Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Siapapun kita, tentu pernah merasakan marah, bahkan terkadang tidak bisa mengendalikan diri karena emosi yang sudah memuncak.
Memang sifat marah merupakan tabiat manusia, karena mereka memiliki
nafsu yang cenderung ingin selalu dituruti dan tidak mau ditolak
keinginannya.
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَرْضَى كَمَا يَرْضَى الْبَشَرُ وَأَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ
Aku ini hanya manusia biasa. Aku bisa senang sebagaimana manusia senang, dan aku bisa marah sebagaimana manusia marah.[1]
Disamping itu juga, sifat marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh
setan dalam hati manusia untuk merusak agama dan diri mereka. Karena
dengan kemarahan, seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga melakukan
tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan
agamanya.[2]
Oleh karena itu, hamba-hamba Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang bertakwa,
meskipun mereka tidak luput dari sifat marah, akan tetapi kerena mereka
selalu berusaha melawan keinginan nafsu. Sehingga mereka mampu meredam
kemarahan mereka karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla
memuji mereka dalam firman-Nya:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka)
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh Azza wa Jalla
menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan [Ali 'Imrân/3:134]
Maksudnya, jika mereka disakiti orang lain yang memancing kemarahan,
mereka tidak memperturutkan hawa nafsu mereka (demi melampiaskan
kemarahan), akan tetapi sebaliknya, mereka (justru berusaha) menahan
kemarahan dalam hati mereka dan bersabar untuk tidak membalas perlakuan
orang yang menyakiti mereka.[3]
KUTAMAAN MENAHAN MARAH DAN MENGENDALIKAN DIRI KETIKA EMOSI
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan
lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), akan tetapi orang kuat (yang
sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.[4]
Inilah kekuatan yang terpuji dan mendapat keutamaan dari Allâh Azza wa
Jalla . Kekuatan seperti tidak dimiliki oleh banyak orang.[5]
Imam al-Munâwi rahimahullah berkata, “Makna hadits ini yaitu orang kuat
(dalam arti yang sebenarnya) adalah orang yang (mampu) menahan diri
ketika kemarahannya sedang bergejolak dan dia (mampu) melawan dan
menundukkan nafsunya (ketika itu). Dalam hadits ini, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa makna kekuatan fisik kepada makna
kekuatan batin. Barangsiapa mampu mengendalikan dirinya ketika itu maka
sungguh dia telah (mampu) mengalahkan musuhnya yang paling kuat dan
paling berbahaya (yaitu hawa nafsunya)."[6]
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allâh Subhanahu wa Ta'ala yang
disebutkan dalam sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allâh daripada orang mukmin yang lemah .[7]
Kuat dalam hadits ini, maknanya adalah kuat imannya dan kuat dalam
berjuang menundukkan hawa nafsunya di jalan Allâh Azza wa Jalla . [8]
Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُخَيِّرَهُ اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ
Barangsiapa menahan amarahnya padahal dia mampu untuk melampiaskannya
maka Allâh Azza wa Jalla akan memanggilnya (membanggakannya) pada hari
Kiamat di hadapan semua manusia sampai (kemudian) Allâh membiarkannya
memilih bidadari. [9]
Imam ath-Thîbi rahimahullah berkata, “(Perbuatan) menahan amarah itu
terpuji karena menahan amarah berarti berhasil menundukkan nafsu yang
selalu membisikkan keburukan, oleh karena itu Allâh k memuji mereka
dalam firman-Nya :
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
… dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan)
orang lain. Allâh k menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan [Ali
'Imrân/3:134][10]
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas,
“…padahal dia mampu untuk melampiaskannya…”, menunjukkan bahwa menahan
kemarahan yang terpuji dalam Islam adalah ketika seseorang mampu
melampiaskan kemarahannya dan dia menahannya karena Allâh Azza wa
Jalla.[11] Adapun ketika dia tidak mampu melampiaskannya, misalnya
karena takut kepada orang yang membuatnya marah atau karena
kelemahannya, dan sebab-sebab lainnya, maka dalam keadaan seperti ini
menahan kemarahan tidak terpuji.
Seorang Mukmin yang terbiasa mengendalikan hawa nafsunya, maka dalam
semua keadaan dia selalu dapat berkata dan bertindak dengan benar,
karena ucapan dan perbuatannya tidak dipengaruhi oleh hawa nafsunya.
Orang yang seperti tentu akan mudah baginya untuk berlaku adil dan
inilah arti sikap adil yang dipuji oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
sebagai sikap yang lebih dekat dengan ketakwaan. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa [al-Mâidah/5:8]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menukil ucapan seorang Ulama salaf yang
menafsirkan sikap adil dalam ayat ini. Beliau rahimahullah berkata,
“Orang yang adil adalah orang yang ketika dia marah, kemarahannya tidak
menjerumuskan dirinya ke dalam kesalahan; Dan ketika dia senang,
kesenangannya tidak membuat dia menyimpang dari kebenaran.” [12]
MENAHAN MARAH, KUNCI SEGALA KEBAIKAN
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
diceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta nasehat beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam . Orang itu berkata, "Berilah wasiat (nasehat)
kepadaku !" Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau marah.” Kemudian orang itu mengulang berkali-kali
permintaan nasehatnya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi jawabannya,
“Janganlah engkau marah.” [13]
Orang ini datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
meminta nasehat yang ringkas namun mencakup semua sifat baik, lalu
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya agar selalu
menahan kemarahan. Kemudian orang tersebut mengulang permintaan nasehat
berkali-kali dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa melampiaskan kemarahan adalah
sumber segala keburukan dan menahannya merupakan penghimpun segala
kebaikan. [14]
Imam Ja'far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, "(Melampiaskan) kemarahan adalah pembuka segala keburukan."
Imam Abdullâh bin al-Mubârak al-Marwazi rahimahullah, ketika ada yang
meminta kepada beliau, "Sampaikanlah (nasehat) kepada kami yang
menghimpun semua akhlak yang baik dalam satu kalimat." Beliau
rahimahullah berkata, "(Yaitu) meninggalkan (menahan) amarah."
Demikian pula imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan imam Ishak bin
Rahuyah rahimahullah ketika menjelaskan makna akhlak yang baik, mereka
mengatakan, "(Yaitu) meninggalkan (menahan) kemarahan."[15]
Jadi perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di
atas, “Janganlah engkau marah” berarti perintah untuk melakukan sebab
(perantara) yang akan melahirkan akhlak yang baik, yaitu: sifat lemah
lembut, dermawan, malu, tawadhu' (merendahkan diri), sabar, tidak
menyakiti orang lain, pemaaf, ramah dan sifat-sifat baik lainnya yang
akan muncul ketika seseorang berusaha menahan emosinya pada saat ada
faktor-faktor yang memancing kemarahannya.[16]
PETUNJUK RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MENGATASI MARAH
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk atau kiat-kiat
untuk meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allâh Azza wa
Jalla [17], di antaranya:
1. Berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari godaan setan
Dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu anhu , beliau mengatakan,
“(Ketika) aku sedang duduk bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ada dua orang laki-laki yang sedang (bertengkar dan) saling
mencela. Salah seorang dari mereka, wajahnya telah memerah dan urat
lehernya menegang. Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia
mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya.
Seandainya dia mengatakan :
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Aku berlindung kepada Allâh dari godaan setan yang terkutuk
Maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya.” [18]
2. Diam (tidak berbicara), agar terhindar dari ucapan-ucapan buruk yang sering timbul ketika orang sedang marah.[19]
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Jika salah
seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam” [20]
3. Duduk atau berbaring, agar kemarahan tertahan dalam dirinya dan akibat buruknya tidak sampai kepada orang lain. [21]
Dari Abu Dzar al-Gifari Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia
duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring
[22]
Disamping itu, yang paling utama dalam hal ini adalah usaha untuk
menundukkan dan mengendalikan diri ketika sedang marah. Ini akan menutup
jalan-jalan atau celah-celah setan yang ingin menjerumuskan manusia ke
dalam jurang keburukan dan kebinasaan. [23]Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat)
dan keji, dan mengatakan tentang Allâh apa yang tidak kamu ketahui
[al-Baqarah/2:169]
Suatu hari, Khalifah yang mulia, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz marah
rahimahullah , maka putranya (yang bernama) ‘Abdul Mâlik berkata
kepadanya, "Wahai Amîrul Mukminîn, dengan karunia dan keutamaan yang
Allâh berikan kepadamu, engkau marah seperti ini ?" Maka ‘Umar bin
‘Abdil ‘Aziz rahimahullah berkata, "Apakah kamu tidak pernah marah,
wahai ‘Abdul Mâlik ?" Lalu ‘Abdul Malik rahimahullah menjawab, "Apalah
artinya bagi perut (dada) yang lapang, kalau tidak aku (pergunakan
untuk) menahan kemarahanku di dalamnya supaya tidak tampak (sehingga
tidak mengakibatkan keburukan)." [24]
MARAH YANG TERPUJI
Ummul mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata:
وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ
بِهَا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah karena
(urusan) diri pribadi beliau, kecuali jika batasan syariat Allâh
dilanggar, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan marah dengan
pelanggaran tersebut karena Allâh. [25]
Inilah marah yang terpuji dalam Islam, marah karena Allâh Azza wa Jalla .
Marah dan tidak ridha ketika perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla
dilanggar oleh manusia. Inilah akhlak mulia Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam , yang selalu ridha dengan apa yang Allâh ridhai dalam
al-Qur'ân dan benci atau marah dengan apa yang dicela oleh Allâh k
dalam al-Qur'ân. [26]
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Sungguh akhlak Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur'ân” .[27] Dalam riwayat lain
ada tambahan, "…Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah atau benci
terhadap apa yang dibenci dalam al-Qur'ân dan ridha dengan apa yang
dipuji dalam al-Qur'ân” .[28]
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah mengatakan, “Wajib bagi seorang
Mukmin untuk menjadikan keinginan nafsunya terbatas pada apa yang
dihalalkan oleh Allâh Azza wa Jalla baginya, yang ini bisa termasuk niat
baik yang akan mendapat ganjaran pahala (dari Allâh Azza wa Jalla). Dan
wajib baginya untuk menjadikan kemarahannya dalam rangka menolak
gangguan dalam agama (yang dirasakan) oleh dirinya atau orang lain,
serta dalam rangka menghukum atau mencela orang-orang yang menentang
Allâh Azza wa Jalla dan rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam ,
sebagaimana firman-Nya :
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ
وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَيُذْهِبْ
غَيْظَ قُلُوبِهِمْ
Perangilah mereka, niscaya Allâh akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tangan-tanganmu dan Allâh Azza wa Jalla akan menghinakan
mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati
orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan kemarahan orang-orang yang
beriman. [at-Taubah/9:14-15]” [29]
PENUTUP
Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi kita semua dan
menjadi motivasi untuk selalu berusaha menundukkan hawa nafsu dan
menahan kemarahan, agar kita terhindar dari segala keburukan.
Kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan
nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna,
agar Dia senantiasa menganugerahkan petunjuk dan taufik-Nya kepada kita
untuk memiliki sifat-sifat yang baik dan mulia dalam agama-Nya.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XV/Syaban 1432/2011M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR Muslim, no. 2603.
[2]. Lihat kitab Syarhu Riyâdhish Shâlihîn (1/107) dan Bahjatun Nâzhirîn (1/111).
[3]. Lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 148.
[4]. HR al-Bukhâri, no. 5763 dan Muslim, no. 2609.
[5]. Lihat kitab Syarhu Shahîhi Muslim (16/162).
[6]. Kitab Faidhul Qadîr (5/358).
[7]. HR Muslim, no. 2664
[8]. Lihat kitab Syarhu Riyâdhish Shâlihîn (1/305) dan Bahjatun Nâzhirîn (1/183).
[9]. HR Abu Dawud, no. 4777; at-Tirmidzi, no. 2021); Ibnu Mâjah, no.
4186; dan Ahmad (3/440), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi dan
syaikh al-Albani.
[10]. Dinukil oleh al-'Azhim Abadi dalam kitab Aunul Ma'bud (13/95)
[11]. Lihat kitab Bahjatun Nâzhirîn (1/111).
[12]. Kitab ar-Risâlatut Tabûkiyyah, hlm. 33
[13]. HR al-Bukhâri, no. 5765.
[14]. Keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 144
[15]. Semua ucapan di atas dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 145
[16]. Lihat keterangan imam Ibnu Rajab dalam kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 145
[17]. Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146 dan Bahjatun Nâzhirîn (1/112)
[18]. HR al-Bukhâri, no. 5764 dan Muslim, no. 2610
[19]. Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146
[20]. HR Ahmad (1/239) dan al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 245,
dinyatakan shahih dengan penguatnya oleh syaikh al-Albani rahimahullah
dalam ash-Shahîhah, no. 1375
[21]. Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146
[22]. HR Abu Dawud, no. 4782; Ahmad (5/152) dan Ibnu Hibbân, no. 5688,
dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibbân dan syaikh al-Albâni.
[23]. Lihat kitab Bahjatun Naazhiriin (1/112).
[24]. Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 146
[25]. HSR al-Bukhari, no. 3367 dan Muslim, no. 2327.
[26]. Lihat kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 148
[27]. HSR Muslim, no. 746
[28]. HR ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Ausath, no. 72
[29]. Kitab Jâmi’ul ‘Ulûmi wal Hikam, hlm. 148
0 komentar:
Posting Komentar