Oleh
Syaikh Kholid Al-Anbari Hafizhahullahu
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, shahabat dan para
pengikut beliau sampai hari kiamat nanti, amma ba’du.
Majelis Kibrul Ulama Saudi Arabia setelah mempelajari dan memperhatikan
kejadian-kejadian yang dialami oleh negara-negara Islam dan selainnya
dari pengkafiran (sesama muslim), peledakan, dan tragedi berdarah serta
perusakan fasilitas umum serta pembantaian massal orang-orang yang tidak
bersalah, mereka menetapkan hal-hal berikut ini sebagai nasehat dan
sekaligus menghilangkan kerancuan yang ada dalam masalah ini, hal-hal
tersebut adalah:
[1]. Pengkafiran adalah hukum syari’at yang merupakan hak prerogratif
milik Allah dan RasulNya semata, sebagaimana penghalalan dan
pengharaman, mewajibkan dan melarang, semuanya itu adalah hak Allah dan
RasulNya. Tidaklah setiap perbuatan dan perkataan yang dikatakan kafir
pelakunya pasti kafir keluar dari Islam.
Jika kita telah mengetahui bahwa pengkafiran itu adalah hak Allah dan
RasulNya, maka kita tidak boleh mengkafirkan seorangpun kecuali yang
telah dikatakan kafir oleh Al-Qur’an dan Hadits dengan keterangan yang
jelas. Tidak cukup hanya sekedar prasangka belaka, karena hal ini
akibatnya sangat fatal/tragis dan berbahaya. Jika hudud (seperti hukum
rajam dsb) tidak bisa diterapkan pada suatu kasus karena adanya
kesamaran pada bukti-buktinya maka pengkafiran lebih utama untuk
ditiadakan karena akibatnya lebih buruk. Oleh karena itu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan serta mengancam orang-orang
yang megkafirkan orang muslim (tanpa ilmu), beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (se agama) : Wahai
kafir, maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari
keduanya, jika dia benar dalam pengkafirannya (maka tidak mengapa), tapi
jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya” [HR Al-Bukhari :
6104 dan dalam riwayat lain Imam Muslim : 111 ‘Apabila seseorang
mengkafirkan saudaranya muslim …]
Dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi terdapat ucapan, perbuatan dan bahkan
keyakinan yang dikatagorikan sebagai kufur, akan tetapi (pelakunya)
tidak mesti di vonis kafir (keluar dari Islam), dikarenakan ada
penghalang diterapkannya vonis tersebut. Hal ini sebagaimana dalam
hukum-hukum yang lain, bahwa suatu hukum dikatakan sempurna (sah) dengan
terpenuhi sebab-sebab dan syarat-syaratnya serta terhindar dari
halangan-halangannya. Hukum waris misalnya, sebabnya adalah kekerabatan,
bisa jadi orang itu tidak bisa menerima harta warisan karena adanya
penghalang, seperti perbedaan agama, (antara yang meninggal dan ahli
waris). Demikian pula dengan pengkafiran, mungkin dia melakukan
kekafiran, tapi tidak bisa di vonis kafir karena dia melakukannya dengan
terpaksa. Seorang muslim kadang mengucapkan kata-kata kekafiran (dengan
tidak disadari) mungkin karena sangat gembira atau marah, maka dia itu
tidak bisa di vonis kafir. Sebagaimana dalam kisah seorang yang pernah
berucap.
“Artinya : Ya Allah engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu”, dia
salah ucap karena sangat gembira” [HR Bukhari : 6308 dan Muslim “ 2724]
Tergesa-gesa dalam pengkafiran mengakibatkan berbagai dampak negatif
yang sangat berbahaya, seperti penghalalan darah dan harta, menghalangi
warisan, mengharuskan perceraian, dan lain sebagainya, maka bagaimana
mungkin dibenarkan untuk seorang muslim megkafirkan saudaranya hanya
dengan bukti samar-samar atau prasangka belaka.
Apabila pengkafiran ini ditujukan kepada penguasa atau pemimpin kaum
muslimin maka akibatnya lebih berbahaya lagi, karena akan mengakibatkan
pemberontakan, pertumpahan darah, kekacauan dan kerusakan dimana-mana.
Oleh karena itulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang keras
adanya pemberontakan (terhadap penguasa muslim) beliau bersabda.
“Artinya : Kecuali jika kalian melihat mereka dalam kekafiran yang nyata dan kalian memiliki keterangan dari Allah Ta’ala” [1]
Kesimpulannya : Tergesa-gesa dalam pengkafiran sangat berbahaya sekali karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukanNya
dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan
mengharamkan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”
[Al-A’raf : 33]
[2]. Pemikiran keji (takfir/pengkafiran) ini banyak sekali dampak
negatifnya, seperti; penghalalalan darah, harta dan kehormatan seorang
muslim, perusakan fasilitas umum, peledakan rumah-rumah penduduk dan
sarana transportasi. Perbuatan ini dan semisalnya telah diharamkan oleh
syari’at dan ijma’ kaum muslimin, karena hal tersebut merobek-robek
kehormatan jiwa yang terpelihara dan merampas harta tanpa alasan yang
benar, mengguncang stabilitas keamanan dan ketentraman masyarakat di
negeri dan tempat tinggal mereka.
Islam menjaga harta, kehormatan dan jiwa kaum muslimin serta melarang
untuk dilanggar dan dilicehkan, bahkan Islam menekankan hal ini,
sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam pada akhir haji beliau.
“Artinya : Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian itu
suci/terjaga seperti sucinya hari, bulan dan negeri kalian ini” lalu
beliau bersabda : “Apakah aku telah menyampaikan ? Ya Allah saksikanlah”
[HR Bukhari dan Muslim]
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang membunuh jiwa
yang tidak berdosa dengan ancaman yang pedih. Allah berfirman.
“Artinya : Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal didalamnya, Allah murka
padanya, dan Allah akan melaknatnya dan baginya adzab yang sangat berat”
[An-Nisa : 93]
Allah juga berfirman berkenaan dengan orang kafir yang mendapatkan
jaminan keamanan dari kaum muslimin lalu dibunuh karena tidak sengaja.
“Artinya : Dan jika (dia yang terbunuh) dari kaum kafir yang ada
perjanjian damai antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diyat/denda yang diserahkan kepada keluarga (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin” [An-Nisa : 92]
Jika orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dibunuh dengan tidak
sengaja ada denda dan kafarohnya (tebusan), maka bagaimana jika dia
dibunuh dengan sengaja? Maka hal itu lebih parah dan besar dosanya. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad (ada perjanjian
damai dengan kaum muslimin) maka dia tidak tidak akan mencium bau
surga” [HR Bukhari : 3166]
[3]. Sesungguhnya majelis (ulama) menjelaskan dan memperingatkan umat
dari takfir/pengkafiran tanpa dasar dari Al-Qur’an dan Sunnah serta
akibat buruk yang ditimbulkannya, karena hal tersebut banyak menimbulkan
kejahatan dan dosa besar. Sekaligus mengumumkan kepada dunia bahwa
Islam berlepas diri dari pemikiran dan keyakinan yang sesat ini. Adapun
yang terjadi di beberapa negara berupa penumpahan darah jiwa yang tidak
bersalah, peledakan rumah-rumah dan sarana transportasi serta fasilitas
umum, maka ini adalah suatu perbuatan keji, Islam berlepas diri darinya,
begitu pula setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir
berlepas diri darinya.
Sesungguhnya perbuatan ini bersumber dari orang-orang yang berpikiran
menyimpang dan beraqidah sesat, dia akan menanggung segala dosa dan
noda. Tidak boleh perbuatan tersebut diatasnamakan kepada Islam, atau
kaum muslimin yang berpegang erat dengan agamanya, berlandaskan kepada
Al-Qur’an dan Sunnah. Perbuatan tersebut murni perusakan serta kejahatan
yang dibenci syariat dan fitrah yang sehat. Oleh karena itu banyak
sekali nash-nash Al-Qur’an yang memperingatkan dari hal ini serta para
pelakunya, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang
kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.
Dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk
mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang
ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan
kepadanya : “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang
menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka jahanam.
Dan sungguh neraka jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”
[Al-Baqarah : 204-206] [2]
WASIAT EMAS PARA ULAMA UNTUK BERHATI-HATI DALAM MASALAH TAKFIR
[1]. Al-Ala bin Ziyad seorang tabi’in berkata : “Kamu menuduh kafir orang muslim atau kamu membunuhnya itu sama saja”
[2]. Abu Hamid Al-Ghazali berkata : “Yang paling penting untuk
diwaspadai adalah masalah pengkafiran, karena menumpahkan darah serta
merampas harta seorang muslim adalah suatu kesalahan besar. Kesalahan
dalam membiarkan seribu orang kafir hidup lebih ringan daripada
kesalahan dalam menumpahkan darah seorang muslim”.
[3]. Ibnu Abil Izzi berkata : “Ketahuilah –semoga Allah merahmatimu-
bahwa pemikiran takfir sangat banyak fitnah dan bahayanya, dan
menimbulkan perpecahan.. sesungguhnya kekejian yang besar adalah menuduh
bahwa Allah tidak mengampuni dan merahmati orang muslim bahkan dia
kekal di dalam neraka selama-lamanya, padahal ini adalah hukum bagi
orang kafir setelah mati”.
[4]. Ibnu Abdil Bar berkata : “Al-Qur’an dan Sunnah melarang menuduh
fasik dan kafir seorang muslim.., maka tidak boleh mengkafirkan
seorangpun kecuali yang telah disepakati akan kekafirannya atau yang
telah ada dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah akan hal ini”.
[5]. Imam Qurthubi berkata : “Pemikiran takfir itu sangat berbahaya
sekali banyak manusia yang terjerumus ke dalamnya, hingga mereka jatuh
berguguran. Adapun para ulama mereka berhati-hati sekali dalam masalah
ini hingga mereka itu selamat, dan tidak ada yang sebanding dengan
keselamatan dalam perkara ini”.
[6]. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Tidak boleh bagi seorangpun
mengkafirkan seorang muslim – walaupun dia salah- hingga ditegakkan
hujjah serta dijelaskan kepadanya dalil-dalil. Barangsiapa yang telah
tetap keislamannya maka tidak akan luntur keislamannya itu dengan
keragu-raguan bahkan tidak mungkin bisa sirna kecuali setelah tegaknya
hujjah dan dihilangkan darinya syubhat”.
[7]. Ibnu Nashir Ad-Dimasyq berkata : “Melaknat seorang muslim itu
haram, lebih parah dari itu adalah menuduhnya kafir dan keluar dari
Islam”.
[8]. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata : “Wajib bagi setiap orang
yang masih mencintai dirinya untuk tidak berbicara dalam masalah takfir
ini kecuali dengan ilmu dan dalil dari Allah. Hendaklah dia
berhati-hati dari mengeluarkan seorang muslim dari Islam hanya dengan
prasangka ataupun aka semata, karena mengeluarkan seorang muslim dari
agamanya termasuk perkara besar dalan ancaman ini dan setan telah banyak
menggelincirkan mayoritas manusia dalam masalah ini.
[Dinukil dari kitab Al-Hukmu Bighoiri Maa Anzallahu hal. 29-33, Diterjemahkan Abu Abdirrahman Thayyib]
[Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 Th. II
1425H/2004M, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan
Bahasa Arab Ma’had Ali-Al-Irsyad, Jl Sultan Iskandar Muda Surabaya]
__________
Foote Note
[1]. Sabda beliau : “kecuali jika kamu melihat” mengisyaratkan bahwa
tidak cukup hanya dengan prasangka belaka ataupun isu. Dan sabda beliau ;
“melihat mereka di dalam kekafiran” mengisyaratkan tidaklah cukup
kefasikan (seperti berbuat dholim, minum-minuman keras, berjudi dan
mengikuti hawa nafsu). Adapaun sabda beliau ; “kekafiran yang nyata”
menunjukkan bahwa itu tidak cukup hanya sekedar kekafiran yang masih
belum jelas dan nampak. Sabda beliau : “kalian memiliki keterangan dari
Allah Ta’ala” menunjukkan adanya keharusan berdalil dengan dalil yang
jelas dan shahih, bukan yang lemah. Dan adapun sabda beliau :
“keterangan dari Allah Ta’ala” maka ini menujukkan bahwa semua perkataan
ulama dalam masalah ilmu tidak bisa dijadikan pedoman jika tidak
didasari oleh dalil yang jelas dan shahih dari Al-Qur’an ataupun Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua hal ini menunjukkan akan
bahayanya pengkafiran tanpa dalil dan bukti.
[2]. Dinukil dari bulletin “Bayaanu Haiatu Kibaaril Ulama Haula
Khuthuuratil Tasarru Fit Takfir”, cet. Dep Agama Saudi Arabia (dengan
sedikit perubahan dan ringkasan)
0 komentar:
Posting Komentar