Pertanyaan
Saya sudah memahami bahwa setelah shalat wajib, disambung dengan
dzikir-dzikir, bukan dengan doa. Lantas kapan waktunya bila kita hendak
berdoa khusus, misalnya mendoakan kedua orang tua, mendoakan anak, dan
doa-doa lain yang kita kehendaki.
Ada yang mengatakan bahwa pada saat shalat itulah kita sedekat-dekatnya dengan Allah, maka saat itulah kita dapat berdoa.
Bolehkah setelah selesai shalat wajib dan dzikir kita niatkan untuk
berdoa kepada Allah meskipun saat itu masih berada di tempat shalat?
sidixx@yahoo.com
Jawaban
Memang yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengenai amalan setelah selesai shalat adalah dzikir dan wirid. Belum
diketahui bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setiap selesai
shalat berdoa dengan doa tertentu. Akan tetapi, dengan rahmat Allah yang
maha luas, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan kemudahan kepada
kita untuk meminta kapan saja dan akan dikabulkan, tentu dengan
syarat-syarat tertentu. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ
يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Rabb-mu berfirman: "Berdo'alah kepadaKu, niscaya akan Ku-perkenankan
bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". [al
Mu`min : 60]
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ
الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي
لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran. [al Baqarah : 186]
Allah juga memberikan keterangan waktu-waktu yang mustajabah, keadaan
dan kondisi yang baik serta tempat-tempat mulia, yang apabila digunakan
untuk berdoa akan menjadi sebab dikabulkan doa kita.
Waktu-waktu mustajabah itu di antaranya :
1. Untuk pertahunnya, yaitu do’a di hari Arafah, waktu-waktu di al
Masy’aril Haram bagi haji, malam lailatul qadar pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan.
2. Untuk perbulannya, yaitu bulan Ramadhan, terlebih pada sepuluh hari terakhir.
3. Untuk perpekannya, yaitu hari Jum’at antara duduk imam di atas mimbar
sampai selesai shalat, satu waktu pada hari Jum’at dan ada yang
menyatakan pada akhir waktu Ashar hari Jum’at.
4. Untuk perharinya, yaitu pada waktu menjelang fajar, sepertiga akhir malam.
Adapun keadaan dan kondisi yang dianjurkan untuk berdoa, di antaranya
ialah : doa ketika para mujahidin bertempur di jalan Allah, ketika turun
hujan, setelah wudhu, ketika adzan, antara adzan dan iqamah, ketika
iqamah shalat wajib, keadaan sujud, ujung (akhir setiap shalat wajib),
saat sedang berpuasa, ketika berbuka, doa orang yang berhaji sampai
pulang, doa orang terzhalimi, doa imam yang adil, setelah membaca al
Qur`an, dalam majlis ilmu, dan lainnya.[1]
Ini semua dapat digunakan untuk mendoakan kedua orang tua, mendoakan anak dan doa apa saja sesuai dengan kebutuhannya.
Sedangkan keadaan seorang hamba yang terdekat dengan Allah, yaitu waktu
sujud. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Abu
Hurairah, beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ
مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا
الدُّعَاءَ
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Rabb-nya adalah dalam keadaan dia
sujud, maka perbanyaklah doa.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, keadaan tersebut
termasuk sarana dikabukan doa kita, seperti diriwayatkan Imam Muslim dan
an Nasa-i, dari hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata:
كَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السِّتَارَةَ
وَالنَّاسُ صُفُوفٌ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهُ لَمْ يَبْقَ مِنْ مُبَشِّرَاتِ النُّبُوَّةِ
إِلَّا الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَهُ
ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُودُ
فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ قَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membuka sitar dan orang-orang
berbaris di belakang Abu bakar. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam berkata : “Wahai manusia, sungguh tidak sisa dari berita kenabian
kecuali mimpi yang bagus yang dilihat seorang muslim atau terlihat,”
kemudian (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata,”Ketahuilah, aku
dilarang membaca al Qur`an dalam keadaan ruku’ dan sujud. Adapun ruku’,
maka agungkanlah Rabb kalian; sedangkan sujud, maka
bersungguh-sungguhlah memperbanyak doa, karena pantas untuk dikabulkan.”
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diringkas dari kitab Tashhih ad Do’a, karya Bakar bin Abdillah Abu Zaid.
WAKTU ANTARA ADZAN DAN IQAMAT
Di antara waktu yang sering kita sia-siakan adalah waktu antara adzan
dan iqamat. Siapa pun yang menggunakan waktu antara adzan dan iqamat
untuk membaca Al-Qur-an, baik mengulang hafalannya maupun
menghafalkannya, niscaya ia akan banyak menghafalkan Al-Qur-an. Gunakan
juga waktu antara adzan dan iqamat untuk berdo’a, sebab do’a pada waktu
ini tidak ditolak. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam:
لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.
“Tidak ditolak do’a antara adzan dan iqamat.” [1]
Seandainya kita menggunakan waktu antara keduanya, bukan saja karena
berharganya waktu ini, tetapi juga ingin mendapatkan pahala bersegera
menuju shalat, maka kita akan mendapatkan banyak manfaat berupa
ketenangan jiwa dan raga, selain manfaat mendapatkan ilmu.
Berusahalah dengan sungguh-sungguh, setelah mengikhlaskan niat karena
Allah Ta’ala, untuk menggunakan waktu dengan hal-hal yang bermanfaat
seperti membaca, menulis, muraja’ah, mudzakarah, dan lainnya.[2]
[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut
Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa,
PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama
Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1]. HR. At-Tirmidzi (no. 212, 3595), Ahmad (III/119, 155, 225),
an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 67, 68, 69), Ibnu Khuzaimah
(no. 425, 426, 427). Lihat penjelasan Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah
tentang hal ini dalam Shahiih al-Waabilish Shayyib (hal. 182-185) dan
Zaadul Ma’aad (II/391-392).
[2]. Dinukil dari Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 43-45), secara ringkas dan sedikit tambahan.
0 komentar:
Posting Komentar