Oleh: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : ((
لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )).
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ada seorang laki-laki berkata
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau
menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya
berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh: al-Bukhâri (no. 6116), Ahmad
(II/362, 466, III/484), at-Tirmidzi (no. 2020), Ibnu Hibban (no.
5660-5661 dalam at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrani dalam
al-Mu’jamul-Kabîr (II/261-262, no. 2093-2101), Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf (no. 25768-25769), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no.
20286), al-Baihaqi dalam Syu’abul-Îmân (no. 7924, 7926), al-Baihaqi
dalam as-Sunanul-Kubra (X/105), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
(XIII/159, no. 3580).
SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin Qudamah
rahimahullah . Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang
singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia
dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya
agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu
berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini
menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan
diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam
sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang,
wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk
akal.
DEFINISI MARAH
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak gangguan yang
dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam kepada orang yang
menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti
memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan
mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh,
mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan
permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada tingkat
kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan seperti
sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i, atau
mencerai istri yang disusul dengan penyesalan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat
marah tidaklah dilarang karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa
hilang dari perilaku kebiasaan manusia.”[1]
Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan.
Di dalam Al-Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah
yang dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan
murka kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang
melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ
وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۚ عَلَيْهِمْ
دَائِرَةُ السَّوْءِ ۖ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ
لَهُمْ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan (juga)
orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka buruk
terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk, dan
Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta menyediakan neraka
Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu seburuk-buruk tempat
kembali. [al-Fath/48 : 6][2].
Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah
sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik
sebelum maupun sesudahnya.[3]
Setiap muslim wajib menetapkan sifat marah bagi Allah, tidak boleh
mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan tidak boleh menyamakan dengan
sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42 : 11].
Sifat marah bagi Allah merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan dan
kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib ditempuh
oleh setiap muslim.
Adapun marah yang dinisbatkan kepada makhluk; ada yang terpuji ada pula
yang tercela. Terpuji apabila dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dalam
membela agama Allah Azza wa Jalladengan ikhlas, membela hak-hak-Nya,
dan tidak menuruti hawa nafsu, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau marah karena ada hukum-hukum
Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar, maka beliau marah. Begitu pula
marahnya Nabi Musa Alaihissallam [4] dan marahnya Nabi Yunus
Alaihissallam [5] . Adapun yang tercela apabila dilakukan karena membela
diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti
emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran dan
kebinasaan.
Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah adalah pintu segala
kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak rahimahullah , “Kumpulkanlah
untuk kami akhlak yang baik dalam satu kata!” Beliau menjawab,
“Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam Ahmad rahimahullah dan Ishaq
rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak yang baik adalah dengan
meninggalkan amarah.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau jangan marah “
kepada orang yang meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal.
Pertama : Maksud dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki
sebab-sebab yang menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah
hati, penyantun, malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu
orang lain, pemaaf, menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak
baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi
kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul
berbagai sebabnya.
Kedua : Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan melakukan tuntutan
marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi usahakan dirimu untuk tidak
mengerjakan dan tidak melakukan apa yang diperintahnya.” Sebab, apabila
amarah telah menguasai manusia, maka amarah itu yang memerintah dan
yang melarangnya.
Makna ini tercermin dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ
Dan setelah amarah Musa mereda… [al-A’râf/7 : 154].
Apabila manusia tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan
dirinya berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah
darinya, bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang
sehingga seolah-olah ia tidak marah.
Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
… Dan apabila mereka marah segera memberi maaf. [asy-Syûrâ/42 : 37].
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. [Ali ‘Imrân/3 :
134].
Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk melakukan berbagai
sebab yang dapat menahan dan meredakan amarahnya. Dan beliau memuji
orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.
Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
meredam amarah adalah dengan mengucapkan: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .
Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu anhu, ia berkata:
Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba
ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya sambil marah,
wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui satu kalimat, jika
ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang ada padanya
(amarah). Seandainya ia mengucapkan,
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)". Para
sahabat berkata, "Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan
Rasulullah?" Laki-laki itu menjawab, "Aku bukan orang gila".[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ ۚ إِنَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah.
Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [al-A’râf/7 : 200].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah
untuk duduk atau berbaring. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ ، وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ.
Apabila seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia
duduk; apabila amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan
jika belum, hendaklah ia berbaring.[7]
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang
orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu
sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam.
Maksudnya ialah hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam
dirinya dan tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan
perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang
marah hendaklah ia diam, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ.
Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam. [8]
Ini juga merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang
sedang marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji,
melaknat, mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia
akan menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka
semua keburukan itu hilang darinya.
Menurut syari’at Islam bahwa orang yang kuat adalah orang yang mampu
melawan dan mengekang hawa nafsunya ketika marah. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
Orang yang kuat itu bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang
kuat ialah orang yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.[9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan
orang yang dapat menahan amarahnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُخَيِّرَهُ اللهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ مَا شَاءَ.
Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada hari
Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, kemudian
Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.[11]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang sahabatnya,
لاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ.
Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga.[12]
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu
sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya,
bisa jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia
diberi pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak
gangguan terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam
terhadap orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman
Allah Ta’ala berfirman:
قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ وَيُخْزِهِمْ
وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُؤْمِنِين َوَيُذْهِبْ
غَيْظَ قُلُوبِهِمْ
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu
(dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang
beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang Mukmin)…
[at-Taubah/9 : 14-15].
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
tidak balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang
diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup
menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu dan
wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan beliau
ketika berjihad di jalan Allah.
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya tentang akhlak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab, “Akhlak beliau adalah
Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan adab Al-Qur`ân,
berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena keridhaan Al-Qur`ân dan
marah karena kemarahan Al-Qur`ân.
Karena sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menghadapi siapa pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan
ketidaksukaan beliau terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan
dari Abu Sa’id al-Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau
melihat sesuatu yang dibencinya, kami mengetahuinya di wajah
beliau.”[14]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud
Radhiyallahu anhu tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak
dimaksudkan untuk mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat
bagi beliau, wajah beliau berubah, beliau marah, dan Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallamhanya bersabda:
لَقَدْ أُوْذِيَ مُوْسَى بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ.
Sungguh Musa disakiti dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar.[15]
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar
sesuatu yang membuat Allah murka, maka beliau marah karenanya,
menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk hidup
padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu bersabda,
“Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari Kiamat ialah
orang yang menggambar gambar-gambar ini.”[16]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam
yang shalat lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau
marah, bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh
meringankan shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17]
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di kiblat
masjid, beliau marah, mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika
salah seorang dari kalian berada dalam shalat, maka Allah ada di depan
wajahnya. Oleh karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan
wajahnya ketika shalat.”[18]
Diantara do’a yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambaca ialah:
أَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الْحَقِّ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَى.
Aku memohon kepada-Mu perkataan yang benar pada saat marah dan ridha.[19]
Ini sangat mulia, yaitu seorang hanya berkata benar ketika ia marah atau
ridha, karena sebagian manusia jika mereka marah , mereka tidak bisa
berhenti dari apa yang mereka katakan.
Dari Jabir , ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang laki-laki berada
di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat kemudian orang
Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah melaknatmu.’ Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang itu, ‘Turunlah
engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai kami dengan sesuatu
yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi diri
kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-anak kalian. Kalian
jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian. Tidaklah kalian berada
di satu waktu jika waktu tersebut permintaan diajukan, melainkan Allah
akan mengabulkan bagi kalian.”[20]
Ini semua menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika
bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang
berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya.
Seorang ulama Salaf rahimahullah berkata, ”Orang yang marah jika
penyebab marahnya adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan
perjalanan, atau penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia
tidak boleh dicela karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak
berdosa jika yang keluar darinya ketika ia marah ialah perkataan yang
mengandung hardik, caci-maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya aku hanyalah manusia,
aku ridha seperti ridhanya manusia dan aku marah seperti marahnya
manusia. Orang Muslim mana saja yang pernah aku caci dan aku cambuk,
maka aku menjadikannya sebagai penebus (dosa) baginya.”[21]
Sedang jika yang keluar dari orang yang marah adalah kekufuran,
kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil harta tanpa alasan yang benar,
dan lain sebagainya, maka orang Muslim tidak ragu bahwa orang marah
tersebut mendapat hukuman karena semua itu. Begitu juga jika yang keluar
dari orang yang marah adalah perceraian, pemerdekaan budak, dan sumpah,
ia dihukum karena itu semua tanpa ada perbedaan pendapat di
dalamnya.[22]
Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas bahwa seorang laki-laki
berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga ketika aku marah.” Maka
Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas tidak bisa menghalalkan
untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu, engkau telah mendurhakai
kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan istrimu atas dirimu
sendiri.”[23]
Diriwayatkan dengan shahih dari banyak Sahabat bahwa mereka berfatwa
sesungguhnya sumpah orang yang marah itu sah dan di dalamnya terdapat
kaffarat.
Al-Hasan rahimahullah berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami
mentalaq istrinya dengan talaq satu dalam keadaan suci dan tidak
digauli. Suami mempunyai hak pilih antara masa tersebut dengan istrinya
selama tiga kali haidh. Jika ia ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak
melakukannya. Jika ia marah, istrinya menunggu tiga kali haidh atau tiga
bulan jika ia tidak haidh agar marahnya hilang.” Al-Hasan rahimahullah
berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak seorang pun menyesal dalam
perceraiannya seperti yang diperintahkan Allah.” Diriwayatkan oleh
al-Qadhi Isma’il.[24]
BAGAIMANA MENGOBATI AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK?
Orang yang marah hendaklah melakukan hal-hal berikut:
1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan dengan membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.
2. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik, berdzikir, dan istighfar.
3. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
4. Dianjurkan berwudhu’.[25]
5. Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk,
dan apabila marah dalam keadaan duduk hendaklah berbaring.
6. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
7. Berikan hak badan untuk beristirahat.
8. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
9. Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.
FAWA`ID HADITS
1. Semangatnya para Sahabat untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka.
2. Dianjurkan memberikan nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya.
3. Seorang muslim harus mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan Sunnah.
4. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak.
5. Larangan dari marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!”
Sebab, amarah dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila
seseorang berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya.
6. Agama Islam melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah berakhlak yang baik.
7. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
8. Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang mukmin.
9. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
10. Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
11. Marah yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah,
untuk membela kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak
merusak.
12. Sabar dan pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan.
13. Apabila seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari
godaan setan yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas
tentang obat meredam amarah.
Maraaji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Ausath lith-Thabrani.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
5. Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilali.
6. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
7. Kutubus Sab’ah.
8. Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
9. Mustadrak al-Hakim.
10. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan.
11. Shahiih al-Jâmi’ish Shaghîr.
12. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibban.
13. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb.
14. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
15. Sunan ad-Darimi.
16. Sunan al-Baihaqi.
17. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Fat-hul Bâri, X/520.
[2]. Lihat juga QS. Thâhaa ayat 81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13.
[3]. HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435), Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no.
2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no. 6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu
Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i dalam As-Sunanul-Kubra (no.
11222).
[4]. Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150.
[5]. Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048, 6115), Muslim (no. 2610).
Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila” silakan lihat Fat-hul Bâri
(X/467).
[7]. Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[8]. Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri dalam al-Adabul
Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr) dari Sahabat
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Hadits ini dishahîhkan oleh Syaikh
al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan Silsilah
al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375).
[9]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[10]. Lihat Fat-hul-Bâri (X/518).
[11]. Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no.
2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani
Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522).
[12]. Shahîh. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari
Sahabat Abu Darda Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni
dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb
wat-Tarhîb (no. 2749).
[13]. Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188, 216),
an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi
(I/345-346).
[14]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320).
[15]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062).
[16]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)).
[17]. Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu anhu.
[18]. Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no. 406,
753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-Nasâ`i
(II/51) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Diriwayatkan pula oleh
al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan
Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[19]. Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban
(no. 1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhuma
[20]. Shahîh. HR. Muslim (no. 3009).
[21]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361), Muslim (no. 2601), dan Ibnu
Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.
[23]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/375).
[24]. Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-14, no. 3862).
[25]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377.
Ada riwayat tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.
0 komentar:
Posting Komentar