Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: “Bolehkah sebagian
penuntut ilmu membiasakan : Menjelek-jelekkan satu sama lain serta
menjauhkan dan memperingatkan manusia terhadap (penuntut ilmu) yang
lain? â€
Jawaban.
Yang jelas perbuatan menjelek-jelekkan (jarh) oleh para ulama satu sama
lain adalah perbuatan haram, bila seseorang tidak boleh mengghibah
saudaranya mukmin walaupun bukan orang alim, maka bagaimana boleh
meng-ghibah saudara-saudaranya yang beriman dari kalangan ulama??!
Kewajiban insan mukmin adalah menahan lisannya dari mengghibah saudara-saudaranya mukminin. Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah
kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.†[Al-Hujurat: 12]
Hendaknya orang yang ditimpa penyakit seperti ini (ghibah-pen)
mengetahui bahwa jika ia menjarh seorang alim maka itu akan menjadi
sebab ditolaknya kebenaran yang diucapkan oleh sang alim ini. Dan
hendaknya ia juga mengetahui bahwa orang yang men-jarh seorang alim maka
ia (sebenarnya) tidak men-jarh pribadinya, karena sesungguhnya ia telah
menjelek-jelekkan warisan Rasulullah, karena sesungguhnya para ulama
itu adalah pewaris para nabi. Maka apabila para ulama telah di-jarh dan
di "tikam" maka manusia tidak lagi mempercayai ilmu yang mereka miliki;
yang merupakan warisan dari Rasulullah. Dan ketika itu, merekapun tidak
lagi mempercayai syariat yang dibawa oleh sang alim yang telah di-jarh
ini.
Dan saya tidak mengatakan bahwa setiap alim itu ma’shum (bersih dari
kesalahan), karena setiap insan dapat terjatuh dalam kesalahan. Jika
anda melihat satu kesalahan seorang alim menurut keyakinan anda, lalu
anda menghubunginya dan mencoba saling memahamkan, jika ternyata yang
haq adalah dia, anda wajib menerimanya. Dan jika anda menemukan
perkataannya ternyata salah maka wajiblah anda membantah dan menjelaskan
kesalahannya, karena mendiamkan kesalahan tidak diperbolehkan. Akan
tetapi anda jangan men-jarhnya sementara ia adalah seorang alim yang
dikenal dengan niat baiknya. Dan jika memungkinkan anda mengatakan:
“Sebagian orang mengatakan begini dan begini padahal pendapat ini
adalah lemah.†Kemudian anda menjelaskan sisi kelemahannya dan
kebenaran pendapat yang anda lihat, (maka) ini tentu lebih baik dan
utama.
Dan jika ingin men-jarh para ulama yang dikenal dengan niat baiknya
disebabkan terpeleset dalam suatu kesalahan masalah agama, maka kita
pasti akan men-jarh para ulama besar. Namun yang wajib (dilakukan)
adalah seperti yang saya sebutkan. Bila anda melihat kesalahan dari
seorang alim maka diskusikanlah dengannya. Jika anda yang benar maka ia
harus mengikuti anda. Atau jika ternyata tidak jelas (pendapat yang
benar) dan khilaf yang terjadi adalah khilaf yang dibenarkan maka saat
itu anda harus menahan diri dan biarlah ia mengatakan pendapat yang ia
katakan dan andapun mengatakan pendapat yang anda katakan.
Khilaf itu terjadi bukan pada masa ini saja, bahkan telah terjadi sejak
masa sahabat hingga hari ini. Namun jika telah jelas yang salah akan
tetapi ia tetap bersikeras membela pendapatnya, maka anda wajib
memperingatkan kesalahan tersebut, bukan atas dasar menjatuhkan orang
itu dan keinginan balas dendam, sebab mungkin ia mengatakan perkataan
yang benar pada masalah lain selain yang anda diskusikan bersamanya.
Yang penting saya menasehati saudara-saudaraku untuk menjauhi musibah
dan penyakit ini (meng-ghibah dan men-jarh –pen), saya mohon kepada
Allah Ta’ala untuk diri saya dan mereka kesembuhan dari segala sesuatu
yang dapat membuat kita tercela atau mencelakakan kita dalam agama dan
dunia kita.
[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah, edisi Indonesia Panduan
Kebangkitan Islam, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Bab VII,
Perbedaan Pendapat (Khilaf) di Kalangan Ulama, Menuduh dan Merendahkan
Para Dai, hal. 237-239, Terbitan Darul Haq]
0 komentar:
Posting Komentar