Oleh
Syaikh ‘Ali bin Hasan al Halaby
Saya tidak melupakan untuk menyebutkan satu hal yang nantinya menjadi
pijakan tema sekarang ini, yaitu rahmat Islam dan rahmat Nabi Islam.
Sungguh saya bisa merasakan dan melihat rahmat ada pada masyarakat
muslim di negeri yang baik ini. Mereka mencintai Allah dan RasulNya,
serta mencintai kebenaran yang datang dari Rabb dan RasulNya. Ini adalah
keistimewaan yang tiada bandingannya. Sebuah etika yang sedikit sekali
orang yang menghiasi dirinya dengannya pada masa sekarang ini. Dan
memang semakin jauh masa dari masa nubuwwah, maka kebaikan semakin
sedikit.
Seperti yang dikatakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
مَا مِنْ عَامٍ إِلَّا الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ
Tidak ada satu masa (yang datang), kecuali masa setelahnya itu lebih
buruk darinya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian. [HR at Tirmidzi, no.
2132].
Maka, saya ucapkan selamat kepada Anda sekalian, atas etika yang baik
ini, ketundukan kepada Allah dan RasulNya sebagai rasa pengagungan
kepada Allah dan RasulNya. Dan saya mentazkiah (memuji) Anda sekalian
dihadapan Allah.
Saya ingin menyampaikan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Sesuatu ini
nampak kontradiktif, akan tetapi merupakan sebuah kebenaran jika
dijelaskan dan diterangkan. Hal tersebut tentang Islam adalah rahmat,
Rabb kita adalah ar Rahim (Maha Penyayang) dan Nabi kita adalah rahmat
bagi seluruh alam.
Adapun sisi kontradiksif yang ada dalam benak saya, bahwasanya
masalah-masalah di atas termasuk perkara-perkara badahiy [2], yang jelas
dan lebih jelas dari matahari pada siang hari. Kemudian, tiba-tiba kita
harus menjelaskannya lagi sebagai wujud pembelaan terhadap Islam,
penjelasan atas pemutarbalikkan kenyataan tentang Islam, dan penjelasan
terhadap sebuah kondisi saat pandangan terhadap Islam sudah berubah.
Tidak disangsikan lagi, ini merupakan sesuatu yang merisaukan hati dan
pikiran, kita menyaksikan fakta yang kontradiktif untuk menjelaskan
sebuah permasalahan yang sudah diimani, permasalahan yang jelas, yaitu
agama ini (Islam) adalah rahmat, Allah Maha Penyayang dan Nabi kita
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga seorang penyayang.
Karenanya, saya memohon kepada Allah agar berkenan menolong kita dalam
memahami makna ini dan mengamalkannya.
Nash-nash dari al Qur`an dan Sunnah Nabawiyah yang menguatkan topik ini
dan memantapkan penjelaskan ini sangatlah banyak, tidak terhitung
jumlahnya. Akan tetapi, kita harus menyebutkan sebagian, agar hati
menjadi tenang dalam kebenaran. Dan akal pikiran serta jiwa merasa
berbahagia dengan hidayah.
Nash yang paling agung yaitu, Allah mensifati diriNya sendiri bahwa Dia
Dzat Yang Maha Penyayang. Sifat dengan nama ini, banyak terdapat di
dalam al Qur`an. Cukuplah bagi Anda, sebuah nash yang Anda baca berulang
kali dalam shalat sehari semalam sebanyak lebih dari sepuluh kali, agar
pemahaman terhadap makna ini tertanam dan tertancap dalam hati dan
perasaan. Allah Azza wa Jalla berfirman :
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {1} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {2} الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[al Fatihah : 1-3].
Anda mengulanginya pada tiap raka’at, saat membaca basmalah dan membaca
ayat kedua (dari surat al Fatihah), sehingga gambaran makna ini dan juga
realisasinya, baik secara ilmiah atau amaliah bisa dilakukan (secara
bersamaan) dalam satu waktu.
Allah juga mensifati NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sifat rahim (penyayang) itu. Allah Azza wa Jalla berfirman :
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
(Nabi Muhammad) amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. [at Taubah : 128].
Nabi kita rahim (penyayang), sebagaimana juga Rabb kita Rahim (Maha
Penyayang). Akan tetapi, rahim (kasih-sayang)nya Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam penghulu seluruh Bani Adam, sesuai dengan kebesaran
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sifat kemanusiaannya. Sedangkan
Rahim (penyayang)nya Allah sesuai dengan keagunganNya dan
kesempurnaanNya. Jadi rahmat (kasih-sayang) merupakan sifat Allah dan
sifat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah dan RasulNya
menginginkan agar rahmat ini menjadi nyata di muka bumi. Karena din
(agama) ini merupakan din rahmat. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al Anbiya’ : 107].
Allah tidak mengatakan “ ... sebagai rahmat bagi kaum Mukminin,” namun
Allah mengatakan rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya manusia; bahkan
rahmat ini terasa juga pada alam lain, yaitu alam jin dan malaikat.
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan tentang dirinya Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ
Aku adalah rahmat yang dihadiahkan.[3]
Banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menegaskan
kepada kaum Mukmin, kaum yang menyambut seruan Allah dan RasulNya, yang
mengimani hukum Allah dan RasulNya, dan tunduk kepada hukum Allah dan
RasulNya, agar menjadi orang-orang yang memiliki rasa kasih-sayang dan
saling menyayangi, sehingga mereka akan disayangi oleh Allah Azza wa
Jalla, bukan sekedar rahmat yang berbentuk angan-angan yang diimpikan
oleh hati dan dilantunkan oleh lisan. Kalau hanya sekedar itu, maka ini
bisa dilakukan oleh semua orang. Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَالاَتَفْعَلُونَ {2} كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوا مَالاَتَفْعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak
kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan
apa-apa yang tiada kamu kerjakan. [ash Shaf : 2,3].
Allah menginginkan kita menjadi orang-orang yang menyayangi dan saling
menyayangi, lagi disayangi; bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi
(dibuktikan) dengan amal; bukan sekedar ungkapan, akan tetapi
(diwujudkan) dengan perbuatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
Orang-orang yang menyayangi akan disayang oleh Dzat yang Maha Penyayang.
Sayangilah orang yang ada di muka bumi, niscaya Dzat yang ada diatas
langit (Allah) akan menyayangi kalian.[4]
Nabi juga bersabda :
ارْحَمُوا تُرْحَمُوا
Berbuat kasih-sayanglah kalian, pasti kalian akan disayangi [5]
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ لَا يَرْحَمُ لَا يُرْحَمُ
Orang yang tidak memiliki rasa kasih-sayang, tidak akan disayang.[6]
Semua nash di atas dan yang lainnya menegaskan makna rahmat, supaya
membumi dalam kehidupan dan sistem yang dilaksanakan; saling menyayangi
satu dengan yang lain, saling berlemah- lembut, saling menolong,
terutama kepada orang yang diberi taufik oleh Allah, dan diberi petunjuk
untuk memeluk Islam dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Rahmat ini tidak akan bisa diwujudkan secara benar, kecuali dengan ilmu
yang bermanfaat berlandaskan al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam . Adapun rahmat tanpa dilandasi ilmu, tetapi
dilandasi kejahilan, hanyalah sebuah perasaan yang berkutat di dalam
dada, terkadang tidak sesuai dengan tempatnya; menjadi tidak jelas, dan
ketidakjelasan ini membuahkan kesalahan besar.
Oleh karena itu Ahlus Sunnah itu berasal dari ahli ilmu, sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah : “Ahlus Sunnah adalah orang yang paling
tahu tentang al haq (kebenaran) dan paling sayang terhadap makhluk”.
Rasa kasih-sayang ini menuntut kita agar memberikan nasihat kepada orang
lain, berlemah- lembut kepada mereka, dan menuntut Anda agar memberikan
kesempatan kepada mereka untuk bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla,
kembali ke jalan Allah sebelum mereka meninggal.
Rasa kasih-sayang (rahmat) ini menuntut Anda untuk memiliki rasa
kepedulian (terhadap keselamatan makhluk) yang Anda ambil dari sifat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diberikan Allah Subhanahu
wa Ta'ala kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:
... حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
…(Rasulullah) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. [at
Taubah : 128].
Semangat ini semestinya diiringi kelembutan dan kasih-sayang, yang
merupakan ciri terbesar dan paling agung din (agama) ini, bukan
kekasaran dan kekakuan, tidak dibarengi sikap ekstrim atau sikap
berlebihan, tetapi, dengan kelembutan yang menjadi simbol agama ini.
Agar tidak ada orang yang berprasangka dan menduga bahwa rahmat (rasa
kasih-sayang) ini hanya untuk kaum Muslimin saja, atau berlaku hanya di
kalangan kaum Muslimin (saja), sehingga menyeretnya kepada kebatilan,
maka saya perlu menyebutkan beberapa nash dari hadits Nabi yang
menerangkan rahmat ini dan cakupannya. Rahmat ini bukan hanya bagi kaum
Muslimin saja, akan tetapi juga bagi orang-orang kafir; bukan hanya
untuk manusia, tetapi juga untuk bangsa hewan sekalipun.
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pemimpin para da’i
(mubaligh) dan pemimpin orang-orang yang bersabar terhadap berbagai
macam siksa dan cercaan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabar
menghadapi permusuhan dan penyiksaan, serta mendoakan kebaikan atas
pelakunya. Ketika orang-orang kafir dahulu melukai kepala beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, membuat beliau mengeluarkan darah, dan
saat mereka mematahkan gigi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berdoa kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala agar memberikan balasan buruk kepada mereka, tetapi, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menginginkan rahmat buat mereka,
karena beliau adalah rahmat. Rasulullah berdoa saat itu :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Ya, Allah. Ampunilah kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui.[7]
Padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam disiksa dan disakiti oleh
mereka. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
وَمَا أُوذِيَ أَحَدٌ فِي اللَّهِ مِثْلَ مَا أُوذِيْتُ
Tidak ada seorang pun yang disakiti di jalan Allah sebagaimana (sebesar) gangguan yang menimpaku.[8]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kesabarannya Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يُوَحِّدُ اللَّهَ
Semoga Allah mengeluarkan kaum yang mentauhidkan Allah dari tulang punggung (keturunan) mereka.[9]
Kesabaran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berperan besar dalam
penyebaran din ini, menempati andil besar dalam membimbing umat melalui
amal nyata, bukan sekedar teori sebagaimana yang dikatakan pada masa
ini. Bahkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam rahim (memiliki rasa
sayang) dalam situasi peperangan dan sedang berhadapan dengan para musuh
Islam. Peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan, akan tetapi
perang penebusan; peperangan untuk menebarkan sendi-sendi kasih-sayang.
Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan tetapi itu
merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk agama Islam,
kedua adalah membayar jizyah (pembayaran sebagai ganti jaminan
keamanan), dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin. Jika
orang-orang kafir tidak mempedulikannya, tetap mengganggu dan menyakiti
kaum Muslimin, maka mereka harus diperangi, dan ini pun harus dengan
perintah dari penguasa dan para ulama yang saling bahu-membahu dalam
menolong din Allah ini. Tetapi, kalau yang berinisiatif mengobarkan
peperangan adalah individu-individu, maka perlu dimengerti, bahwa
masalah memobilisasi perang bukanlah hak per individu. Allah berfirman :
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. [al Baqarah : 190].
Inilah sendi-sendi din Islam dalam keadaan damai maupun perang, juga
ketika sedang berhadapan dengan musuh. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam senantiasa mengarahkan para komandan supaya berbuat rahmat (kasih
sayang) dan menuju rahmat (kasih sayang). Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:" Janganlah kalian membunuh anak kecil, orang
yang sudah renta, jangan membunuh para rahib di gereja, dan janganlah
kalian mematahkan pepohonan".[10]
Allahu Akbar!!! Inilah akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
inilah karakter beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah melakukan
pembunuhan membabi buta, apatah lagi menjadi tujuan, atau menjadi
sesuatu yang digemari atau yang beliau perintahkan?
Pembunuhan dengan membabi-buta tidak pernah diridhai oleh Rabb kita dan
Rasul kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin
meridhai? Pembunuhan dengan membabi-buta, hanya akan mendatangkan
masalah dan tertumpahnya darah yang sangat disesalkan hati nurani
manusia, apalagi oleh Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Dengan akhlak dan sendi-sendi ini, Islam mendapatkan keutamaan, Islam
menjadi yang terdepan dan memiliki peran dalam menancapkan pondasi, atas
apa yang mereka sebut menyuarakan hak-hak asasi manusia dan yang mereka
sebut hak-hak asasi hewan. Sebelum ilmu pengetahuan mengalami kemajuan,
sebelum peradaban Barat, dan sebelum sarana komunikasi mengalami
perkembangan yang saat ini dirasakan oleh berbagai belahan dunia, Islam
terlebih dahulu menyuarakan hak-hak manusia dan hak-hak hewan.
Bagaimanapun mereka berusaha mendahului, berusaha mengunggulkan
peradaban mereka dan berusaha merealisasikan makna-makna dan
ajaran-ajaran ini, maka Islam tetap yang terdepan.
Islam terdepan dalam menanamkan sendi-sendi yang luhur, dan selanjutnya
merealisasikannya dalam kehidupan nyata, dalam sejarah masa lalunya,
sekarang ini dan pada masa yang akan datang, insya Allah Azza wa Jalla.
Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ
فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ
وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian berbuat baik kepada segala
sesuatu. Jika kalian membunuh (melaksanakan hukum qishash), maka
perbaikilah cara pelaksanaannya. Jika kalian melakukan penyembelihan
hewan, maka berbuat baiklah dalam penyembelihan. Hendaklah salah seorang
di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan binatang
sembelihannya. [11]
Inilah akhlak yang ditampilkan dalam mu’amalah seorang muslim, mu’amalah
dalam Islam, hingga dalam hal pemotongan hewan. Lalu bagaimana dalam
mu’amalah dengan manusia yang diterangkan sifatnya oleh Allah Azza wa
Jalla :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى ءَادَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. [al Israa’ : 70].
Dengan apa Allah memuliakan mereka? Dengan apa Allah mengunggulkan
mereka? Tidak lain, kecuali dengan menunjukkan mereka kepada din Allah
yang haq, memberikan petunjuk kepada mereka agar menjadi da’i menuju
jalan Allah Azza wa Jalla. Sehingga mereka menjadi orang yang shalih dan
mengadakan perbaikan bagi yang lain. Ini merupakan penghargaan yang
teramat tinggi. Ini pulalah yang masih banyak, bahkan kebanyakan hilang
dari manusia, kecuali manusia mau bertaubat kepada Allah. Dan ini, jika
Allah tidak memberikan pentunjuk, maka tidak akan ada yang memberikan
petunjuk selain Allah Azza wa Jalla.
Supaya gambaran ini menjadi sempurna dan kebenaran menjadi jelas, saya
perlu mengingatkan, bahwa makna rahmat (kasih-sayang) dan lemah-lembut
tidaklah bertentangan dengan ‘izzah (keperkasaan) seorang muslim. Rasa
kasih-sayang seorang muslim tidak boleh menyebabkannya tunduk, kecuali
kepada al haq (kebenaran) dan (tidak boleh) merendahkan diri, kecuali
kepada kaum Muslimin. Rasa kasih-sayang memiliki tempat tersendiri;
begitu juga dengan ‘izzah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ (فَذَكَرَ
مِنْهَا) وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ
أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga hal, barangsiapa memiliki ketiga hal ini, maka dia akan
merasakan manisnya iman ... (lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyebutkannya, salah satunya yaitu) ... tidak mau kembali kepada
kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran, sebagaimana dia
tidak mau dicampakkan ke dalam api. [12]
Ini termasuk ‘izzah seorang muslim dengan keimanannya, tidak tunduk
kepada selain Allah Azza wa Jalla. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam juga bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ
Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah,
daripada seorang mukmin yang lemah. Dan masing-masing memiliki kebaikan
[13]. Masing mendapatkan kebaikan sesuai dengan kekuatan (yang
dimilikinya).
Jadi kekuatan, perasaan tinggi, merasa perkasa, (itu) memiliki tempat
tersendiri. Sama sekali tidak bertentangan dengan ketundukan seorang
muslim kepada Rabb-nya, bukan tunduk kepada musuhnya. Sifat kasih-sayang
ini tidak bertentangan dengan perintah Allah kepada NabiNya :
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam,
dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. [at Tahrim : 9]
Juga tidak bertentangan dengan sifat yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada kaum Mukminin, bahwa mereka itu,
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَيْنَهُمْ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir. [al Fath : 29]
Ketegasan sikap yang terdapat dalam firman Allah Azza wa Jalla di atas
memiliki saat dan tempat tersendiri. Sebagaimana telah dijelaskan di
muka, bahwa tempatnya adalah pada urutan ketiga, bukan urutan pertama.
Karena orang yang tidak mau menerima ajakan masuk Islam, pada tahapan
pertama; dan tidak menghiraukan peringatan, urutan kedua; berarti dia
adalah orang yang enggan menerima kebenaran dan berlaku semena-mena
terhadap makhluk, maka dia berhak mendapatkan sikap keras ini. Dan dalam
sikap keras terdapat pelajaran bagi orang-orang yang lain. Bukankah
Allah Azza wa Jalla berfirman :
فَشَرِّدْ بِهِم مَّنْ خَلْفَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan
(menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. [al Anfal : 57].
Begitulah, sikap keras ini juga mengandung pembelajaran tentang rahmat
(kasih-sayang), supaya orang-orang yang sombong itu berhenti dari
kesombongannya. Karena pelajaran bagi mereka sudah cukup untuk mendidik
jiwa.
Untuk memperjelas, saya bawakan permisalan, dan permisalan yang paling
tinggi hanyalah milik Allah. Tidakkah Anda perhatikan, saat Anda
mengajari anak Anda dan mendidiknya; jika ia gagal, Anda memberikan
peringatan. Jika dia tetap dalam keadaannya, maka Anda akan memukulnya.
Ya, itu memang sebuah pemukulan yang menyakitkan, akan tetapi, (hal) itu
untuk tujuan pendidikan, bukan pukulan yang mengandung dendam, tetapi,
sebuah pukulan yang mengandung kebaikan. Begitu pula sikap keras dalam
Islam, dia memiliki saat dan tempat tersendiri yang mengandung
kasih-sayang dan sebagai realisasi dari firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. [al Anbiya’ : 107].
Akhirnya, saya memohon kepada Allah Azza wa Jalla, agar menjadikan kita
sebagai orang-orang yang penyayang dan menjadi orang-orang yang
mendapatkan kasih-sayang, menjadi orang yang mengajak manusia menuju
Kitab Allah, menjadi orang yang senantiasa mengikuti Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, (menjadi) orang yang berpegang teguh
dengan tali Allah, menjadi orang yang tunduk kepada tauhidNya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua.
Washallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Transkip ceramah di Masjid Istiqlal Jakarta pada tanggal 19 Februari 2006 M
[2]. Aksioma, sudah menjadi hal yang diterima.
[3]. HR Imam ad Darimi
[4]. HR Imam Tirmidzi.
[5]. HR Imam Ahmad.
[6]. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[7]. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[8]. Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, yaitu :
وَلَقَدْ أُوذِيتُ فِي اللَّهِ وَمَا يُؤْذَى أَحَدٌ
Dan sungguh aku pernah diganggu di jalan Allah, dan tidak ada seorang pun yang pernah mengalaminya.
[9]. Hadits yang senada diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.
... بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Akan tetapi, saya berharap semoga Allah mengeluarkan orang yang
beribadah kepada Allah semata dan tidak melakukan kesyirikan, dari
tulang punggung (keturunan) mereka.
[10]. Hadits yang senada, terdapat dalam riwayat Abu Dawud :
... وَلَا تَقْتُلُوا شَيْخًا فَانِيًا وَلَا طِفْلًا وَلَا صَغِيرًا وَلَا امْرَأَةً ...
… dan janganlah kalian membunuh orang tua renta, anak kecil dan juga kaum wanita.
[11]. HR Imam Tirmidzi, Imam Nasa-i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.
[12]. HR Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[13]. HR Imam Muslim.
0 komentar:
Posting Komentar