Oleh: Ustadz Fariq Gasim Anuz
Ada kejadian, seorang laki-laki sebelum menikah menginginkan istri yang
cantik parasnya dan beberapa kriteria lainnya. Tetapi pada saat
pernikahan, dia mendapatkan istrinya sangat jauh dari kriteria yang ia
tetapkan. Subhanallah! Inilah jodoh, walaupun sudah berusaha keras,
tetapi jika Allah menghendaki lain, semua akan terjadi.
Pada awalnya ia terkejut karena istrinya ternyata kurang cantik, padahal
sebelumnya sudah nazhar (melihat) calon istrinya tersebut. Sampai ayah
dari pihak suami menganjurkan anaknya untuk menceraikan istrinya
tersebut. Tetapi kemudian ia bersabar. Dan ternyata ia mendapati
istrinya tersebut sebagai wanita yang shalihah, rajin shalat, taat
kepada orang tuanya, taat kepada suaminya, selalu menyenangkan suami,
juga rajin shalat malam.
Pada akhirnya, setelah sekian lama bergaul, sang suami ini merasa
benar-benar puas dengan istrinya. Bahkan ia berpikir, lama-kelamaan
istrinya bertambah cantik, dan ia sangat mencintai serta menyayanginya.
Karena kesabaranlah Allah menumbuhkan cinta dan ketentraman. Ternyata
faktor fisik tidaklah begitu pokok dalam menentukan kebahagiaan dan
keharmonisan rumah tangga, walaupun bisa juga ikut berperan menentukan.
Berikut ini kami bawakan kiat-kiat praktis sebagai ikhtiar merekatkan
cinta kasih antara suami istri, sehingga keharmonisan bisa tercipta.
Pertama : Saling Memberi Hadiah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling cinta mencintai".[1]
Memberi hadiah merupakan salah satu bentuk perhatian seorang suami
kepada istrinya, atau istri kepada suaminya. Terlebih bagi istri, hadiah
dari suami mempunyai nilai yang sangat mengesankan. Hadiah tidak harus
mahal, tetapi sebagai simbol perhatian suami kepada istri.
Seorang suami yang ketika pulang membawa sekedar oleh-oleh kesukaan
istrinya, tentu akan membuat sang isteri senang dan merasa mendapat
perhatian. Dan seorang suami, semestinya lebih mengerti apa yang lebih
disenangi oleh isterinya. Oleh karena itu, para suami hendaklah
menunjukkan perhatian kepada istri, diungkapkan dengan memberi hadian
meski sederhana.
Kedua : Mengkhususkan Waktu Untuk Duduk Bersama.
Jangan sampai antara suami istri sibuk dengan urusannya masing-masing, dan tidak ada waktu untuk duduk bersama.
Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh bin Baz. Ada seorang pemuda
tidak memperlakukan isteri dengan baik. Yang menjadi penyebabnya, karena
ia sibuk menghabiskan waktunya untuk berbagai pekerjaan yang
berhubungan dengan studi dan lainnya, sehingga meninggalkan isteri dan
anak-anaknya dalam waktu lama. Masalah ini ditanyakan kepada Syaikh,
apakah diperbolehkan sibuk menuntut ilmu dan sibuk beramal dengan resiko
mengambil waktu yang seharusnya dikhususkan untuk isteri?
Syaikh bin Baz menjawab pertanyaan ini. Beliau menyatakan, tidak ragu
lagi, bahwa wajib atas suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik
berdasarkan firman Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Pergaulilah mereka dengan baik" [An Nisa`: 19]
Juga sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
Abdullah bin ‘Amr bin Ash, yaitu manakala sahabat ini sibuk dengan
shalat malam dan sibuk dengan puasa, sehingga lupa dan lalai terhadap
isterinya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
"Puasalah dan berbukalah. Tidur dan bangunlah. Puasalah sebulan selama
tiga hari, karena sesungguhnya kebaikan itu memiliki sepuluh kali lipat.
Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban atas dirimu. Dirimu sendiri
memiliki hak, dan engkau juga mempunyai kewajiban terhadap isterimu,
juga kepada tamumu. Maka, berikanlah haknya setiap orang yang memiliki
hak" [Muttafaqun ‘alaihi].
Banyak hadits yang menunjukkan adanya kewajiban agar suami memperlakukan
isteri dengan baik. Oleh karena itu, para pemuda dan para suami
hendaklah memperlakukan isteri dengan baik, berlemah-lembut sesuai
dengan kemampuan. Apabila memungkinkan untuk belajar dan menyelesaikan
tugas-tugasnya di rumah, maka lakukanlah di rumah, sehingga, disamping
dia mendapatkan ilmu dan menyelesaikan tugas, dia juga dapat membuat
isteri dan anak-anaknya senang. Kesimpulannya, adalah disyariatkan atas
suami mengkhususkan waktu-waktu tertentu, meluangkan waktu untuk
isterinya, agar sang isteri merasa tentram, memperlakukan isterinya
dengan baik; terlebih lagi apabila tidak memiliki anak.
Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya) :
Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik di antara kalian terhadap
keluarganya. Dan saya adalah orang yang terbaik di antara kalian
terhadap keluargaku.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya) :
Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di
antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap
isteri-isteri kalian. [Diriwayatkan oleh Tirmidzi]
Sebaliknya, seorang isteri juga disyariatkan untuk membantu suaminya,
misalnya menyelesaikan tugas-tugas studi ataupun tugas kantor. Hendaklah
dia bersabar apabila suaminya memiliki kekurangan karena kesibukannya,
sehingga kurang memberikan waktu yang cukup kepada isterinya.
Berdasarkan firman Allah, hendaklah antara suami dan isteri saling bekerjasama:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
"Tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan takwa".
Juga berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
"Allah akan selalu menolong hambaNya selama hambaNya itu menolong saudaranya". [Diterjemahkan dari buku Fatawa Islamiyyah]
Nasihat Syaikh bin Baz tersebut ditujukan kepada kedua belah pihak.
Kepada suami hendaklah benar-benar tidak sampai melalaikan, dan kepada
isteri pun untuk bisa bersabar dan memahami apabila suaminya sibuk bukan
untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Untuk para isteri, bisa juga mengoreksi diri mereka. Mungkin di antara
sebab suami tidak kerasan di rumah karena memiliki isteri yang sering
marah, selalu bermuka masam dan ketus apabila berbicara.
Ketiga : Menampakkan Wajah Yang Ceria.
Di antara cara untuk mempererat cinta kasih, hendaklah menampakkan wajah
yang ceria. Ungkapan dengan bahasa wajah, mempunyai pengaruh yang besar
dalam kegembiraan dan kesedihan seseorang. Seorang isteri akan senang
jika suaminya berwajah ceria, tidak cemberut. Secara umum Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْق
"Sedikit pun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun
ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria" [HR
Muslim]
Begitu pula sebaliknya, ketika suami datang, seorang isteri jangan
sampai menunjukkan wajah cemberut atau marah. Meskipun demikian,
hendaknya seorang suami juga bisa memahami kondisi isteri secara
kejiwaan. Misalnya, isteri yang sedang haidh atau nifas, terkadang
melakukan tindakan yang menjengkelkan. Maka seorang suami hendaklah
bersabar.
Ada pertanyaan dari seorang istri yang disampaikan kepada Syaikh bin Baz, sebagai berikut :
"Suami saya -semoga Allah memaafkan dia-, meskipun dia berpegang teguh
dengan agama dan memiliki akhlak yang tinggi serta takut kepada Allah,
tetapi dia tidak memiliki perhatian kepada saya sedikit pun. Jika di
rumah, ia selalu berwajah cemberut, sempit dadanya dan terkadang dia
mengatakan bahwa sayalah penyebab masalahnya.
Tetapi Allah-lah yang mengetahui bahwa saya –alhamdulillah- telah
melaksanakan hak-haknya. Yakni menjalankan kewajiban saya sebagai
isteri. Saya berusaha semaksimal mungkin dapat memberikan ketenangan
kepada suami dan menjauhkan segala hal yang membuatnya tidak suka. Saya
selalu sabar atas tindakan-tindakannya terhadap saya.
Setiap saya bertanya sesuatu kepadanya, dia selalu marah, dan dia
mengatakan bahwa ucapan saya tidak bermanfaat dan kampungan. Padahal
perlu diketahui, jika kepada teman-temannya, suami saya tersebut
termasuk orang yang murah senyum. Sedangkan terhadap saya, ia tidak
pernah tersenyum; yang ada hanyalah celaan dan perlakuan buruk. Hal ini
menyakitkan dan saya merasa sering tersiksa dengan perbuatannya. Saya
ragu-ragu dan beberapa kali berpikir untuk meninggalkan rumah.
Wahai Syaikh, apabila saya meninggalkan rumah dan mendidik sendiri
anak-anak saya dan berusaha mencari pekerjaan untuk membiayai anak-anak
saya sendiri, apakah saya berdosa? Ataukah saya harus tetap tinggal
bersama suami dalam keadaan seperti ini, (yaitu) jarang berbicara dengan
suami, (ia) tidak bekerja sama dan tidak merasakan problem saya ini?"
Dijawab oleh Syaikh bin Baz : “Tidak diragukan lagi, bahwa kewajiban
atas suami isteri ialah bergaul dengan baik dan saling menampakkan wajah
penuh dengan kecintaan. Dan hendaklah berakhlak dengan akhlak mulia,
(yakni) dengan menampakkan wajah ceria, berdasarkan firman Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Pergaulilah mereka dengan baik". [An Nisa` : 19].
Juga dalam surat Al Baqarah ayat 228:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf, akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isteri".
Arti kelebihan disini, secara umum laki-laki lebih unggul daripada
wanita. Tetapi nilai-nilai yang ada pada setiap individu di sisi Allah,
tidak berarti laki-laki pasti derajatnya lebih tinggi. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa.
Dan berdasarkan sabda Nabi:
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ
"Kebaikan itu adalah akhlak yang baik". [HR Muslim].
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لَا تَحْقِرَنَّ مِنْ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
"Sedikitpun janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik, meskipun
ketika berjumpa dengan saudaramu engkau menampakkan wajah ceria".[HR
Muslim]
Juga berdasarkan sabda Nabi:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
"Orang yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya di
antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap
isteri-isteri kalian".[Diriwayatkan oleh Tirmidzi].
Ini semua menunjukkan, bahwa motivasi berakhlak yang baik dan
menampakkan wajah ceria pada saat bertemu serta bergaul dengan baik
kepada kaum Muslimin, berlaku secara umum; terlebih lagi kepada suami
atau isteri dan kerabat.
Oleh karena itu, engkau telah berbuat baik dalam hal kesabaran dan
ketabahan atas penderitaanmu, yaitu menghadapi kekasaran dan keburukan
suamimu. Saya berwasiat kepada dirimu untuk terus meningkatkan kesabaran
dan tidak meninggalkan rumah di karenakan hal itu. Insya Allah akan
mendatangkan kebaikan yang banyak. Dan akibat yang baik, insya Allah
diberikan kepada orang-orang yang sabar. Banyak ayat yang menunjukan,
barangsiapa yang bertakwa dan sabar, maka sesungguhnya balasan yang baik
itu bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya Allah akan memberi
ganjaran yang besar tanpa hisab kepada oraang-orang yang sabar.
Tidak ada halangan dan rintangan untuk bercanda dan bergurau, serta
mengajak bicara suami dengan ucapan-ucapan yang dapat melunakkan
hatinya, dan yang dapat menyebabkan lapang dadanya dan menumbuhkan
kesadaran akan hak-hakmu. Tinggalkanlah tuntutan-tuntutan kebutuhan
dunia (yang tidak pokok) selama sang suami melaksanakan kewajiban dengan
memberikan nafkah dari kebutuhan-kebutuhan yang pokok, sehingga ia
menjadi lapang dada dan hatinya tenang. Engkau akan merasakan balasan
yang baik, insya Allah. Semoga Allah memberikan taufiq kepada dirimu
untuk mendapatkan kebaikan dan memperbaiki keadaan suamimu. Semoga Allah
membimbingnya kepada kebaikan dan memperbaiki akhlaknya. Semoga Allah
membimbingnya untuk dapat bermuka ceria dan melaksanakan
kewajiban-kewajiban kepada isterinya dengan baik. Sesungguhnya, Allah
adalah sebaik-baik yang diminta, dan Dia adalah pemberi hidayah kepada
jalan yang lurus. [Dinukil dari buku Fatawa Islamiyyah].
Ini menunjukkan, bahwa seorang wanita diperbolehkan untuk mengeluh dan
menyampaikan problemnya kepada orang yang alim, atau orang yang dianggap
bisa menyelesaikan masalahnya. Hal ini tidak sama dengan sebagian
wanita yang sering, atau suka menceritakan rahasia rumah tangganya,
termasuk kelemahan dan keburukan suaminya kepada orang lain, tanpa
bermaksud menyelesaikan masalahnya.
Sehubungan dengan permasalahan ini, Syaikh ‘Utsaimin mengatakan, bahwa
apa yang disampaikan oleh sebagian wanita, yang menceritakan keadaan
rumah tangganya kepada kerabatnya, bisa jadi (kepada) orang tua isteri
atau kakak perempuannya, atau kerabat yang lainnya, bahkan kepada
teman-temannya, (hukumnya) adalah diharamkan. Tidak halal bagi seorang
wanita membuka rahasia rumah tangganya dan keadaan suaminya kepada
seorang pun. Karena seorang wanita yang shalihah ialah, yang bisa
menjaga dan memelihara kedudukan martabat suaminya. Nabi n telah
memberitakan, seburuk-buruk manusia kedudukannya di sisi Allah pada hari
Kiamat ialah, seorang laki-laki yang suka menceritakan keburukan
isterinya, atau seorang wanita yang menceritakan keburukan suaminya.
Meski demikian, jangan dipahami bahwa secara mutlak seorang wanita tidak
boleh menceritakan keburukan seorang suami. Karena, pada masa Nabi pun
ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah n dan berkata: “Ya,
Rasulullah. Suami saya adalah orang yang kikir, tidak memberikan nafkah
yang cukup bagi saya. Bolehkah saya mengambil darinya tanpa
sepengetahuannya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saya dan anak saya?”
Mendengar penuturan orang ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
"Ambillah nominal yang mencukupi kebutuhanmu dan anakmu". [Muttafaqun ‘alaihi]
Keempat : Memberikan Penghormatan Dengan Hangat Kepada Pasangannya.
Memberikan penghormatan dengan hangat kepada pasangannya, baik ketika
hendak pergi keluar rumah, ataupun ketika pulang. Penghormatan itu,
hendaklah dilakukan dengan mesra.
Dalam beberapa hadits diriwayatkan, ketika hendak pergi shalat,
Rasulullah n mencium isterinya tanpa berwudhu lagi dan langsung shalat.
Ini menunjukkan, bahwa mencium isteri dapat mempererat hubungan antara
suami isteri, meluluhkan kebekuan ataupun kekakuan antara suami isteri.
Tentunya dengan melihat situasi, jangan dilakukan di hadapan anak-anak.
Perbuatan sebagian orang, ketika seorang isteri menjemput suaminya yang
datang dari luar kota atau dari luar negeri, ia mencium pipi kanan dan
pipi kiri di tempat umum. Demikian ini tidak tepat.
Memberikan penghormatan dengan hangat tidak mesti dengan mencium
pasangannya. Misalnya, seorang suami dapat memanggil isterinya dengan
baik, tidak menjelek-jelekkan keluarganya, tidak menegur isterinya di
hadapan anak-anak mereka. Atau seorang isteri, bila melakukan
penghormatan dengan menyambut kedatangan suaminya di depan pintu.
Apabila suami hendak bepergian, istri menyiapkan pakaian yang telah
diseterika dan dimasukkannya ke dalam tas dengan rapi.
Suami hendaknya menghormati isterinya dengan mendengarkan ucapan isteri
secara seksama. Sebab terkadang, ada sebagian suami, jika isterinya
berbicara, ia justru sibuk dengan hand phone-nya mengirim sms atau
sambil membaca koran. Dia tidak serius mendengarkan ucapan isteri. Dan
jika menanggapinya, hanya dengan kata-kata singkat. Jika isteri
mengeluh, suami mengatakan “hal seperti ini saja dipikirkan!”
Meskipun sepele atau ringan, tetapi hendaklah suami menanggapinya dengan
serius, karena bagi isteri mungkin merupakan masalah yang besar dan
berat.
Kelima : Hendaklah Memuji Pasangannya.
Di antara kebutuhan manusia adalah keinginan untuk dipuji -dalam
batas-batas yang wajar. Dalam masalah pujian ini, para ulama telah
menjelaskan [2], bahwa pujian diperbolehkan atau bahkan dianjurkan
dengan syarat-syarat : untuk memberikan motivasi, pujian itu diungkapkan
dengan jujur dan tulus, dan pujian itu tidak menyebabkan orang yang
dipuji menjadi sombong atau lupa diri.
Abu Bakar As Siddiq Radhiyallahu 'anhu pernah dipuji, dan dia berdo’a
kepada Allah: “Ya, Allah. Janganlah Engkau hukum aku dengan apa yang
mereka ucapkan. Jangan jadikan dosa bagiku dengan pujian mereka, jangan
timbulkan sifat sombong. Jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka
sangka, dan ampunilah aku atas perbuatan-perbuatan dosa yang mereka
tidak ketahui”.
Perkatanan ini juga diucapkan oleh Syaikh Al Albani ketika beliau
dipuji-puji oleh seseorang di hadapan manusia. Beliau rahimahullah
menangis dan mengucapkan perkataan Abu Bakar tersebut serta mengatakan:
“Saya ini hanyalah penuntut ilmu saja”.
Seorang isteri senang pujian dari suaminya, khususnya di hadapan orang
lain, seperti keluarga suami atau isteri. Dia tidak suka jika suami
menyebutkan aibnya, khususnya di hadapan orang lain. Jika masakan isteri
kurang sedap jangan dicela.
Keenam : Bersama-Sama Melakukan Tugas Yang Ringan.
Di antara kesalahan sebagian suami ialah, mereka menolak untuk melakukan
sebagian tugas di rumah. Mereka mempunyai anggapan, jika melakukan
tugas di rumah, berarti mengurangi kedudukannya, menurunkan atau
menjatuhkan kewibawaannya di hadapan sang isteri. Pendapat ini tidak
benar.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan tugas-tugas di rumah,
seperti menjahit pakaiannya sendiri, memperbaiki sandalnya dan melakukan
tugas-tugas di rumah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan
terdapat dalam Jami’ush Shaghir. Terlebih lagi dalam keadaan darurat,
seperti isteri sedang sakit, setelah melahirkan. Terkadang isteri dalam
keadaan repot, maka suami bisa meringankan beban isteri dengan
memandikan anak atau menyuapi anak-anaknya. Hal ini, disamping
menyenangkan isteri, juga dapat menguatkan ikatan yang lebih erat lagi
antara ayah dan anak-anaknya.
Ketujuh : Ucapan Yang Baik.
Kalimat yang baik adalah kalimat-kalimat yang menyenangkan. Hendaklah
menghindari kalimat-kalimat yang tidak menyenangkan, bahkan menyakitkan.
Seorang suami yang menegur isterinya karena tidak berhias, tidak
mempercantik diri dengan celak dimata, harus dengan ucapan yang baik.[3]
Misalnya dengan perkataan : “Mengapa engkau tidak memakai celak?”
Isteri menjawab dengan kalimat yang menyenangkan : “Kalau aku memakai celak, akan mengganggu mataku untuk melihat wajahmu”.
Perkataan yang demikian menunjukkan ungkapan perasaan cinta isteri
kepada suami. Ketika ditegur, ia menjawab dengan kalimat menyenangkan.
Berbeda dengan kasus lain. Saat suami isteri berjalan-jalan di bawah
bulan purnama, suami bertanya : “Tahukah engkau bulan purnama di atas?”
Mendengar pertanyaan ini, sang isteri menjawab : “Apakah engkau lihat aku buta?”
Kedelapan : Perlu Berekreasi Berdua Tanpa Membawa Anak.
Rutinitas pekerjaan suami di luar rumah dan pekerjaan isteri di rumah
membuat suasana menjadi jenuh. Sekali-kali diperlukan suasana lain
dengan cara pergi berdua tanpa membawa anak. Hal ini sangat penting,
karena bisa memperbaharui cinta suami isteri.
Kita mempunyai anak, lantas bagaimana caranya? Ini memang sebuah problem. Kita cari solusinya, jangan menyerah begitu saja.
Bukan berarti setelah mempunyai anak banyak tidak bisa pergi berdua.
Tidak! Kita bisa meminta tolong kepada saudara, kerabat ataupun tetangga
untuk menjaga anak-anak, lalu kita dapat pergi bersilaturahmi atau
belanja ke toko dan lain sebagainya. Kemudian pada kesempatan lainnya,
kita pergi berekreasi membawa isteri dan anak-anak.
Kesembilan : Hendaklah Memiliki Rasa Empati Pada Pasangannya.
Rasulullah bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ
الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
"Perumpamaan kaum mukminin antara satu dengan yang lainnya itu seperti
satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka anggota
tubuh yang lain pun ikut merasakannya sebagai orang yang tidak dapat
tidur dan orang yang terkena penyakit demam".[4]
Ini berlaku secara umum kepada semua kaum Muslimin. Rasa empati harus
ada. Yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, termasuk kepada
isteri atau suami. Jangan sampai suami sakit, terbaring di tempat
tidur, isteri tertawa-tawa di sampingnya, bergurau, bercanda. Begitu
pula sebaliknya, jangan sampai karena kesibukan, suami kemudian kurang
merasakan apa yang dirasakan oleh isteri.
Kesepuluh : Perlu Adanya Keterbukaan.
Keterbukaan antara suami dan isteri sangat penting. Di antara problem
yang timbul di keluarga, lantaran antara suami dan isteri masing-masing
menutup diri, tidak terbuka menyampaikan problemnya kepada pasangannya.
Yang akhirnya kian menumpuk. Pada gilirannya menjadi lebih besar, sampai
akhirnya meledak.
Inilah sepuluh tips untuk merekatkan hubungan suami-istri, sehingga
biduk rumah tangga tetap harmonis dan tenteram. Semoga bermanfaat,
menjadi bekal keharmonisan keluarga.
[Diangkat dari buku Lautan Cinta, Fariq Gasim Anuz, Darul Qolam, Cet. I, Th. 1426H/2005M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. HR Bukhari dalam Adabul Mufrad dan lain-lain, dihasankan oleh Syaikh Al Albani
[2]. Di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Imam Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar Minhajil Qashidin
[3]. Nasihat untuk akhwat yang berkeluarga atau ibu-ibu. Hendaknya
wanita mempercantik diri dan berhias untuk suaminya. Yang terjadi,
umumnya berdandan dan mempercantik diri kalau mau keluar rumah, atau
kalau ada walimah, misalnya. Sedangkan di rumah, ia enggan mempercantik
diri dan tampil seadanya. Padahal berdandan dan mempercantik diri untuk
keluar rumah hukumnya haram.
[4]. HR Muslim
0 komentar:
Posting Komentar