Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana berdo’a
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala beriringan dengan dzikir kepada-Nya, ia
merupakan permintaan seorang hamba kepada Rabb-Nya tentang
kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, dalam
bentuk ungkapan situasi dan kondisi serta perkataan.
Maka di dalam do’a terkandung dzikir sekaligus, karenanya do’a biasa
disebut juga dengan dzikir oleh kebanyakan orang. Hal yang perlu
dijelaskan di sini, bahwa semakin banyak dzikir kepada Allah Ta‘ala dan
memuji-Nya dalam berdo’a, maka itu lebih baik dan utama serta lebih
pantas untuk dikabulkan.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Yang disunnahkan (mustahab) dalam berdo’a
adalah seorang yang berdo’a memulai do’anya dengan pujian-pujian kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu bershalawat atas Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam di antara permohonan yang akan disampaikannya,
kemudian baru mengungkapkan keinginan-keinginannya,[1] selanjutnya
beliau menyebutkan beberapa dalilnya yang menjelaskan hal ini.
Karena itu at-tawassul (memilih salah satu bentuk ibadah dalam rangka
mendekatkan diri-pent.) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
menggunakan salah satu nama dari Nama-Nama Allah yang baik (al-Asmaa-ul
Husnaa) atau dengan salah satu sifat dari Sifat-Sifat-Nya yang tinggi
(ash-Shifaatul ‘Ulyaa) di dalam berdo’a merupakan salah satu bentuk
tawassul yang dibolehkan oleh syariat (at-tawas-sul al-masyruu’).
Contohnya, seorang Muslim berucap dalam do’a-nya, “Ya Allah sesungguhnya
aku meminta kepada-Mu, Engkau Mahapengasih lagi Mahapenyayang,
Mahalembut lagi Mahamengetahui, berikanlah kesehatan kepadaku.” Atau ia
berkata, “Aku memohon kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang meliputi segala
sesuatu, rahmati dan ampunilah dosaku.”[2]
Adapun dalil yang mensyari’atkan jenis tawassul seperti ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah-lah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu...” [Al-A’raaf: 180]
Dan di antara dalil-dalil dan landasan-landasan lainnya adalah
sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang do’a Nabi
Sulaiman Alaihissallam dalam firman-Nya:
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ
وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي
بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“...Ya Rabb-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang
telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan
untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai, dan masukkanlah aku
dengan rah-mat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.”
[An-Naml: 19]
Adapun argumentasi dari as-Sunnah sebagaimana yang tercantum dalam
ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari Ibnu Abbas
Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
"اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِعِزَّتِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْ تُضِلَّنِي."
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaan-Mu, tidak ada
yang berhak untuk diibadahi melainkan hanya Engkau, agar Engkau
melindungiku.” [3]
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas‘ud Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ
إِنِّي عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ
بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ
بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ
أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوِ
اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ
الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجِلاَءَ حُزْنِيْ
وَذَهَابَ هَمِّيْ، إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ،
وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا."
“Tidaklah seseorang ditimpa kegundahan dan kesedihan lalu ia berucap,
‘Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak (keturunan) dari
hamba-Mu (Adam), anak (keturunan) dari hamba perempuanmu (Hawa),
ubun-ubunku berada di tangan-Mu, keputusan-keputusan-Mu berlaku
kepadaku, takdir-takdir-Mu untukku adalah adil, aku memohon kepada-Mu
dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, dan Engkau na-makan Diri-Mu
dengannya, atau Engkau telah ajarkan kepada seorang hamba-Mu dari
makluk-Mu, atau yang Engkau turun-kan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau
khususkan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, agar Engkau
menjadikan al-Qur-an sebagai penyejuk hatiku dan cahaya kalbuku, pelipur
laraku dan pengobat kesedihanku.’ Maka, Allah akan meng-hilangkan duka
dan kesedihannya dan menggantikannya dengan kemudahan-kemudahan.” [4]
Setelah saya uraikan beberapa macam dzikir secara sederhana, maka
sebaiknya sekarang saya menutup pembahasan ini dengan menerangkan
bentuk-bentuk at-tabarruk (mengharap berkah) melalui dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala (bi dzikrillaah) sehingga tata cara tabarruk dengan
berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semakin jelas.
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa
Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin
‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Waabilush Shayyib (hal.191-195).
[2]. At-Tawassul, Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu (hal. 29) oleh Syaikh al-Albani.
[3]. Shahih al-Bukhari (VIII/167) Kitaabut Tauhiid bab Qaulullaahu
Ta’aalaa وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ dan Shahih Muslim (IV/2086)
Kitaabudz Dzikr wad Du’aa wat Taubati wal Istighfaar bab at-Ta’awudzu
min Syarri maa ‘Amila wa min Syarri maa Lam Ya’mal. Lafazh ini adalah
lafazh Muslim.
[4]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (I/391), al-Hakim
dalam al-Mustadrak (I/509) dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya (II/160).
Lafazh hadits ini dari riwayat Ahmad dan al-Albani menshahihkan hadits
ini. Lihat Silsilah al-Ahaadist ash-Shahiihah (I/176-181).
0 komentar:
Posting Komentar