Oleh: Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn
Marilah kita bertakwa kepada Allah. Kita laksanakan kewajiban yang telah
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, yaitu berupa hak-hak-Nya dan
hak para hamba-Nya. Dan ketahuilah, hak manusia yang paling besar atas
diri kalian ialah hak kedua orang tua dan karib kerabat. Allah
menyebutkan hak tersebut berada pada tingkatan setelah hak-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وا عبدوا الله ولأ تشر كوا به شيئا وبااولدين احسنا
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa ... "
[an-Nisâ`/4:36].
Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman dalam surat Luqmân/31 ayat 14:
وو صينا الأنسن بو لد يه
"(Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya, ...)"
Selanjutnya Allah menyebutkan alasan perintah ini, yaitu:
حملته أمه وهنا على وهن
"(ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah)".
Yakni keadaan lemah dan berat ketika mengandung, melahirkan, mengasuh dan menyusuinya sebelum kemudian menyapihnya.
Kemudian Allah berfirman:
وفصله فى عا مين أن اشكر لى ولو لد يك الى المصير
"(dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu)".
Nabi telah menjadikan bakti kepada orang tua lebih diutamakan daripada
berjihad di jalan Allah. Disebutkan dalam shahîhaian dari 'Abdullâh bin
Mas'ûd, ia berkata:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ
قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ
"Aku bertanya kepada Nabi; "Amalan apakah yang paling utama?" Beliau
menjawab,"Shalat pada waktunya." Aku bertanya lagi: "Kemudian apa lagi?"
Beliau menjawab,”Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi:
”Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab,”Berjihad di jalan Allah.”
Dikisahkan dalam kitab Shahîh Muslim, bahwa ada seseorang datang kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seraya berkata: "Aku berbaiat
kepadamu untuk berhijrah dan berjihad di jalan Allah. Aku mengharap
pahala dari Allah.” Beliau bertanya,”Apakah salah satu dari kedua orang
tuamu masih hidup?” Ia menjawab,"Ya, bahkan keduanya masih hidup,”
beliau bersabda,”Engkau mencari pahala dari Allah?” Ia menjawab,”Ya."
beliau bersabda,"Pulanglah kepada kedua orang tuamu, kemudian
perbaikilah pergaulanmu dengan mereka."
Disebutkan dalam sebuah hadits dengan sanad jayyid (bagus), ada
seseorang berkata kepada Nabi : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku
ingin berjihad namun aku tidak mampu melakukannya". Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bertanya: "Apakah salah satu dari kedua orang tuamu
masih ada?" Ia menjawab,"Ya, ibuku," beliau bersabda: "Temuilah Allah
dalam keadaan berbakti kepada kedua orang tuamu. Apabila engkau
melakukannya, maka berarti engkau telah berhaji, berumrah dan berjihad".
Allah Subhanhu wa Ta'ala juga telah berwasiat supaya berbuat baik kepada
kedua orang tua di dunia walaupun keduanya kafir. Akan tetapi, apabila
keduanya menyuruh untuk berbuat kufur maka sang anak tidak boleh menaati
perintah kufur ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah
kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan".[Luqmân/31:15].
Disebutkan dalam kitab shahîhain, dari Asmâ' binti Abu Bakar
Radhiyallahu 'anha, ia menceritakan ketika ibunya datang menyambung
silaturrahmi dengannya padahal si ibu masih dalam keadaan musyrik.
Asmâ' Radhiyallahu 'anha bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
"Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku ingin (menyambung hubungan
dengan putrinya, Asmâ'), apakah aku boleh menyambung hubungan kembali
dengan ibuku". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Ya,
sambunglah."
Cara berbakti kepada kedua orang tua, ialah dengan mencurahkan kebaikan, baik dengan perkataan, perbuatan, ataupun harta.
Berbuat baik dengan perkataan, yaitu kita bertutur kata kepada keduanya
dengan lemah lembut, menggunakan kata-kata yang baik dan menunjukan
kelembutan serta penghormatan.
Berbuat baik dengan perbuatan, yaitu melayani keduanya dengan tenaga
yang mampu kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, membantu
dan mempermudah urusan-urusan keduanya. Tentu, tanpa membahayakan agama
ataupun dunia kita. Allah Mahamengetahui segala hal yang sekiranya
membahayakan. Sehingga kita jangan berpura-pura mengatakan sesuatu itu
berbahaya bagi diri kita padahal tidak, sehingga kitapun berbuat durhaka
kepada keduanya dalam hal itu.
Berbuat baik dengan harta, yaitu dengan memberikan setiap yang kita
miliki untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh keduanya, berbuat
baik, berlapang dada dan tidak mengungkit-ungkit pemberian sehingga
menyakiti perasaan ibu bapak.
Dan ketahuilah, para jama'ah Jum'at rahimakumullah.
Berbakti kepada kedua orang tua tidak hanya dilakukan tatkala keduanya
masih hidup. Namun tetap dilakukan manakala keduanya telah meninggal
dunia. Ada sebuah kisah, yaitu seseorang dari Bani Salamah mendatangi
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا
بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا
وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ
صَدِيقِهِمَا
"Wahai Rasulullah, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang
tuaku setelah keduanya meninggal?" Beliau menjawab,"Ya, dengan
mendoakannya, memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat),
menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan
mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya". [HR Abu Dawud].
Allâhu Akbar! Demikianlah jama'ah Jum'at, betapa luas cakupan berbakti
kepada kedua orang tua, bahkan termasuk di dalamnya keharusan memuliakan
dan menyambung silaturahmi kepada teman kerabat.
Disebutkan dalam kitab Shahîh Muslim, dari 'Abdullâh bin 'Umar bin Khatthâb Radhiyallahu 'anhu :
"Suatu hari beliau Radhiyallahu 'anhu berjalan di kota Makkah dengan
mengendarai keledai yang biasa beliau Radhiyallahu 'anhu gunakan
bersantai jika bosan mengendarai unta. Lalu di dekat beliau lewatlah
seorang Arab Badui. Lantas 'Abdullah bin 'Umar pun bertanya
kepadanya:”Benarkah engkau Fulan bin Fulan?” Ia menjawab,”Ya,” kemudian
'Abdullah bin 'Umar memberikan keledainya kepada orang itu sambil
berkata,”Naikilah keledai ini.” Beliau juga memberikan sorban yang
mengikat di kepalanya seraya berkata,”Ikatlah kepalamu dengan sorban
ini,” maka sebagian sahabatnya berkata,”Semoga Allah mengampunimu.
Mengapa engkau memberikan keledai kendaraan santaimu dan sorban ikat
kepalamu kepada orang itu?” Maka 'Ibnu 'Umar menjawab: ”Orang ini,
dahulu adalah teman 'Umar (bapakku), dan aku pernah mendengar Rasulullah
berkata,'Sesungguhnya bakti yang terbaik, ialah tetap menyambung
hubungan keluarga ayahnya".
Pada khutbah pertama, telah kami sampaikan penjelasan mengenai kedudukan
berbakti kepada orang tua dan keagungan martabatnya. Adapun balasan
berbakti ini ialah pahala yang besar saat di dunia maupun akhirat.
Barang siapa yang berbakti kepada orangtuanya, maka kelak anak-anaknya
juga akan berbakti kepadanya, serta memberikan jalan keluar dari
kesusahannya.
Dalam kitab Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari hadits Ibnu 'Umar
Radhiyallahu 'anhu disebutkan tentang kisah tiga orang yang ingin
bermalam di gua, lalu merekapun masuk ke dalamnya. Begitu sampai di
dalam gua, tiba-tiba sebongkah batu besar jatuh dan menutup mulut gua
tersebut.
Merekapun kemudian bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang
pernah dikerjakan supaya mereka bisa keluar. Salah seorang dari mereka
berkata:
Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai bapak dan ibu yang sudah sangat
tua. Aku tidak pernah memberikan susu kepada keluarga maupun budakku
sebelum mereka berdua.
Suatu hari, aku pergi jauh untuk mencari pohon dan belum kembali kepada
mereka hingga mereka pun tertidur. Akupun memerah susu untuk mereka.
Setelah selesai, ternyata aku mendapatkan mereka berdua telah tertidur.
Aku tidak ingin membangunkannya dan tidak memberikan susu kepada
keluarga maupun untukku sendiri. Aku terus menunggu mereka sambil
membawa mangkuk susu di tanganku hingga terbit fajar. Mereka pun bangun
dan meminum susu perahanku.
Ya Allah, sekiranya aku melakukan itu semua karena-Mu, maka bukakanlah batu yang telah menutupi kami ini.
Maka batu itupun bergeser sedikit. Kemudian demikian pula yang lainnya
berdoa, bertawasul dengan amalan shalih yang pernah mereka kerjakan.
Akhirnya, batu itupun bergeser sehingga gua terbuka dan mereka dapat
keluar, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Ketahuilah, berbakti kepada orang tua juga akan mendatangkan keluasan rizki, panjang umur dan khusnul khatimah.
Diriwayatkan dari Sahabat 'Ali bin Abi Thâlib bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa yang senang
apabila dipanjangkan umurnya, diluaskan rizkinya dan dihindarkan dari
sû`ul khatimah, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyambung
silaturahmi." Dan sesungguhnya, berbakti kepada orang tua merupakan
wujud silaturahmi yang paling mulia, karena orang tua memiliki hubungan
kekerabatan yang paling dekat dengan kita.
Seorang mukmin yang berakal, sungguh sangat tidak pantas berbuat durhaka
dan memutuskan hubungan dengan kedua orang tua, padahal ia mengetahui
keutamaan berbakti kepadanya, dan balasannya yang mulia di dunia maupun
di akhirat. Larangan ini sangat besar.
Apabila telah mencapai usia lanjut, kedua orang tua akan mengalami
kelemahan badan maupun pikiran. Bahkan keduanya bisa mengalami kondisi
yang serba menyusahkan, sehingga menyebabkan seseorang mudah menggertak
atau bersikap malas untuk melayaninya. Dalam keadaan demikian, Allah
melarang setiap anak membentak, meskipun dengan ungkapan yang paling
ringan. Tetapi Allah memerintahkan si anak supaya bertutur kata yang
baik, merendahkan diri dalam perkataan maupun perbuatan di hadapan
keduanya. Sebagaimana sikap seorang pembantu di hadapan majikannya.
Demikian pula, Allah memerintahkan si anak supaya mendoakan keduanya,
semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana keduanya telah mengasihi dan
merawat si anak tatkala masih kecil.
Sang ibu rela berjaga saat malam hari demi menidurkan anaknya. Iapun
rela menahan rasa letih supaya si anak bisa beristirahat dengan cukup.
Adapun bapaknya, ia berusaha sekuat tenaga mencari nafkah. Letih
pikirannya, letih pula badannya. Semua itu, tidak lain ialah untuk
memberi makan dan mencukupi kebutuhan si anak. Sehingga sepantasnya bagi
si anak untuk berbakti kepada keduanya sebagai balasan atas
kebaikannya.
Dalam kitab shahîhain disebutkan dari Abu Hurairah, bahwasanya ada
seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: "Wahai Rasulullah, siapakah di
antara manusia yang paling berhak aku pergauli dengan baik?" Rasulullah
menjawab,"Ibumu." Orang itu bertanya lagi: "Kemudian siapa lagi?" Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ibumu." Orang itu mengulangi
pertanyaannya: "Kemudian siapa lagi?" Nabi pun kembali mengulangi
jawabanya: "Ibumu." Iapun kemudian mengulangi pertanyaanya untuk yang ke
empat kalinya: "Kemudian siapa?" Rasulullah menjawab: "Bapakmu."
Semoga Allah memberikan taufik-Nya, sehingga memudahkan kita untuk
berbakti kepada ibu bapak. Dan semoga Allah memberi karunia kepada kita
keikhlasan dalam melaksanakannya. Sesunggunya Dia-lah Dzat yang
Mahapemurah lagi Mahapenyayang.
[Diringkas oleh Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri, dari ad-Dhiyâ-ul Lâmi', Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, hlm. 501-504]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 109/Tahun XI/1428H/2008 (Rubrik
Khutbah Jum'at). Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
0 komentar:
Posting Komentar