangnya waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa
sakitmu, dan masa hidupmu sebelum kematian menjemputmu"[9]
Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah : "Maknanya adalah tidak panjang
angan-angan, yaitu seseorang yang ketika berada di waktu pagi dia
berkata: “Aku khawatir tidak akan bisa mencapai waktu sore lagi"”[10]
"BERBEKALLAH, DAN SUNGGUH SEBAIK-BAIK BEKAL ADALAH TAKWA" وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti
"menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan
kemurkaan Allah Azza wa Jalla yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu
(dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat
kepada-Nya"[11]
Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan
ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan meninggalkan perbuatan maksiat,
begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik
di dunia akan semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di
akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya meraih
keselamatan menuju surga.
Inilah di antara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: "Setiap orang akan dibangkitkan (pada
hari kiamat) sesuai dengan keadaannya sewaktu dia meninggal dunia" [12].
Artinya dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai
dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia [13]
Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Lâ ilâha illallâh dan
Muhammadur Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan
besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah Azza wa Jalla
dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna
syahadat Lâ ilâha illallâh dan menyempurnakan al ittibâ' (mengikuti
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan
bid'ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allah Azza wa Jalla akan memudahkan bagi manusia dalam menghadapi
peristiwa besar yang akan dialami mereka pada hari kiamat, sesuai dengan
pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini
sewaktu di dunia.
Ujian keimanan dalam kubur merupakan peristiwa besar pertama yang akan
dialami manusia setelah kematiannya. Mereka akan ditanya oleh dua
malaikat yaitu Munkar dan Nakir [14] dengan tiga pertanyaan: "Siapa
Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu?" [15]. Allah Azza wa Jalla
hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika menghadapi ujian
besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan
Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: "Tuhanku adalah
Allah Azza wa Jalla , agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. "[16]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ
ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang
teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan
orang-orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”
[Ibrâhim/14:27]
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini ditafsirkan sendiri oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahîh riwayat
al-Bara’ bin ‘âzib Radhiyallahu anhu, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Seorang Muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh
Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada
sembahan yang benar kecuali Allah (Lâ Ilâha Illallâh) dan bahwa Muhammad
n adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah makna firman-Nya:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang
teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”[17]
Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat adalah mendatangi telaga
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna
airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan
baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa
yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya
[18]. Dalam hadits yang shahîh [19] juga disebutkan bahwa ada
orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ini. Hal itu karena sewaktu di dunia mereka berpaling
dari petunjuk dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
masalah bid'ah.
Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah [20] berkata: "Semua orang yang
melakukan perbuatan bid'ah yang tidak diridhai Allah Azza wa Jalla dalam
agama ini akan diusir dari telaga Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul
bid'ah) yang menyelisihi pemahaman jama'ah kaum Muslimin, seperti
orang-orang Khawârij, Syî'ah, Râfidhah dan para pengikut hawa nafsu.
Demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dan
menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar
secara terang-terangan. Mereka semua dikhawatirkan termasuk orang-orang
yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam )[21]
Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat adalah melintasi ash-Shirâth
(jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di
antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahîh[22]( ) disebutkan
bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam;
sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. "Ada yang
melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang
secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang
secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang
merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian
dilemparkan ke dalam neraka Jahannam"([23] ) – na'ûdzu billâhi min dâlik
– .
Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-'Utsaimîn ketika menjelaskan perbedaan
keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, mengatakan : "Ini
semua bukan atas pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan
pilihan sendiri tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat. Akan
tetapi keadaan manusia sewaktu melintasinya sesuai dengan cepat atau
lambatnya mereka dalam menerima dan mengamalkan syariat Islam di dunia
ini. Barangsiapa yang bersegera dalam menerima petunjuk dan sunnah dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dia akan cepat
melintasinya. Sebaliknya barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka dia
akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan
itu sesuai dengan jenis perbuatannya"[24].
"BALASAN AKHIR YANG BAIK (SURGA) BAGI ORANG-ORANG YAG BERTAKWA" وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada ujungnya; surga yang penuh
kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di
sinilah Allah Azza wa Jalla akan memberikan balasan yang sempurna bagi
manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
فَأَمَّا مَنْ طَغَىٰ وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ
هِيَ الْمَأْوَىٰوَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ
عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
"Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya"
[an Nâzi'ât/79:37-41]
Maka balasan akhir yang baik hanya Allah Azza wa Jalla peruntukkan bagi
orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan
kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ
عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا ۚ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
"Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan
kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa"
[al-Qashash/28:83]
Syaikh Abdurrahmân as-Sa'di rahimahullah berkata: "…Jika mereka tidak
mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri atau berbuat maksiat di
muka bumi, maka berarti keinginan mereka hanya tertuju kepada Allah Azza
wa Jalla . Tujuan mereka hanya mempersiapkan bekal untuk akhirat, dan
keadaan mereka sewaktu di dunia selalu merendahkan diri kepada
hamba-hamba Allah; serta selalu berpegang kepada kebenaran dan
mengerjakan amal shaleh. Mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan
mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah Azza wa Jalla
)"[25]
PENUTUP
Setelah merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah bertanya
kepada diri sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup agar
selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan
berputus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala
kekurangan kita – dengan izin Allah Azza wa Jalla – Caranya,
bersegeralah untuk kembali dan bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla ,
serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan
semua itu akan mudah bagi orang yang diberi Allah Azza wa Jalla taufik
dan kemudahan baginya.
Imam Fudhail bin 'Iyâdh rahimahullah [26] pernah menasehati seseorang
lelaki, beliau berkata: "Berapa tahun usiamu "? Lelaki itu menjawab:
"Enam puluh tahun." Fudhail rahimahullah berkata: "Berarti sudah enam
puluh tahun kamu menempuh perjalanan menuju Allah Azza wa Jalla ; dan
mungkin saja kamu hampir sampai". Lelaki itu menjawab: "Sesungguhnya
kita ini milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya." Maka
Fudhail rahimahullah berkata: "Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu
berkata bahwa aku milik Allah Azza wa Jalla dan akan kembali kepada-Nya;
barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah Azza wa
Jalla dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa
dia akan berdiri di hadapan-Nya pada hari kiamat. Barangsiapa yang
mengetahui bahwa dia akan berdiri di hadapan-Nya, maka hendaknya dia
mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua
perbuatannya di dunia. Barangsiapa yang mengetahui akan dimintai
pertanggungjawaban (atas perbuatannya), maka hendaknya dia mempersiapkan
jawabannya". Maka lelaki itu bertanya: "Lantas bagaimana caranya untuk
menyelamatkan diri ketika itu?" Fudhail rahimahullah menjawab: "Caranya
mudah". Lelaki itu bertanya lagi: "Apa itu?" Fudhail rahimahullah
berkata: "Perbaikilah dirimu pada sisa umurmu, maka Allah Azza wa Jalla
akan mengampuni dosamu di masa lalu, karena jika kamu tetap berbuat
buruk pada sisa umurmu, maka kamu akan disiksa (pada hari kiamat) karena
dosamu di masa lalu dan pada sisa umurmu" [27]
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam [28] untuk kebaikan agama, dunia dan
akhirat kita:
Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua
urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat
hidupku,
serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya),
jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku,
dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ
وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَاناَ أَنِ الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ
Kota Nabi Shalalllahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H
Abdullâh bin Taslîm Al-Buthoni
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIIi/Jumadil Tsani
1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Qatâdah bin Di'âmah As-Sadûsi Al-Bashri (wafat setelah tahun 110
H), adalah Imam besar dari kalangan Tâbi'in yang sangat terpercaya dan
kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah n (lihat kitab "Taqrîbut
tahdzîb", hal. 409).
[2]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya "Ighâtsatul lahfân" (hal. 152-Mawâridul amân).
[3]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau "Az Zuhd" (hal. 120), dengan sanad yang hasan.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam "Az Zuhd" (hal. 130) dan dinukil
oleh Imam Ibnu Rajab Al-Hambali dalam kitab beliau "Jâmi'ul 'ulûmi wal
hikam" (hal. 461).
[5]. HR al Bukhâri (no. 6053).
[6]. Dinukil oleh Ibnul Qayyim t dalam kitabnya "Ighâtsatul Lahfân" (hal. 84 - Mawâridul amân).
[7]. Miftâhu Dâris Sa'âdah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau "Jâmi'ul 'Ulûmi Wal Hikam" (hal. 462).
[8]. Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab "Jâmi'ul 'Ulûmi Wal Hikam" (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian.
[9]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab "Shahîhul Bukhâri" (no. 6053).
[10]. Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab "Jâmi'ul 'Ulûmi Wal Hikam" (hal. 465).
[11]. Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab " Jâmi'ul 'Ulûmi Wal Hikam " (hal. 196).
[12]. HR Muslim (no. 2878).
[13]. Lihat penjelasan al-Munâwi dalam kitab beliau "Faidhul qadîr" (6/457).
[14]. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat at-Tirmidzi (no.
1083) dan dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni dalam "Ash- Shahîhah"
(no. 1391).
[15]. Hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dâwud (no. 4753) dan
al-Hâkim (1/37-39), dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati oleh
adz-Dzahabi.
[16]. Ibid.
[17]. HR al-Bukhâri (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871).
[18]. Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahîh riwayat imam al-Bukhâri (no. 6208) dan Muslim (no. 2292).
[19]. Riwayat Imam al-Bukhâri (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Mâlik rahimahullah.
[20]. Yûsuf bin Abdullâh bin Muhammad bin Abdul Barr An-Namari
Al-Andalusi (wafat 463 H), adalah Syaikhul Islam dan Imam besar Ahlus
Sunnah dari wilayah Magrib. Biografi beliau dalam kitab "Tadzkiratul
huffâzh" (3/1128).
[21]. Kitab "Syarh Az-Zarqâni 'Ala Muwaththa-Il Imâmi Mâlik" (1/65).
[22]. Riwayat imam al-Bukhâri (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa'îd al-Khudri Radhyiallahu anhu.
[23]. Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau "Al-Aqîdah Al Wâsithiyyah" (hal. 20).
[24]. Kitab "Syarhul Aqîdatil Wâsithiyyah" (2/162).
[25]. Taisîrul karîmir Rahmân fî tafsîri kalâmil Mannân (hal. 453).
[26]. Fudhail bin 'Iyâdh bin Mas'ûd At-Tamîmi (wafat 187 H), adalah
seorang Imam besar dari dari kalangan atba'ut tâbi'în yang sangat
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah n dan seorang ahli
ibadah (lihat kitab "Taqrîbut Tahdzîb", hal. 403).
[27]. Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab "Jâmi'ul 'Ulûmi Wal Hikam" (hal. 464).
[28]. Dalam HR Muslim (no. 2720) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
0 komentar:
Posting Komentar