TAUHID DAN BAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA, DUA SAYAP YANG HARUS SALING BERSANDING
Hak kedua orang tua atas anak-anak mereka sangat agung. Karena itu,
Allah menyandingkan perintah untuk beribadah kepadaNya dengan keharusan
berbakti kepada mereka berdua. Allah berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu. [Al Isra`: 23].
Lantaran begitu tingginya hak mereka, Allah memerintahkan kita untuk
selalu menyuguhkan kebaikan kepada mereka dan berinteraksi dengan mereka
dengan sikap yang ma'ruf (pantas). Kendatipun mereka dalam kungkungan
kekafiran. Sekalipun mereka memaksamu, wahai sang anak, untuk
menyekutukan Allah dengan obyek yang tidak jelas kedudukannya. Allah
berfirman:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَى أَن تُشْرِكَ بِي مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentangnya, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya dan pergauilah kedunya dengan baik". [Luqman: 15].
Saking besarnya martabat mereka dipandang dari kacamata syari'at, Nabi
mengutamakan bakti kepada mereka atas jihad fi sabilillah. Ibnu Mas'ud
berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ
قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah,"Amalan apakah yang paling
dicintai Allah?" Beliau menjawab,"Mendirikan shalat pada waktunya." Aku
bertanya kembali,"Kemudian apa?" Jawab Beliau,"Berbakti kepada ke orang
tua," lanjut Beliau. Aku bertanya lagi,"Kemudian?" Beliau
menjawab,"Jihad di jalan Allah." [HR Bukhari no. 5.970].
Perlu dipahami, perintah berbakti kepada Allah merupakan titah ilahi yang sudah berlaku pada umat sebelumnya. Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِى إِسْرَاءِيلَ لاَ تَعْبُدُونَ إِلاَّ
اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):
"Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu
bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang miskin… [Al Baqarah:83].
Demikian juga Allah menyanjung para nabi karena telah berbuat baik
dengan baktinya kepada orang tua. Secara khusus, Allah menyebut nama
Nabi Yahya atas baktinya kepada kedua orang tuanya yang telah tua renta.
Dan bakti akan bernilai lebih tinggi, tatkala dilaksanakan dalam waktu
yang dibutuhkan. Masa tua dengan segala problematikanya adalah masa yang
sangat membutuhkan perhatian ekstra, terutama dari orang terdekat,
anak-anaknya. Allah berfirman:
وَبَرَّا بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا
Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. [Maryam:14].
Begitu pula Allah memuji Nabi Isa, lantaran beliau telah melayani sang
ibu dengan sepenuh hati, dan bahkan merasa mendapat kehormatan dengan
sikapnya itu. Allah berfirman:
وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا
Dan berbakti kepada ibuku dan Dia (Allah) tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. [Maryam:32].
NILAI POSITIF BAKTI KEPADA ORANG TUA
Berbakti kepada orang tua, akan melahirkan banyak kebaikan; terangkatnya
musibah, lenyapnya masalah dan kesedihan. Sebagai bukti konkretnya,
yaitu kisah tiga orang yang terperangkap di sebuah goa sempit karena
sebongkah batu besar menutupi mulut goa. Mereka berdo'a dan bertawasul
dengan amal shalih yang pernah mereka kerjakan. Salah seorang di antara
tiga orang itu, bertawassul dengan baktinya kepada kedua orang tua. Dia
memanjatkan do'a kepada Allah, dengan lantaran baktinya tersebut, hingga
akhirnya menjadi sebab sirnanya kesengsaraan yang menghimpit. Dalam
kisah nyata ini, seorang mukmin meyakini bahwa bakti kepada orang tua,
menjadi salah satu faktor hilangnya musibah.
Berbakti kepada orang tua juga akan menggoreskan kenangan kebaikan di
benak anak-anaknya. Sehingga anak-anak juga akan menjadi insan-insan
yang berbakti kepadanya, sebagai balasan baik dari budinya kepada ayah
bundanya dahulu. Sebab, al jaza` min jinsil 'amal, balasan yang diterima
oleh seseorang sejenis dengan apa yang dahulu pernah ia kerjakan.
Sedangkan balasan akhiratnya, ialah syurga, yang luasnya seluas langit
dan bumi. Dikisahkan dari Mua'wiyah bin Jahimah, ia bercerita: Aku
bersama Nabi untuk meminta pertimbangan dalam berjihad. Maka Beliau
bertanya,"Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" Aku jawab,"Ya (masih
hidup)!" Beliau berkata,"Temanilah mereka berdua. Sesungguhnya syurga
berada di bawah telapak kaki keduanya." [Shahih At Targhib Wat Tarhib].
KEHARUSAN BERBAKTI KEPADA ORANG TUA SEPANJANG MASA
Bagaimana saya harus berbakti kepada orang tua? Mungkin pertanyaan ini
pernah mengganggu dan membingungkan kita. Dalam masalah ini, sebenarnya
Al Quran telah memaparkannya secara gamblang melalui ayat (artinya):
"Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua". [Al Isra`: 23].
Saat menafsirkan ayat di atas, Syaikh As Sa'di menyatakan: "Berbuat
baiklah kepada mereka berdua dengan seluruh jenis kebaikan, baik dengan
ucapan maupun tindakan". Pasalnya, perintah dalam ayat itu dengan
kalimat yang menunjukkan keumuman, sehingga mencakup seluruh jenis
kebaikan, disenangi anak ataupun tidak, tanpa perdebatan, membantah atau
berat hati. Perkara ini harus benar-benar diperhatikan. Sebab, sebagian
orang melalaikannya. Mereka mengira, berbakti kepada orang tua hanya
terbatas dengan melakukan apa yang disenangi anak saja. Padahal, hakikat
berbakti tidak sekadar seperti itu. Bakti yang sejati tercermin dengan
ketaatan anak kepada perintah orang tua meskipun tidak sejalan dengan
keinginan sang anak.
Ada beberapa syarat yang menjadikan perbuatan baik seorang anak
terhitung sebagai bakti kepada kedua orang tuanya. Pertama, mengutamakan
ridho kedua orang tua di atas kepentingan pribadi, ridha istri, anak
dan orang lainnya. Kedua, mentaati kedua orang tua dalam masalah
perintah dan larangan mereka, baik sesuai dengan keinginan anak ataupun
berlawanan dengan keinginannya, selama tidak ada aturan syar'i yang
dilanggar. Ketiga, dengan perasaan senang sepenuh hati memiliki
inisiatif untuk memberi kepada kedua orang tua, sesuatu yang sekiranya
mereka inginkan, meskipun tidak diminta. Juga, tetap memiliki anggapan
bahwa apa yang diberikannya kepada orang tua, masih tidak ada artinya
dibadingkan dengan jasa besar mereka.
Termasuk amalan yang baik buat orang tua, yaitu mendakwahi mereka agar
masuk Islam atau mendakwahi mereka kepada ketaatan dan meninggalkan
maksiat. Inilah kebaikan yang tertinggi nilainya. Sebab, ajakan ini akan
menyelamatkan mereka dari siksa Allah. Meski demikian, semestinya harus
dengan cara lembut dan santun, sebagaimana diceritakan Allah tentang
Nabi Ibrahim ketika mendakwahi ayahnya.
Bakti Nabi Ibrahim kepada ayahnya telah sampai titik klimaks. Ayahnya
diseru menuju syurga, namun sang ayah justru menyerunya menuju neraka.
Nabi Ibrahim mendakwahi ayahnya agar beribadah kepada Allah semata,
justru ia mendakwahi supaya Nabi Ibrahim menyembah berhala-berhala. Sang
bapak marah dan mengancam seperti dikisahkan Allah Ta'ala, (artinya):
Apakah engkau benci kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim. Jika kamu tidak
berhenti, niscaya kamu akan kurajam. Dan tinggalkanlah aku buat waktu
yang lama. (Maryam:46). Nabi Ibrahim meresponnya secara lemah-lembut
dengan berkata sebagaimana dalam ayat, (artinya): Ibrahim berkata:
"Semoga keselamatan bersamamu. Aku akan memohonkan ampun kepada Rabb-ku
untukmu". [Maryam: 47].
Allah membalas sikap luhurnya kepada ayah dengan karunia anak, Isma'il
yang sangat taat kepada orang tuanya, meskipun harus mempertaruhkan
nyawanya dalam kisah penyembelihan yang sudah kita ketahui bersama.
Berbakti kepada orang tua tidak berhenti, meskipun kematian telah
menjemput mereka. Masih ada sekian banyak cara yang harus ditempuh untuk
meneruskan bakti kepada orang tua yang sudah tiada. Dasarnya, yaitu
hadits Anas bin Malik As Sa'idi, ia berkata:
بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا
بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا
وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا َصِلَةَ لَكَ
إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فهو الذي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ
مَوْتِهِمَا
Saat aku duduk bersama Rasulullah, tiba-tiba ada seorang lelaki dari
kaum Anshar yang datang dan bertanya: "Wahai, Rasulullah! Apakah masih
ada (perkara) yang tersisa yang menjadi tanggung jawabku berkaitan
dengan bakti kepada orang tuaku setelah mereka berdua meninggal yang
masih bisa aku lakukan?” Nabi menjawab: "Betul. (Yaitu) ada empat hal:
engkau do’akan dan mintakan ampunan bagi mereka, melaksanakan janji
mereka, serta memuliakan sahabat-sahabat mereka, juga menyambung tali
silaturahmi dengan orang yang ada hubungannya dengan ayah ibu. Inilah
(kewajiban) yang masih tersisa dalam berbakti kepada orang tuamu setelah
mereka meninggal". [HR Abu Dawud dan Ahmad].
Karena itu, Allah meninggikan kedudukan orang tua lantaran istighfar
anak buat mereka. Terlah diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَنَّى لِيْ هَذَا فَيُقَالُ بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
Ada seorang lelaki yang kedudukannya terangkat di syurga kelak.” Ia pun
bertanya,”Bagaimana ini?” Maka dijawab: "Lantaran istighfar anakmu.
IBUMU, BERILAH PERHATIAN LEBIH!
Seorang ibu menempati kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan
berbanding tiga dari kedudukan sang ayah. Dalam suatu riwayat disebutkan
ada sahabat yang bertanya kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ
أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Wahai Rasulullah, Siapa orang yang harus aku berbakti kepadanya?" Beliau
menjawab,"Ibumu." Aku bertanya lagi,"Kemudian siapa?" Beliau
menjawab,"Ibumu." Aku bertanya,"Kemudian siapa?" Beliau
menjawab,"Ibumu." Aku bertanya,"Kemudian siapa?" Beliau
menjawab,"Ayahmu." [HR Bukhari no. 5.971].
'Atha bin Yasar meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, bahwa ada lelaki yang
mengadukan: "Aku meminang wanita, tetapi ia menolakku. Dan ada lelaki
lain meminangnya, dan wanita itu menginginkannya. Aku pun cemburu, dan
aku bunuh dia. Apakah aku masih punya kesempatan bertaubat?" Ibnu 'Abbas
bertanya: "Apakah ibumu masih hidup?" Jawabnya,"Tidak." (Ibnu Abbas pun
berkata): "Kalau begitu, bertaubatlah kepada Allah dan berbuat baiklah
sebisamu." Aku bertanya kepada 'Ibnu 'Abbas : "Mengapa engkau bertanya
tentang ibunya?" Ia menjawab,"Aku tidak mengetahui ada amalan yang lebih
mendekatkan diri kepada Allah melebihi bakti kepada ibu." [Shahihah,
2.799].
Seorang wanita atau ibu, lantaran beratnya kehidupan yang ia jalani
bersama anaknya, sejak berada di rahimnya sampai sang anak tumbuh
menjadi manusia remaja. Ditambah lagi, wanita mempunyai perasaan yang
sangat sensitif dibandingkan sang ayah, maka kondisi ini menuntut
komunikasi dengan tutur kata yang baik demi terjaganya perasaan sang
ibu. Oleh karenanya, perhatian secara khusus sudah sepantasnya diberikan
kepada seorang sang ibu.
ANCAMAN DURHAKA KEPADA ORANG TUA
Wahai saudaraku, Rasulullah menghubungkan kedurhakaan kepada kedua orang
tua dengan berbuat syirik kepada Allah. Dalam hadits Abi Bakrah, Beliau
bersabda:
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
Maukah kalian aku beritahukan dosa yang paling besar?" Para sahabat
menjawab,"Tentu." Nabi bersabda,"(Yaitu) berbuat syirik, durhaka kepada
orang tua." [HR Bukhari no. 5.975].
Dalam sebuah hadits, Rasulullah memberikan peringatan: "Setiap dosa,
Allah akan menunda (hukumannya) sesuai dengan kehendakNya pada hari
Kiamat, kecuali durhaka kepada orang tua. Sesungguhnya orangnya akan
dipercepat (hukumannya sebelum hari Kiamat)." [HR Bukhari]
Membuat menangis orang tua juga terhitung sebagai perbuatan durhaka.
Tangisan mereka berarti terkoyaknya hati, oleh polah sang anak.
Ibnu 'Umar pernah menegaskan: "Tangisan kedua orang tua termasuk
kedurhakaan dan dosa besar". [HR Bukhari, Adabul Mufrad hlm. 31. Lihat
Ash Shahihah, 2.898].
Bagaimana tidak disebut sebagai kedurhakaan? Bukankah ucapan "uh" atau
"ah" dilarang dilontarkan kepada mereka berdua? Allah berfirman,
(artinya): Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ahh" dan janganlah kamu membentak
mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al Isra`:
23). Maksudnya, seperti dipaparkan Ibnu Katsir, jika mereka telah
memasuki usia saat kekuataan melemah dan memerlukan perlakuan yang baik,
maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka "ah". Ini adalah sikap
menyakitkan yang paling ringan, sebagai petunjuk atas sikap menyakiti
lainnya yang lebih besar. Maknanya, janganlah kalian menyakiti mereka
dengan sesuatu apapun, meskipun kecil.
Dalam hadits lain, Nabi bersabda: Kalau Allah mengetahui sikap
menyakitkan orang tua yang lebih rendah dari kata "ah", niscaya akan
melarangnya. Orang yang durhaka hendaknya berbuat apa saja, namun ia
tidak akan masuk syurga. Dan anak yang berbakti hendaknya berbuat apa
saja, tidak akan masuk neraka".
Menurut Syaikh As Sa'di kedurhakaan terbagi dua. Pertama, sengaja
bersikap buruk kepada orang tua, dan ini dosanya lebih besar. Kedua,
sikap tidak mau berbuat baik kepada keduanya tanpa ada unsur menyakiti.
Ini tetap haram, tetapi tidak seperti yang pertama.
SURAT DARI IBU YANG TERKOYAK HATINYA
Anakku, ini surat dari ibu yang tersayat hatinya. Linangan air mata
bertetesan deras menyertai tersusunnya tulisan ini. Aku lihat engkau
lelaki yang gagah lagi matang. Bacalah surat ini. Dan kau boleh
merobek-robeknya setelah itu, seperti saat engkau meremukkan kalbuku
sebelumnya.
Sejak dokter mengabari tentang kehamilan, aku berbahagia. Ibu-ibu sangat
memahami makna ini dengan baik. Awal kegembiraan dan sekaligus
perubahan psikis dan fisik.
Sembilan bulan aku mengandungmu. Seluruh aktivitas aku jalani dengan
susah payah karena kandunganku. Meski begitu, tidak mengurangi
kebahagianku. Kesengsaraan yang tiada hentinya, bahkan kematian kulihat
di depan mataku saat aku melahirkanmu. Jeritan tangismu meneteskan air
mata kegembiraan kami.
Berikutnya, aku layaknya pelayan yang tidak pernah istirahat.
Kepenatanku demi kesehatanmu. Kegelisahanku demi kebaikanmu. Harapanku
hanya ingin melihat senyum sehatmu dan permintaanmu kepada ibu untuk
membuatkan sesuatu.
Masa remaja pun engkau masuki. Kejantananmu semakin terlihat. Aku pun
berikhtiar untuk mencarikan gadis yang ingin mendampingi hidupmu.
Kemudian tibalah saat engkau menikah. Hatiku sedih atas kepergianmu,
namun aku tetap bahagia lantaran engkau menempuh hidup baru.
Seiring perjalanan waktu, aku merasa engkau bukan anakku yang dulu.
Hakku telah terlupakan. Sudah sekian lama aku tidak bersua, meski
melalui telepon. Ibu tidak menuntut macam-macam. Sebulan sekali,
jadikanlah ibumu ini sebagai persinggahan, meski hanya beberapa menit
saja untuk melihat anakku.
Ibu sekarang sudah sangat lemah. Punggung sudah membungkuk, gemetar
sering melecut tubuh dan berbagai penyakit tak bosan-bosan singgah
kepadaku. Ibu semakin susah melakukan gerakan.
Anakku, seandainya ada yang berbuat baik kepadamu, niscaya ibu akan
berterima kasih kepadanya. Sementara ibu telah sekian lama berbuat baik
kepada dirimu. Manakah balasan dan terima kasihmu pada ibu? Apakah
engkau sudah kehabisan rasa kasihmu pada ibu?
Ibu bertanya-tanya, dosa apa yang menyebabkan dirimu enggan melihat dan
mengunjungi ibu? Baiklah, anggap ibu sebagai pembantu, mana upah ibu
selama ini? Anakku, ibu hanya ingin melihatmu saja. Lain tidak. Kapan
hatimu memelas dan luluh untuk wanita tua yang sudah lemah ini dan
dirundung kerinduan, sekaligus duka dan kesedihan? Ibu tidak tega untuk
mengadukan kondisi ini kepada Dzat yang di atas sana. Ibu juga tidak
akan menularkan kepedihan ini kepada orang lain. Sebab, ini akan
menyeretmu kepada kedurhakaan. Musibah dan hukuman pun akan menimpamu di
dunia ini sebelum di akhirat. Ibu tidak akan sampai hati melakukannya.
Anakku, bagaimanapun engkau masih buah hatiku, bunga kehidupan dan
cahaya duniaku.
Anakku, perjalanan tahun akan menumbuhkan uban di kepalamu. Dan balasan
berasal dari jenis amalan yang dikerjakan. Nantinya, engkau akan menulis
surat kepada keturunanmu dengan linangan air mata seperti yang ibu
alami. Di sisi Allah, kelak akan berhimpun sekian banyak orang-orang
yang menggugat. Anakku, takutlah kepada Allah karena kedurhakaanmu
kepada ibu. Sekalah airmataku, ringankanlah beban kesedihanku.
Terserahlah kepadamu jika engkau ingin merobek-robek surat ini.
Ketahuilah, barangsiapa beramal shalih maka itu buat dirinya sendiri.
Dan orang yang berbuat jelek, maka itu (juga) menjadi tanggungannya
sendiri.
Anakku, ingatlah saat engkau berada di perut ibu. Ingat pula saat
persalinan yang sangat menegangkan. Ibu merasa dalam kondisi hidup atau
mati. Darah persalinan, itulah nyawa ibu. Ingatlah saat engkau menyusui.
Ingatlah belaian sayang dan kelelahan ibu saat engkau sakit. Ingatlah…
ingatlah…. Karena itu, Allah menegaskan dengan wasiat: "Wahai, Rabb-ku,
sayangilah mereka berdua seperti mereka menyayangiku waktu aku kecil".
Anakku, Allah berfirman (artinya): Dan dalam kisah-kisah mereka terdapat
pelajaran bagi orang-orang berakal. ( Yusuf : 111). Pandanglah masa
teladan dalam Islam, masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih
hidup, supaya engkau memperoleh potret bakti anak kepada orang tua.
Sahabat Abu Hurairah sempat gelisah karena ibunya masih dalam jeratan
kekufuran. Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abu Hurairah, ia
bercerita:
كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فَدَعَوْتُهَا
يَوْمًا فَأَسْمَعَتْنِي فِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَا أَكْرَهُ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
كُنْتُ أَدْعُو أُمِّي إِلَى الْإِسْلَامِ فَتَأْبَى عَلَيَّ فَدَعَوْتُهَا
الْيَوْمَ فَأَسْمَعَتْنِي فِيكَ مَا أَكْرَهُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ
يَهْدِيَ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَخَرَجْتُ
مُسْتَبْشِرًا بِدَعْوَةِ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَلَمَّا جِئْتُ فَصِرْتُ إِلَى الْبَابِ فَإِذَا هُوَ مُجَافٌ
فَسَمِعَتْ أُمِّي خَشْفَ قَدَمَيَّ فَقَالَتْ مَكَانَكَ يَا أَبَا
هُرَيْرَةَ وَسَمِعْتُ خَضْخَضَةَ الْمَاءِ قَالَ فَاغْتَسَلَتْ وَلَبِسَتْ
دِرْعَهَا وَعَجِلَتْ عَنْ خِمَارِهَا فَفَتَحَتْ الْبَابَ ثُمَّ قَالَتْ
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ وَأَنَا أَبْكِي
مِنْ الْفَرَحِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَبْشِرْ قَدْ اسْتَجَابَ
اللَّهُ دَعْوَتَكَ وَهَدَى أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ فَحَمِدَ اللَّهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ خَيْرًا
Aku mendakwahi ibuku agar masuk Islam. Suatu hari aku mengajaknya untuk
masuk Islam, tetapi dia malah mengeluarkan pernyataan tentang Nabi yang
aku benci. Aku (pun) menemui Rasulullah dalam keadaan menangis. Aku
mengadu: "Wahai Rasulullah, aku telah membujuk ibuku untuk masuk Islam,
namun dia menolakku. Hari ini, dia berkomentar tentang dirimu yang aku
benci. Mohonlah kepada Allah supaya memberi hidayah ibu Abu Hurairah."
Rasulullah bersabda: "Ya, Allah. Tunjukilah ibu Abu Hurairah." Aku
keluar dengan hati riang karena do'a Nabi. Ketika aku pulang dan
mendekati pintu, maka ternyata pintu terbuka. Ibuku mendengar kakiku dan
berkata: "Tetap di situ Abu Hurairah." Aku mendengar kucuran air. Ibu
ku sedang mandi dan kemudian mengenakan pakaiannya serta menutup
wajahnya, dan kemudian membuka pintu. Dan ia berkata: "Wahai, Abu
Hurairah! Asyhadu an Laa ilaaha Illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan
'abduhu warasuluhu." Aku kembali ke tempat Rasulullah dengan menangis
gembira. Aku berkata,"Wahai, Rasulullah. Bergembiralah. Allah telah
mengabulkan do'amu dan menunjuki ibuku." Maka Beliau memuji Allah dan
menyanjungNya serta berkomentar baik. [HR Muslim].
Ibnu 'Umar pernah melihat lelaki menggendong ibunya dalam thawaf. Ia
bertanya: "Apakah ini sudah melunasi jasanya (padaku), wahai Ibnu
'Umar?" Beliau menjawab: "Tidak, meski hanya satu jeritan kesakitannya
(saat bersalin)."
Zainal 'Abidin, adalah seseorang yang terkenal baktinya kepada ibu.
Orang-orang keheranan kepada, (dan berkata): "Engkau adalah orang yang
paling berbakti kepada ibu. Mengapa kami tidak pernah melihatmu makan
berdua dengannya dalam satu talam?" Ia menjawab,"Aku khawatir, tanganku
mengambil sesuatu yang dilirik matanya, sehingga aku durhaka kepadanya."
Sebelumnya, kisah yang lebih mengharukan terjadi pada diri Uwais Al
Qarni, orang yang sudah beriman pada masa Nabi, sudah berangan-angan
untuk berhijrah ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi. Namun perhatiannya
kepada ibunya telah menunda tekadnya berhijrah. Ia ingin bisa meraih
syurga dan berteman dengan Nabi dengan baktinya kepada ibu, kendatipun
harus kehilangan kemuliaan menjadi sahabat Beliau di dunia.
Dalam Shahih Muslim, dari Usair bin Jabir, ia berkata: Bila rombongan
dari Yaman datang, Umar bin Khaththab bertanya kepada mereka: "Apakah
Uwais bin 'Amir bersama kalian?" Sampai akhirnya menemui Uwais. Umar
bertanya,"Engkau Uwais bin 'Amir?" Ia menjawab,"Benar." 'Umar
bertanya,"Engkau dari Murad kemudian beralih ke Qarn?" Ia
menjawab,"Benar". Umar bertanya,"Apakah engkau dulu pernah sakit lepra
dan sembuh, kecuali kulit yang sebesar uang dirham?" Ia
menjawab,"Benar." 'Umar bertanya,"Engkau punya ibu?" Ia
menjawab,"Benar." Umar (pun) mulai bercerita,"Aku mendengar Rasulullah
bersabda,'Akan datang pada kalian Uwais bin 'Amir bersama rombongan
penduduk Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qarn. Ia pernah
tertimpa lepra dan sembuh total, kecuali kulit yang sebesar logam
dirham. Ia mempunyai ibu yang sangat dihormatinya. Seandainya ia
bersumpah atas nama Allah, niscaya aku hormati sumpahnya. Mintalah ia
beristighfar untukmu jika bertemu'." (Umar berkata),"Tolong mintakan
ampun (kepada Allah) untukku," maka ia memohonkan ampunan untukku. Umar
bertanya,"Kemana engkau akan pergi?" Ia menjawab,"Kufah." Umar
berkata,"Maukah engkau jika aku menulis (rekomendasi) untukmu ke
gubernurnya (Kufah)?" Ia menjawab,"Aku lebih suka bersama orang yang
tidak dikenal."
Kisah lainnya tentang bakti kepada ibu, yaitu Abdullah bin 'Aun pernah
memanggil ibunya dengan suara keras, maka ia memerdekakan dua budak
sebagai tanda penyesalannya.
KISAH KEDURHAKAAN KEPADA ORANG TUA
Diceritakan ada lelaki yang sangat durhaka kepada sang ayah sampai tega
menyeret ayahnya ke pintu depan untuk mengusirnya dari rumah. Sang ayah
ini dikarunia anak yang lebih durhaka darinya. Anak itu menyeret
bapaknya sampai ke jalanan untuk mengusirnya dari rumahnya. Maka sang
bapak berkata: "Cukup. Dulu aku hanya menyeret ayahku sampai pintu
depan." Sang anak menimpali: "Itulah balasanmu. Adapun tambahan ini
sebagai sedekah dariku!"
Kisah perih lainnya, seorang ibu yang mengisahkan kepedihannya: "Suatu
hari istri anakku meminta suaminya (anakku) agar menempatkanku di
ruangan yang terpisah, berada di luar rumah. Tanpa ragu-ragu, anakku
menyetujuinya. Saat musim dingin yang sangat menusuk, aku berusaha masuk
ke dalam rumah, tapi pintu-pintu terkunci rapat. Rasa dingin pun
menusuk tubuhku. Kondisiku semakin buruk. Anakku ingin membawaku ke
suatu tempat. Perkiraanku ke rumah sakit, tetapi ternyata ia
mencampakkanku ke panti jompo. Dan setelah itu tidak pernah lagi
menemuiku."
Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa bakti kepada orang tua
merupakan jalan lempang dan mulia yang mengantarkan seorang anak menuju
syurga Allah. Sebaliknya, kedurhakaan kepada mereka, bisa menyeret sang
anak menuju lembah kehinaan, neraka.
Hati-hatilah, durhaka kepada orang tua, dosanya besar dan balasannya
menyakitkan. Nabi n bersabda,"Akan terhina, akan terhina dan akan
terhina!" Para sahabat bertanya,"Wahai, Rasulullah. Siapakah gerangan?"
Beliau bersabda,"Orang yang mendapati orang tuanya, atau salah satunya
pada hari tuanya, namun ia (tetap) masuk neraka." [R Muslim].
(Diadaptasi dari ‘Idatush Shabirin karya Abdullah bin Ibrahim Al
Qar’awi, Cetakan III, Penerbit Dar Tharafain, Tahun 1421H dan Ilzam
Rijlaha Fatsamma Al Jannah, karya Shalih bin Rasyid Al Huwaimil,
Penerbit Dar Ibnu Atsir, Cetakan I, Tahun 1422H)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun VIII/1426H/2005.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
0 komentar:
Posting Komentar